Harga Jual Listrik Energi Terbarukan Direvisi

Rabu, 30 November 2016 - 22:04 WIB
Harga Jual Listrik Energi Terbarukan Direvisi
Harga Jual Listrik Energi Terbarukan Direvisi
A A A
JAKARTA - Pemerintah saat ini tengah merevisi terhadap penetapan harga jual listrik (feed in tarif) energi berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Langkah tersebut dilakukan lantaran pengembangan energi terbarukan masih terhambat masalah harga yang belum ideal antara pengembang dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku pembeli.

"Dengan merevisi aturan-aturan terkait penetapan harga antara PLN dengan investor maka diharapkan akan mempercepat pengembangan EBT di Indonesia," ujar Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maritje Hutapea, saat hadir dalam diskusi bertajuk ‘Toward Energy Tranformation’ di Gedung Patra Jasa Jakarta, Rabu (30/11/2016)

Menurutnya peninjauan kembali aturan penetapan harga jual EBT menghasilkan harga yang ideal sebagai titik temu antara pengembang dengan PLN. Pasalnya Jika tidak, kata dia, pengembangan EBT berjalan lamban.

“Saat ini kita intensif membahas bagaimana pengembangan EBT lebih meningkat lagi ke depan. Intinya bagaimana membuka sektor EBT ini menarik bagi investor. Bisa saja feed in tarif diturunkan sehingga PLN mau membeli dengan tetap memberikan berbgai insentif sehingga tetap ekonomis,” jelasnya.

Dia mengatakan, insentif yang diberikan bisa aja berupa penghapusan pajak penghasilan dan pajak badan usaha. Saat ini, kata dia, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal dan PLN sedang intensif membahas masalah tersebut. “Tim akan mengkaji ulang, apa yang harus kita buat supaya pengembangan EBT tetap jalan walaupun tanpa subsidi,” papar dia.

Lebih lanjut diterangkan olehnya bahwa dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 Kementerian ESDM mengusulkan alokasi subsidi sebesar Rp1,1 triliun disetujui Komisi VII akan tetapi alokasi tersebut di tolak oleh Badan Anggaran. Padahal subsidi dibutuhkan untuk menutupi selisih harga listrik dari energi terbarukan yang lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan listrik.

“Penolakan Banggar karena memang rencananya subsidi diberikan kepada investor, tapi dalam aturan Undang-undang (UU) tidak diperbolehkan karena subsidi hanya bisa diberikan langsung kepada masyarakat tidak mampu,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Apindo Bidang ESDM Sammy Hamzah mengatakan, jika dilihat pemerintah sudah cukup agresif dalam memberikan tarif yang ideal kepada investor. Namun masalahnya saat ini adalah bagaimana membuat revisi ini menjadi ideal antara pengembang dengan PLN selaku pembeli.

“Saya lihat pemerintah sudah cukup agresif mengembangkan EBT, bahkan sudah bersedia membeikan tarif tinggi bagi investor. Saat ini tinggal PLN mau membeli atau tidak, karena ketika pemerintah menetapkan harganya, PLN belum tentu setuju,” ujar Sammy.

Dia juga meminta supaya pemerintah kembali mengusulkan alokasi subsidi untuk energi baru terbarukan dalam APBN perubahan dengan memberikan subsidi bukan untuk investor akan tetapi langsung diberikan masyarakat. “Mekanismenya mungkin harus diubah, supaya subsidinya di setujui oleh DPR,” kata dia.

Pengamat energi dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya menyambut baik revisi terhadap aturan feed in tarif. Pihaknya meminta revisi tersebut harus segera dituntaskan supaya pengembang dan PLN sama-sama memperoleh keuntungan. Jika sudah ditemukan harga yang ideal, lanjutnya, maka feed in tarif yang sudah ditentukan oleh pemerintah harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

“Evaluasi ini tentu harus melibatkan semua pihak baik PLN dan stakeholder lainnya. Keputusan akhir tentunya PLN sebagai pembeli harus mematuhi harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” tandasnya.

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Ridha Mulyana menegaskan aturan terhadap penetapan harga jual EBT tidak dicabut akan tetapi hanya direvisi tarifnya. Dia memberikan contoh tarif listrik dari pembangkit listrik tenaga sampah bisa diturunkan atau dinaikan dengan memperhitungkan variable seperti biaya operasi, tingkat pengembalian modal (internal rate of return/IRR) dan teknologi yang digunakan.

“Misalnya pembangkit dari sampah ini dipatok dengan harga USD18,77 sen per kWh dengan asumsi opex Rp100 triliun. Penentuan opex ini tepat atau tidak tergantung dengan teknologi yang digunakan,” kata dia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4701 seconds (0.1#10.140)