Klaim Rasio JHT Capai 48,87%, Pemerintah Diminta Revisi Aturan

Jum'at, 09 September 2016 - 06:24 WIB
Klaim Rasio JHT Capai 48,87%, Pemerintah Diminta Revisi Aturan
Klaim Rasio JHT Capai 48,87%, Pemerintah Diminta Revisi Aturan
A A A
JAKARTA - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mendesak Pemerintah merevisi regulasi Jaminan Hari Tua (JHT) sebelum akhir tahun ini. Pasalnya, penarikan dana JHT yang dilakukan terus oleh masyarakat dapat mengganggu stabilitas pasar uang dan pasar modal nasional.

BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) mencatat hingga Juni 2016, program JHT telah memiliki aset mencapai Rp197,66 triliun. Sementara klaim rasionya mencapai 48,87% dengan jumlah 1.227.559 kasus. Jumlah klaim tertinggi untuk jenis klaim karena kepesertaan di atas lima tahun dengan jumlah 1.178.561 kasus.

Plt. Ketua DJSN, Andi Zainal Abidin Lulung mengatakan klaim yang tinggi tersebut berlawanan dengan fungsi dasar program JHT yang harusnya ditujukan untuk masa tua pekerja. Karena itu, dia meminta Presiden Jokowi agar mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT).

“Kami sudah dua kali menyurati Presiden Joko Widodo agar segera mencabut PP 60/2015 dan kembali memberlakukan PP 46/2016 tentang JHT. PP 46/2015 sudah sesuai amanat UU 40/2004, dimana JHT diambil apabila pekerja masuk usia pensiun, mengalami cacat total dan atau meninggal dunia. Semoga tahun ini bisa dilaksanakan Pemerintah,” ujar Zainal saat ditemui di Jakarta, Kamis (8/9/2016).

Kondisinya pada PP 60/2015, pekerja yang berhenti bekerja langsung mengambil JHT-nya di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Padahal UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur JHT bisa diambil pekerja (peserta) atau ahli warisnya apabila peserta memasuk usia pensiun, mengalami cacat total atau meninggal dunia.

Anggota DJSN, Taufik Hidayat menambahkan, dengan adanya PP 60/2015 yang membolehkan pekerja mengambil JHT begitu mereka berhenti bekerja sudah mengganggu perekonomian nasional. “Setiap hari pekerja berbondong-bondong mengambil JHT di kantor-kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan. Untung kalau dana tersedia, kalau tidak perekonomian nasional terganggu,” kata dia.

Menurut Taufik, pihaknya dalam waktu dekat akan segera bertemu Menteri Ketenagakerjaan untuk segera mencabut (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang merupakan amanat dari PP 60/2015.

PP 60/2015 ini mengamanatkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JTT dimana dinyatakan, pembayaran manfaat JHT dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melalui masa tunggu satu bulan terhitung sejak surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan, sedang untuk PHK terhitung sejak tanggal PHK.

Sejak ada aturan tersebut BPJSTK kewalahan melayani klaim pekerja yang mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT). Arus penarikan dana JHT terjadi di hampir seluruh kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan. Mayoritas klaim JHT dilakukan dengan alasan mengundurkan diri atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebelumnya Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan penarikan dana JHT sebelum waktu nilai manfaat JHT, berdampak merugikan peserta karena didapat sat pensiun semakin sedikit. "Mayoritas yang menarik klaim JHT adalah usia muda. Itu yang kami sayangkan. Kalau mereka melakukan redeem atau klaim, pekerja ini yang akan dirugikan," kata Agus beberapa waktu lalu.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4779 seconds (0.1#10.140)