Tambang 24 Jam Nonstop, Malam seperti Pasar

Sabtu, 13 Juni 2015 - 06:07 WIB
Tambang 24 Jam Nonstop, Malam seperti Pasar
Tambang 24 Jam Nonstop, Malam seperti Pasar
A A A
Tambang minyak tua peninggalan Belanda di Desa Wonocolo dan Desa Dangilu, Kecamatan Kedewan, Bojonegoro kian ramai. Investor dari Jakarta, Semarang, Surabaya dan kota besar lainnya menyerbu tambang yang ditemukan 1879 oleh insinyur Belanda, Stoop Adrian, yang bekerja pada perusahaan minyak Donsche Petroleum Maatschappij (DPM).
JARUM jam baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Mentari pun belum menunjukkan sinarnya. Namun, aktivitas di Desa Dangilu atau Dadangilu di perbukitan kapur kawasan hutan jati yang menjadi pintu masuk ke areal penambangan Desa Dangilu dan Desa Wonocolo, Bojonegoro, sepagi itu sudah ramai.

Kerumunan pekerja dengan puluhan sepeda motor tampak kongkow di setiap jalan pertigaan desa menuju lokasi tambang saat Sindonews melintas dari Cepu menuju lokasi penambangan.

"Mereka para pekerja atau mandor yang lagi ngopi untuk bersiap berangkat ke lokasi tambang,’’ tutur Supriyanto (54), tukang ojek yang mengantar Sindonews.

Dari Cepu lokasi penambangan minyak Dangilu-Wonocolo sekitar 27 kilometer dengan melewati kawasan hutan jati. Di jalanan menanjak tajam di perbukitan kapur menuju lokasi penambangan, terlihat hilir mudik sepeda motor para pekerja. Rata-rata bermuatan jeriken dimasukkan ke ronjotan terbuat dari karung goni. Isinya beragam, ada lantung atau minyak mentah, solar, kayu bakar, alat-alat penambangan dan lain-lain.

Di sisi kiri kanan jalanan batu kapur, terlihat ceceran lantung atau minyak mentah. Belakangan Sindonews tahu itu sengaja dibuang sopir truk tangki yang membawa lantung menuju depo Pertamina Cepu, Jateng berjarak sekitar 27 kilometer dari areal penambangan Wonocolo.

Sebab, ada aturan ketat dari Pertamina yang mensyaratkan minyak mentah atau lantung yang disetorkan dari penambang hanya ditoleransi mengandung kadar air 1%. Meski faktanya itu sulit diwujudkan. Sebab, minyak lantung hasil penambangan mengandung sekitar 5 sampai 7% kadar air.

"Nanti oleh Pertamina diolah hingga kadar air 0%. Itu ada biaya tambahan," kata Dwiyanto, staf KUD Sumber Jaya yang membawahi areal penambangan Dangilu, Ngrayon atau Beji dan Kawengan. Makanya, sopir biasanya membuang sedikit muatan lantung di pinggir jalan agar kadar airnya berkurang.

Begitu sampai puncak bukit kapur yang tandus terlihat pemandangan menakjubkan. Wah... tampak dari atas deretan para penambang memenuhi hampir semua wilayah di lereng perbukitan, lembah, lereng-lereng terjal sampai ngarai pun tak luput dari aktivitas para penambang.

Asap putih hasil pembakaran mengepul dimana-mana dari pekerja yang memasak lantung untuk dijadikan solar. Jadi kawasan perbukitan bukannya berbau tanaman hutan, tapi berbau solar dan asap pembakaran lantung. Jika kena mata perihnya bukan main.

"Sekarang aktivitas di sini (panambangan) sejak dua tahun terakhir nonstop 24 jam. Kalau malam ramai seperti pasar," ujar Supriyanto yang juga pekerja di salah satu penambangan.

Soal makan? Tidak perlu khawatir karena banyak warung bertebaran di sekitar penambangan yang ikut buka 24 jam. Bahkan, di lokasi penambangan sudah berdiri bangunan mushola permanen. "Kebetulan hari ini saya shif malam. Jadi, bisa ngojek siang harinya," ujarnya.

Tak heran, Supriyanto hafal benar setiap jengkal penambangan di Dangilu-Wonocolo karena sudah bekerja di penambangan selama dua tahun terakhir. "Kalau di balik bukit itu baru Wonocolo," tambahnya, seraya menunjuk salah satu bukit.

