Surati Prancis, Lembong Sebut Kenaikan Pajak CPO Langgar WTO

Jum'at, 05 Februari 2016 - 11:38 WIB
Surati Prancis, Lembong Sebut Kenaikan Pajak CPO Langgar WTO
Surati Prancis, Lembong Sebut Kenaikan Pajak CPO Langgar WTO
A A A
JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong berkirim surat secara khusus kepada Pemerintah Prancis untuk membantu membatalkan rencana Parlemen Prancis memberlakukan pajak (tax) minyak kelapa sawit mulai 2017 yang dinaikkan secara progresif.

Pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen Nomor 367 seperti yang diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Prancis pada 21 Januari 2016 dianggap telah melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) Tahun 1994.

"Saya paham, ini adalah wewenang Parlemen Prancis, namun saya meminta Pemerintah Prancis untuk tidak mengadopsi Amandemen Nomor 367. Sebaliknya, saya meminta Pemerintah Prancis agar dapat bekerja sama dengan Indonesia untuk mengatasi masalah yang terjadi di Prancis yang berkaitan dengan minyak kelapa sawit," katanya dalam siaran pers kepada Sindonews di Jakarta, Jumat (5/2/2016).

Menurutnya, penerapan pajak minyak kelapa sawit dan turunannya akan melanggar prinsip perlakuan nasional dan nondiskriminasi WTO dan GATT 1994. "Hal ini akan menciptakan diskriminasi harga dan akan merugikan Indonesia. Saya kirim surat agar Pemerintah Prancis dapat membantu membatalkan rencana tersebut," imbuh dia.

Pria yang akrab disapa Tom Lembong ini menilai, jika rencana itu diberlakukan, harga minyak kelapa sawit Indonesia tidak akan kompetitif. "Pada akhirnya industri makanan di Prancis dan negara-negara Uni Eropa akan mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya yang harganya lebih murah," ungkap Tom.

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung, sektor kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja di Indonesia dan memberikan kontribusi 1,6% terhadap PDB Indonesia.

Sekitar 61 kota di Indonesia, termasuk kota-kota kecil, hidup dari sektor minyak kelapa sawit. Selain itu, pendapatan ekspor Indonesia dari komoditas ini mencapai sekitar USD19 miliar per tahun.

"Mengingat peran strategis sektor minyak kelapa sawit dalam perekonomian, perlakuan diskriminatif di pasar ekspor akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi, sosial dan politik yang telah dibangun dan dipertahankan dengan susah payah sejak awal 2000-an," tutur Mendag.

Dalam Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017, Pemerintah Prancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 euro per ton pada 2017, kemudian naik menjadi 500 euro per ton pada 2018, meningkat menjadi 700 euro per ton pada 2019, serta naik lagi menjadi 900 euro per ton pada 2020.

‎Padahal, The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Artikel III:2 telah mengatur bahwa produk impor, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dikenakan pajak internal atau biaya internal lainnya seperti produk dalam negeri.

Sementara itu, pada GATT Artikel XX memungkinkan negara anggota WTO untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman, namun penerapannya tidak boleh memberikan pembenaran terhadap diskriminasi, atau pun pembatasan perdagangan internasional.

Jika penerapan amandemen tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, tambah dia, langkah ini juga dinilai tidak tepat.

"Indonesia telah mengambil kebijakan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (The Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim," jelasnya.

Selain itu, industri minyak kelapa sawit Indonesia juga berpartisipasi dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk memastikan minyak kelapa sawit Indonesia diproduksi sesuai standar untuk keberlanjutan.

Sementara, jika terkait dengan isu kesehatan, hal itu tidak tepat. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

"Jika ada pengaturan terkait konsumsi lemak jenuh, maka harus ditargetkan pada seluruh produk makanan yang mengandung lemak jenuh, baik minyak kelapa sawit, minyak nabati lainnya, atau lemak hewan," ucapnya.

Dia menegaskan, pemerintah akan selalu berupaya untuk melindungi akses pasar produk Indonesia. "Pemerintah Indonesia akan melakukan segala upaya untuk melindungi dan menjaga kepentingan akses pasar produk Indonesia di luar agar tidak mendapat hambatan," pungkasnya.

Baca:

Pemerintah Diminta Respon Kebijakan Prancis Kenakan Pajak CPO RI

Prancis Kenakan Pajak CPO RI, Petani Kelapa Sawit Protes

Rizal: Rencana Prancis Kenakan Pajak Progresif CPO Bentuk Arogansi
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4181 seconds (0.1#10.140)