Family Control: Madu atau Racun?

Senin, 29 Agustus 2016 - 06:29 WIB
Family Control: Madu atau Racun?
Family Control: Madu atau Racun?
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School

MAYORITAS perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi perekonomian di Indonesia dikendalikan oleh keluarga. Saya menemukan bahwa sekitar 80% perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dikendalikan oleh keluarga.

Apakah kepemilikan keluarga baik bagi pemegang saham minoritas? Kepemilikan keluarga di perusahaan publik bisa diibaratkan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, family controlled firms (FCF) dianggap memiliki tiga kelebihan utama dibanding non-family controlled firms (NFCF).

Pertama, FCF dapat memimalkan benturan kepentingan antara pemilik dan manajemen (agency problems). Umumnya investor keluarga ikut aktif dalam mengelola perusahaan, baik sebagai direksi maupun komisaris. Makanya, sulit ditemukan kasus ekspropriasi terhadap investor oleh manajemen seperti pada kasus Enron.

Kedua, keluarga memiliki horison investasi yang panjang. Perusahaan keluarga dibangun dengan impian “bertahan hingga tujuh turunan”. Ia merupakan aset yang sakral karena membawa nama keluarga dan akan diwariskan turun temurun. Akibatnya, investor keluarga akan berusaha sekuat tenaga menjaga kinerja dan kelanggengan perusahaannya. Ford, misalnya, telah memproduksi mobil hingga lebih dari satu abad. Rokok produksi Sampoerna tetap berasap sejak 1913.

Ketiga, investor keluarga memiliki kelebihan dalam mengelola suatu bisnis (know-how) karena pengalamannya panjang. Ini juga membantu meningkatkan stabilitas bisnis serta perencanaan jangka panjang.

Di sisi lain, FCF memiliki beberapa kelemahan dibanding NFCF. Yang utama adalah masalah management entrenchment , yakni keluarga bertahan terlalu lama di manajemen puncak sehingga sulit dilengserkan meski tidak lagi kompeten. Penempatan anggota keluarga yang kurang kompeten di jajaran manajemen (nepotisme) juga potensial menghambat kinerja perusahaan.

Di AS, misalnya, ditemukan bahwa FCF berkinerja baik hanya jika dipimpin oleh seorang CEO profesional dengan family founder sebagai komisaris utama. Perlu dicatat pula bahwa konflik antar-anggota keluarga bisa menimbulkan guncangan serius pada kinerja perusahaan.

Namun, problem utama kepemilikan keluarga adalah dengan hanya 51% kepemilikan, keluarga dapat mengendalikan sebuah perusahaan. Artinya, mereka dapat menikmati keuntungan pribadi dari mengendalikan perusahaan (private benefits of control) atas biaya pemegang saham lain (minoritas).

Apalagi jika mereka mengendalikan perusahaan tersebut melalui struktur piramida. Misalnya, si Polan memiliki 51% saham perusahaan A, yang memiliki 51% perusahaan B. Maka, ia dapat mengendalikan B meskipun hanya memiliki 26% saham B. Ini sangat berbahaya bagi pemegang saham minoritas B karena Si Polan dapat memindahkan kerugian dari A ke B, memindahkan keuntungan dari B ke A atau menggunakan uang B untuk kampanye politiknya.

Kasus ini tidak jarang terjadi di Indonesia (lihat misalnya, Johnson, dkk, 2000 dan Claessens, dkk, 2000). Asian Development Bank (2000) mengindikasikan bahwa 69% dari emiten di BEI memiliki struktur piramida! Ranah akademik mencoba mencari bukti dampak kepemilikan keluarga terhadap kinerja finansial emiten.

Hasil studi empiris ternyata bervariasi. Dampak positif ditemukan terutama di negara-negara maju dengan perlindungan hukum yang kuat (common law system) seperti AS dan Inggris. Dampak negatif lebih banyak ditemukan di negara dengan perlindungan hukum yang relatif lemah (civil law system ) seperti negara Asia timur dan tenggara. Ironisnya, di negara seperti ini, termasuk Indonesia, kepemilikan keluarga dan struktur piramida justru tumbuh subur.

Mahasiswa bimbingan saya, Athalia Hidayat dan Edward Luwinar, melakukan penelitian dengan topik pengaruh kendali keluarga terhadap kinerja keuangan perusahaan pada tahun 2011. Data dikumpulkan dari 340 perusahaan yang terdaftar di BEI pada periode tahun 2003-2009, tidak termasuk perusahaan di sektor keuangan.

Kami menemukan, secara ratarata, kinerja keuangan (diukur dengan Tobins Q) perusahaan keluarga lebih rendah daripada perusahaan nonkeluarga. Hasil penelitian juga mengindikasikan, secara rata-rata, kinerja keuangan perusahaan keluarga di bawah kepemimpinan CEO generasi penerus lebih rendah dibanding kinerja perusahaan keluarga yang memiliki profesional sebagai CEO, maupun yang masih dipimpin oleh sang pendiri (family founder).

Temuan lain yang menarik adalah, secara rata-rata, perusahaan dengan pendiri sebagai komisaris utama (founder chairman) dan generasi penerus sebagai direktur utama (descendant CEO) memiliki kinerja keuangan yang paling rendah dibandingkan pasangan komisaris-direksi lainnya.

Hal ini sejalan dengan teori bahwa orang tua cenderung memanjakan atau tidak tega terhadap anaknya. So , jangan anggap enteng kendali dan manajemen keluarga. Family does matter.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3499 seconds (0.1#10.140)