Homestay

Minggu, 15 Januari 2017 - 12:14 WIB
Homestay
Homestay
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady

HOMSETAY
adalah real solution bagi sektor pariwisata Indonesia. Sebuah solusi yang ”cantik” bagi Indonesia.

Konsep homestay yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lokal di sekitar destinasi wisata akan menciptakan distribusi kemakmuran, men-trigger tumbuhnya entrepreneur lokal, memperluas jangkauan akomodasi ke seluruh pelosok Tanah Air, dan menciptakan layanan more for less tourism bagi wisatawan. Wow ... sungguh sebuah solusi ideal.

Wirausahawan Lokal

Pengembangan homestay yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat di sekitar destinasi wisata merupakan solusi pemerataan kemakmuran yang sustainable. Dengan konsep ini maka masyarakat lokal akan ikut menikmati tetesan rezeki dari wisatawan yang datang dengan menyewa homestay milik mereka.

Alih-alih membangun hotel-hotel besar bertaraf internasional yang dimiliki investor kakap, konsep homestay memungkinkan masyarakat lokal ikut menikmati rezeki yang dibawa oleh wisatawan. Sehingga, majunya sebuah destinasi wisata akan berkait langsung dengan kemakmuran masyarakat lokal secara merata.

Inilah yang disebut konsep pariwisata inklusif (inclusive tourism). Kalau sudah begini maka sektor pariwisata menjadi kandidat paling sempurna untuk menjadi ”mesin pemerataan” pembangunan. Dengan memberikan kesempatan masyarakat lokal memiliki dan mengelola homestay maka akan tumbuh para wirausahawan lokal (local entrepreneur) di sekitar destinasi wisata.

Dan, dengan adanya wirausahawan ini, maka potensi sebuah destinasi wisata akan bisa dieksplorasi dan dikembangkan lebih lanjut. Mereka akan menjadi apa yang oleh Richard Florida disebut creative class yang menjadi faktor kunci pengembangan destinasi wisata. Ingat, majunya kota-kota destinasi wisata, seperti Bali, Yogyakarta, atau Bandung tak lepas dari peran kunci dari wirausahawan di berbagai bidang industri kreatif mulai dari kerajinan, fashion, resto, kafe, dan lain-lain.

Ekstensifikasi


Konsep homestay juga memungkinkan perluasan (ekstensifikasi) akomodasi ke berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air. Kementerian Pariwisata sudah menghitung, untuk mewujudkan 20 juta kunjungan wisman di tahun 2019, setidaknya dibutuhkan 100.000 kamar hotel baru di berbagai destinasi wisata utama kita. Asumsikan setiap hotel memiliki 100 kamar, maka untuk mewujudkan target di atas dibutuhkan sekitar 1.000 hotel. Wow, membangun 1.000 hotel dalam waktu 3 tahun?

Mana bisa! Itu satu isu. Isu yang lain, hotel chain tentu saja tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Ia akan membangun hotel di kota-kota wisata yang sudah jadi seperti Bali, Yogyakarta, atau Bandung yang potensi pasarnya sudah jelas. Sementara, kita justru ingin membangun akomodasi di desa-desa wisata yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air dari Sabang sampai Merauke.

Untuk mensolusikan dua isu tersebut, kita perlu terobosan inovatif dalam penyediaan akomodasi dengan konsep homestay ini. Sebagai negara kepulauan, konsep homestay sangat cocok bagi Indonesia yang memiliki ribuan destinasi wisata yang tersebar begitu luas di berbagai kepulauan Nusantara.

Karena skalanya kecil, membangun homestay akan lebih mudah dan lebih fleksibel dibandingkan membangun hotel. Pembangunan homestay juga bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air karena homestay tersebut dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi wisata.

More for Less

Dari sisi kepentingan konsumen/wisatawan, konsep homestay juga merupakan solusi luar biasa karena akan menyediakan pilihan akomodasi yang murah dan mudah. Murah (sekitar Rp200.000-300.000 per malam), karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau karena dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Mudah, karena wisatawan bisa mengakses informasinya melalui situs-situs berbagi (sharing platform) seperti AirBnB. Kalau homestay dikelola secara mandiri oleh masyarakat lokal, pertanyaannya, bisakah mereka men-deliver layanan berkelas dunia, khususnya untuk para wisman?

Memang homestay yang ada selama ini di berbagai desa wisata belum mampu memberikan service excellence. Kenapa begitu? Karena mereka mengelolanyasecara sendiri-sendiri. Jikamereka berhimpun di dalam satu payung (misalnya berbentuk koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, BUMD) dan kemudian mengelolanya secara bersamasama dengan menerapkan manajemen modern, maka tentu service excellence bisa diwujudkan. Ambil contoh setiap 100 homestay di suatu kawasan destinasi wisata tertentu dikelola oleh satu koperasi atau BUMD dengan tim manajemen yang solid dan modern.

Di dalam koperasi/ BUMD homestay ini seluruh aspek manajemen (operasi, keuangan, pemasaran, customer service, dsb.) distandardisasi dengan mengacu kepada konsep manajemen modern (global best practices). Ketika bersatu-padu maka mereka tak hanya mampu menyediakan layanan homestay murah-meriah, tapi juga mampu memberikan service excellence berkelas dunia. Ini yang disebut: more for less tourism.

Murah tapi berkelas. Beberapa waktu lalu Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan ambisinya untuk memosisikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah homestay terbanyak di dunia. Ini kabar menggembirakan. Artinya, sektor pariwisata kita sudah on the right track, dibangun untuk mewujudkan tak hanya pertumbuhan, tapi juga pemerataan kemakmuran.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4673 seconds (0.1#10.140)