Bagi orang awam sulit membedakan mana lokasi tambang masuk Desa Wonocolo, mana tambang masuk Desa Dangilu atau Desa Beji atau Ngrayon atau Kawengan karena tidak ada batas yang jelas. Apalagi, sepanjang mata memandang semua perbukitan, lembah, ngarai dipenuhi para penambang secara sambung menyambung.

"Hampir tidak ada cela. Dimana ada tambang minyak keluar lantung, di dekatnya pasti dibor lagi. Begitu seterusnya .Tapi, untung-untungan. Bisa berhasil, bisa tidak," kata Totok, penambang lain. Sebab, alur minyak yang mengalir di bawah tanah tidak bisa ditebak.

Totok bercerita misalnya, ada investor mengebor sumur di sebelah lokasi sumur yang produktif. Hasilnya, tidak keluar minyak. Belakangan diketahui alur sumber minyak bawa tanhh yang produktif di sebelahnya tadi mengalir di bawah bukit nan jauh di sana. "Buktinya pas dibor keluar minyak. Sedangkan sebelahnya berjarak 25 meter hanya keluar air. Jadi, untung-untungan," tambah Totok.

Makin siang, perbukitan kapur Dangilu-Wonocolo kian ramai. Hilir mudik mobil tangki membawa muatan datang silih berganti ke perbukitan. Para penambang dengan motor muatan jeriken tak putus-putusnya manapaki jalan perbukitan yang rusak parah. Mobil-mobil mewah merek terkenal doubel gardan milik mandor, investor, pengawas atau makelar maupun pemborong juga ikut meramaikan pertambangan yang berada di perbatasan Jateng-Jatim itu. Sesekali mobil patroli polisi melintas di jalan seputar penambangan.

Bagaimana penambangan minyak Dangilu-Wonocolo? Selain beroperasi nonstop 24 jam, uang yang berputar di penambangan tersebut kabarnya cukup fantastis. Puluhan bahkan ratusan miliar setiap pekannya.

Itu cukup masuk akal. Dwiyanto, staf KUD Sumber Jaya yang membawahi areal penambangan Dangilu, Ngrayon atau Beji dan Kawengan mencatat sehari mulai pagi hingga pukul 16.00 WIB, KUD mencatat sedikitnya ada 15 rit tangki dengan bobot 5 sampai 6 ton mengirim ke depo Pertamina Cepu. Padahal, penambangan Dangilu-Wonocolo beroperasi 24 jam. "Kami hanya mencatat truk tangki saja yang keluar dari penambangan," katanya.

Sedangkan ribuan ton solar maupun lantung yang dibawa pekerja keluar pekerja dengan sepeda motor sulit tercatat. "Wah..itu sulit dicatat,’’ ucapnya.

Padahal, ada ribuan motor membawa jeriken berisi lantung dan solar keluar lokasi penambangan. Sementara KUD yang bertugas mencatat minyak yang dibawa mobil tangki keluar penambangan Wonocolo tidak bisa memastikan sehari berapa rit atau tangki. "Kami di sini tak berhak memberi keterangan hanya mengeluarkan DO (delivery order) ke Pertamina," ujar seorang staf KUD tadi dengan tatapan curiga.

Para pekerja tambang di Desa Dangilu dan Desa Wonocolo umumnya gajian mingguan. Yakni, setiap hari Kamis. Sindonews yang kebetulan meliput pas hari Kamis melihat sendiri bagaimana ramainya suasana penambangan. Para juru bayar dari berbagai perusahaan sibuk dengan buku catatan dan tampak mengapit tas. "Hari ini waktunya gajian pekerja. Makanya, kami terus hitung-hitungan sama mandor pekerja. Saling mencocokan besarnya hasil tambang dan pembagian hasil," ujar Adi, wakil investor dari Jakarta yang memiliki empat sumur bor tersebar di Desa Dangilu.

Tak ayal, ratusan bahkan ribuan orang menggantungkan hidupnya pada penambangan minyak. Mulai pengusaha besar sebagai investor, pemborong pengeboran, makelar, perusahaan penyewa alat pengeboran, pengusaha yang menyewakan genset untuk penerangan, pemilik titik tambang yang umumnya warga desa setempat, ribuan pekerja, pekerja perorangan, yang membeli lantung lalu dimasak untuk dijadikan solar, penjual kayu. Beragam lapisan masyarakat yang terlibat proses penambangan maupun yang menyertai bisa ditandai dari aktivitasnya.

