We Are Not Afraid

Selasa, 19 Januari 2016 - 06:07 WIB
We Are Not Afraid
We Are Not Afraid
A A A
LEDAKAN bom dan aksi penembakan oleh teroris di Jakarta, Kamis (14/1/2015), memancing aksi solidaritas bertajuk ”Kami tidak takut” dan ”We are not afraid ”.

Di balik keprihatinan atas aksi teror ini, kita boleh bangga melihat keberanian masyarakat Indonesia. Sebuah foto menunjukkan saat terjadi baku tembakan antara polisi dan teroris, masyarakat dengan berani menonton. Diberitakan juga tukang sate dan penjual kacang rebus di sekitar TKP tetap melayani pembeli dengan sikap business as usual. Pada malam harinya, TKP malah ramai dikunjungi orang dan memancing para pedagang asongan untuk merapat.

Unbelievable, demikian komentar seorang teman saya dari mancanegara. Saya jawab, that thats why I love Indonesia, Bro ... Seandainya keberanian masyarakat kita tersebut bisa dibawa ke ranah investasi saham, pasti jumlah investor saham Indonesia akan bertambah banyak. Di banding negara di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, jumlah investor saham kita masih kalah jauh. Investor saham di Indonesia saat ini hanya sekitar 480.000, kurang dari 3% penduduk Indonesia. Apa penyebabnya?

Pihak Bursa Efek Indonesia (BEI) bekerja sama dengan lembaga survei AC Nielsen melakukan survei di sembilan kota besar di Indonesia dengan total populasi 23 juta penduduk. Sampel terdiri atas 2.800 responden. Meski dikatakan belum mendapatkan kesimpulan final, Nicky Hogan, direktur pengembangan BEI, mengatakan hasil survei sementara menunjukkan bahwa dari sekitar 4 juta orang yang tahu tentang saham, tercatat 20% di antara tahu dan ingin berinvestasi.

Sementara 80% lainnya tidak tertarik dengan alasan ”terlalu berisiko”. Alasan lain adalah ketidaktahuan tentang cara memilih dan bertransaksi saham serta anggapan bahwa investasi saham membutuhkan dana besar. Jumlah investor saham yang minim karena ketakutan atas risiko saham ini patut disayangkan.

Sejatinya saham menawarkan imbal hasil lebih tinggi daripada tabungan/deposito bank, investasi paling populer di Indonesia. Saham dan pasar modal bisa menjadi alat peningkatan dan pemerataan kemakmuran karena seluruh masyarakat memiliki kesempatan untuk memiliki perusahaan/bisnis yang bagus. Secara rata-rata investasi di saham Indonesia bisa memberikan imbal hasil sekitar 13 hingga 20% per tahun, bergantung panjang periode investasinya.

Lebih tinggi dari rata-rata imbal hasil investasi di properti (sekitar 10-15% per tahun-bergantung lokasi/kota), emas (sekitar 7-14% per tahun, bergantung panjang periode investasinya), obligasi pemerintah seperti ORI atau sukuk (berkisar 8-9% per tahun), atau deposito bank (berkisar 6-8% per tahun). Memang risiko atau ketidakpastian investasi juga berbanding lurus dengan besaran imbal hasil yang diharapkan. Namun, bukan berarti risiko tinggi investasi saham tidak bisa dikelola.

Jika investor memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang saham, risiko investasi saham bisa diminimalkan. Apalagi jika ia bisa mengontrol emosi (tarik menarik antara rasa takut dan keserakahan), serta konsisten melakukan diversifikasi. Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia berupaya menyosialisasikan investasi saham. Salah satunya menggelar kampanye ”Yuk Nabung Saham”.

Sebuah terobosan yang kreatif dengan mengajak masyarakat berinvestasi di saham dengan prinsip seperti menabung. Kampanye ini ingin membangun kesadaran bahwa berinvestasi saham tidak perlu harus sekaligus banyak, yang penting rutin dan menjadi kebiasaan yang baik (good habit). Saat ini dengan uang Rp100.000 sudah bisa membeli saham. Karena 1 lot berisi 100 saham, dengan dana tersebut kita bisa membeli 1 lot saham seharga Rp1.000.

Namun, pilihan saham yang harganya di bawah Rp1.000 agak terbatas. Dengan modal yang lebih besar misalnya Rp1 juta, kita bisa membeli 1 lot saham seharga Rp10.000. Kita bias menjadi pemilik perusahaan besar dengan produk terkenal seperti Bank BCA, Astra Internasional, Indofood, Bank Mandiri, Wijaya Karya, Adhi Karya, Jasa Marga, dan sebagainya. Misalnya setiap awal bulan kita bisa menyisihkan Rp1 juta untuk dibelikan saham yang memberikan rata-rata imbal hasil 20% per tahun.

Dalam waktu 20 tahun, uang kita akan menjadi Rp3,16 miliar. Padahal, jika didepositokan dengan bunga 6% per tahun, hanya akan jadi Rp464 juta. Jika saham bisa memberikan rata-rata imbal hasil 25% per tahun, uang kita akan jadi Rp6,68 miliar! Semakin panjang waktu investasi dan semakin besar imbal hasil investasi per tahun, semakin besar pula uang kita pada masa mendatang. Pepatah ”menabung pangkal kaya” menjadi kurang pas jika kita menabung uang di bank.

Tingkat inflasi kadang melampaui bunga tabungan/deposito yang diterima. Alhasil, menabung di bank malah menurunkan daya beli. Mari kita revisi pepatah tersebut dengan ”menabung saham pangkal kaya.” Bagaimana dengan risiko jika terorisme saja gagal membuat kita takut, mestinya kita bisa bilang begini: ”Investasi saham? Siapa takut???”

Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.4209 seconds (0.1#10.140)