Mikro Prudensial Babak Belur Selama Dua Tahun Jokowi-JK

Rabu, 26 Oktober 2016 - 01:26 WIB
Mikro Prudensial Babak Belur Selama Dua Tahun Jokowi-JK
Mikro Prudensial Babak Belur Selama Dua Tahun Jokowi-JK
A A A
DALAM dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) masih banyak menuai kritik, meski ada beberapa hal yang dinilai cukup baik. Salah satu yang dinilai masih buruk adalah terkait mikro prudensial.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan, selama dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK, sektor ekonomi mikro prudensial masih babak belur, meski makro prudensial sudah terbilang cukup terkendali.

Menurutnya, ada kemerosotan pertumbuhan berarti pada kinerja ekonomi kabinet kerja di sektor tersebut. Maka, jika dikaitkan dengan janji dalam nawacita, hal ini memang terjadi pergeseran.

"Pertama, kalau nawacita itu meningkatkan produktivitas dan daya saing, membangun dari pinggir, kemandrian ekonomi. Jadi, produktivitas dan daya saing. Nah, ini jangankan membaik, tapi malah memburuk, babak belur," kata dia kepada Sindonews, Jakarta, belum lama ini.

Sektor rill, lanjut dia, seperti manufaktur, pertanian indikatornya mengalami penurunan. Jika ingin dilihat lebih rinci, industri manufaktur saat ini impor bahan baku melemah, tapi impor konsumsinya naik. Hal tersebut dapat diartikan bahwa daya saing Indonesia melemah.

"Impor beras yang biasanya setahun 300 juta ton, kemarin sampai Juli hampir 400 juta impornya. Impor barang, impor terigu, impor pangan yang lain melonjak juga," imbuhnya.

Selain itu, dari sektor investasi memang meningkat. Namun, realisasinya malah tidak banyak meningkat, terutama investasi di manufacturing. Sehingga, jika sektor industri pertumbuhannya hanya sekitar 4,5%, maka dampaknya pada ketersediaan lapangan kerja juga menurun.

Sekalipun angka pengangguran terbuka menurun, namun mereka malah terlempar ke sektor informal. "Ini artinya terlihat mengapa daya beli masyarakat rendah. Tidak heran jika inflasi rendah. Ini bahaya, karena lebih disebabkan karena daya beli masyarakat yang rendah, daya belinya tidak ada. Sehingga harga turun," katanya.

Untuk ke depan yang urgent harus dibenahi yakni mikro prudensial. Jika dalam tiga tahun ke depan, banyak yang dimimpikan dan ditarget kabinet kerja, sudah bukan waktunya lagi untuk bermimpi, mau tidak mau harus selesaikan apa yang sudah ada di depan mata. Jangan pemerintah hanya mendempul dengan banyak kebijakan namun masih cacat di dalamnya.

"Misalnya, menampilkan diri, dibedakin, tapi jerawatan, kusam, kena hujan bakalan luntur lagi. Artinya fondasinya rapuh. Ini ke depan harus diperbaiki, tambal compang camping tadi, yakni memulihkan daya beli, ketersediaan lapangan kerja, dan fokus ke ketersediaan pangan dan energi," tutupnya.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menjelaskan, memang banyak apresiasi yang patut dihaturkan untuk pemerintahan Jokowi-JK selama dua tahun terakhir. Namun, ada catatan yang harus diperbaiki salah satu terkait pendapatan fiskal yang keteteran untuk dikejar.

Pendapatan pemerintah bukan naik tapi malah menurun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik, seharusnya pertumbuhan pajak juga bisa meningkat. Sayangnya, kondisi yang terjadi malah berbeda.

"Jadi, dari sisi fiskal, pengeluaran pemerintah sudah ada perbaikan. Tapi dari sisi penerimaan, ini masih terus kita tunggu. Sekarang ini sudah ada tax amnesty, tapi kelanjutannya apa? Kita tidak bisa andalkan itu terus," kata dia kepada Sindonews beberapa waktu lalu.

Selain itu, defisit anggaran APBN 2016 yang makin melebar juga harus menjadi konsen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa defisit bisa mencapi 2,41%.

Sebelumnya, Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani pernah meyampaikan bahwa hingga akhir tahun range-nya di antara 2,5%-2,7%.‎ Hal ini ditandai dari data per September, Penerimaan negara mencapai Rp1.081,2 triliun, dan belanja Rp1.305,5 triliun, maka defisitnya mencapai Rp224,3 triliun.

"Kondisi ini dalam jangka panjang enggak terlalu baik. Karena defisit yang membengkak ini ternyata dibarengi dengan struktur fiskal yang enggak berkelanjutan. Tidak usah nunggu akhir tahun deh, defisit kita menjelang akhir tahun aja sudah melebar," kata Yose.

Selain itu, dari segi investasi juga belum menunjukkan sesuatu yang signifikan, dan tidak bisa mengandalkan pemerintah terus karena revenue juga menurun. Yose khawatir, jika ini terus terjadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali turun.

"Itu saya pikir bukan hanya ditingkatan, tapi harus ada pembenahan di makro kita dan mengatur penerimaan," ujar dia.

Dari sisi moneter, hampir tidak ada masalah, termasuk inflasi yang cukup stabil. Namun, tidak boleh terlena, karena inflasi rendah ini biasanya lantaran permintaan dan daya beli yang turun. Itu sudah menjadi hukum ekonomi.

Bahkan, lanjut dia, dibanding negara-negara tetangga, inflasi di Indonesia secara year on year masih cukup tinggi yakni 3,5%, sedangkan negara lain hanya 1%.

Dari sisi nilai tukar rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga harus menjaga kestabilan. Agar tidak terlalu turun dan naik drastis. "Karena itu akan memengaruhi iklim investasi berkelanjutan. Membuat keraguan investor akan fluktuasi rupiah yang dalam," pungkasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6697 seconds (0.1#10.140)