Kalau sumur produktif ditandai ada segitiga kayu berbetuk tripod. Minyak dari sumur diambil pakai timba berupa pipa besi untuk menampung lantung lalu ditarik pakai kawat seling yang digerakkan roda belakang truk dimodifikasi sedemikian rupa. Yakni, hanya digunakan roda belakangnya untuk menarik dan menurunkan timba pipa besi yang digerakkan seorang oprerator.

Hanya butuh satu menit lebih mulai memasukan pipa besi yang berfungsi timba ke sumur hingga ditarik ke permukaan. Kalau menggunakan tenaga manusia satu tarikan butuh 30 menit serta puluhan orang. "Itu dulu. Sekarang sudah tidak ada lagi," kata Basyir (60), mandor sumur 128 D di Desa Dangilu kepada Sindonews.

Sebaliknya kalau tripod kayu terlihat sudah usang atau tidak ada mesin truk pretelan yang sudah dimodifiaksi di sekitarnya berarti tambang itu sudah tidak aktif atau berproduksi lagi. Sementara jika ada rig besi tinggi menandakan ada pengeboran. Ciri lainnya, limbah berupa lumpur pekat mengalir kemana-mana. Bahkan kalau pengeborannya di kemiringan bukit limbahanya seperti aliran anak sungai.

Sedangkan asap menandakan ada pembakaran lantung. Pekerja cukup membuat semacam pawon (tempat memasak) dengan menggali bukit yang menyerupai terowongan kecil. Fungsinya sebagai lubang kompor. Lalu di bawahnya ditaruh kayu untuk pembakaran.

Lantung yang dibakar akan menguap lalu dialirkan ke pipa. Saat pipa berisi uap panas melewati embung air akan berubah menjadi tetesan solar. "Masa pembakaran antara 6 jam sampai 8 jam. "Kalau nyala apinya besar dan stabil lebih cepat," kata Eko (28), salah seorang pembakar lantung. "Pembakar lantung umumnya warga kampung sini. Jumlahnya ribuan," tambahnya.

Belum lagi, pedagang warung yang jumlahnya cukup banyak. Sampai warga yang mengais kereweng. Sisa-sisa lantung campur tanah yang terbakar hingga mengkeras dan berwarna hitam pekat. Warga memunguti untuk dijual ke kontraktor untuk dijadikan campuran aspal. "Satu karung glangsing dihargai Rp20 ribu sampai Rp 25 ribu," ujar Cucu, seorang pencari kereweng.

Ironisnya, sepanjang Sindonews blusukan mengitari wilayah tambang, jarang bahkan tak terlihat pekerja tambang baik yang melakukan pengeboran, penambangan maupun memasak lantung menggunakan pakaian pengaman. Mulai topi, sepatu proyek, apalagi pakaian tahan api layaknya pekerja penambangan besar. Hampir semua pekerja menggunakan pakaian kerja apa adanya topi aneka rupa.

"Ya... begini kami bekerja. Yang penting hati-hati," ungkap Basyir, mandor kelompok kerja hanya mengenakan pakaian ala kadarnya serta topi lebar.

Bahkan anak buahnya ada yang telanjang dada saat memindahkan lantung dari bak penampung kecil ke bul, bak penampung besar.

Padahal, hanya beberapa meter dari posisi pekerja suara tali baja seling yang ditarik mesin truk suaranya memekakkan telinga. Panjang lebih 400 meter ditarik dengan kecepatan penuh berbagai kemungkinan bisa terjadi. Seling bisa putus. Dan, itu sangat membahayakan pekerja. Tapi, mereka sudah terbiasa dengan bahaya tadi. "Kami ingin pakaian kerja yang aman tapi bagaimana lagi adanya ya begini saja," tukas Basyir.

Tak hanya itu, para pekerja tambang maupun pekerja lainnya dengan santai bisa merokok tak jauh dari lokasi pengeboran. Bahkan pembakar lantung yang penuh asap jaraknya hanya selemparan batu dari lokasi yang ditambang maupun pengeboran.

"Kalau mengacu standar keselamatan penambang ya tidak boleh. Tapi, siapa yang mengatur di hutan ini. Investor pun tidak mau tahu yang begituan karena pekerja dibawa pemborong,’’ ungkap Nuryanto, seorang pengawas pengeboran. (bersambung)
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5613 seconds (0.1#10.140)