Value Building Growth 1.0

Senin, 16 Januari 2017 - 06:23 WIB
Value Building Growth 1.0
Value Building Growth 1.0
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)


BERTUMBUH merupakan aspek yang sangat penting bagi sebuah perusahaan. Namun, tidak semua pertumbuhan perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham.

Artikel ini membahas tentang bagaimana mengelola pertumbuhan yang menciptakan nilai (value building growth). Konsep penciptaan nilai bagi pemegang saham, sejak dipopulerkan oleh Alfred Rappaport (1986) dalam bukunya "Creating Shareholder Value”, telah menjadi filosofi dan tujuan standar bagi perusahaan-perusahaan.

Konsep manajemen berdasarkan nilai (value based management) ini telah mengilhami perusahaan konsultan kelas dunia untuk menciptakan ukuran kinerja perusahaan yang lebih baik.

Harapannya, dengan adanya ukuran tersebut, manajer akan termotivasi untuk memaksimalkan nilai bagi pemegang saham. Ukuran kinerja berdasarkan laba akuntansi, seperti earnings per share (EPS), price earnings ratio (PER), return on investment (ROI), dan return on equity (ROE), dianggap tidak cocok dengan semangat value based management. Mengapa? Laba akuntansi, selain rentan terhadap metode akuntansi yang digunakan, mengabaikan biaya ekuitas.

Kelemahan inilah yang coba dikoreksi oleh berbagai ukuran baru, seperti economic value added atau EVA dan market valueadded atau MVA (Stern and Stewart), cash flow return on investment atau CFROI (Boston Consulting Group), shareholder value added atau SVA (LEK/Alcar) (Martin dan Petty, 2000). Aplikasi dari salah satu ukuran kinerja tersebut diharapkan dapat memotivasi manajemen perusahaan agar secara konsisten menghasilkan rate of return di atas biaya modal sehingga harga saham diharapkan meningkat.

Namun, konsultan manajemen AT Kearney mengingatkan adanya kecenderungan perusahaan untuk mengabaikan pertumbuhan pendapatan (top-line) dan lebih berkonsentrasi pada usaha meningkatkan profitabilitas (bottom-line) melalui efisiensi biaya. Survey AT Kearney terhadap 350 CEO di seluruh dunia pada 1999 mengungkapkan bahwa para pemimpin perusahaan tersebut memanfaatkan hanya 50% dari potensi pertumbuhan mereka (top-line, diukur dengan revenue atau sales).

Kendala untuk bertumbuh sesuai potensi disebabkan oleh faktor internal seperti pilihan strategi-strategi serta struktur perusahaan. Mengapa pertumbuhan perusahaan menjadi sesuatu yang penting? Pertumbuhan yang kuat dan stabil merupakan pemicu kenaikan harga saham. Sekitar seperlima dari nilai perusahaan ditentukan oleh arus kas yang diterima perusahaan saat ini. Sisanya ditentukan oleh perkiraan pertumbuhan profit perusahaan (expected growth of profits), yang sangat tergantung pada perkiraan pertumbuhan pendapatan (expected revenue growth).

Untuk mendorong pertumbuhan profit, perusahaan dapat melakukan upaya efisiensi. Namun, seberapa jauh biaya dapat ditekan? AT Kearney menawarkan suatu konsep yang diberi nama value building growth (VBG) atau pertumbuhan yang menciptakan nilai bagi shareholder.

AT Kearney mengategorikan perusahaan menjadi: profit seekers, simple growers, underperformers dan value builders seperti disajikan pada gambar. Pembagian ini didasarkan pada dua dimensi: value growth yang menunjukkan kualitas pertumbuhan dan revenue growth yang mengindikasikan kuantitas pertumbuhan perusahaan.

Value growth
diukur dengan adjusted market capitalization atau pertumbuhan kapitalisasi pasar (harga saham dikalikan jumlah saham beredar) yang telah disesuaikan dengan pertambahan ekuitas, sedangkan revenue growth diukur dengan pertumbuhan pendapatan atau penjualan. Value grower merupakan perusahaan yang mampu mencapai revenue growth dan sekaligus value growth di atas rata-rata industri. Ini merupakan idaman setiap perusahaan: bertumbuh secara kuantitas dan kualitas.

Penelitian AT Kearney mengindikasikan bahwa perusahaan yang termasuk kategori value grower mampu menciptakan shareholder value untuk jangka waktu yang panjang. Profit seeker adalah perusahaan yang lebih baik dari para pesaingnya (industri) dalam hal value growth namun lebih buruk dalam hal revenue growth. Simple grower merupakan kebalikan dari profit seeker, memiliki revenue growth lebih baik dari industri namun value growth lebih buruk dari industri. Under performer adalah perusahaan yang baik revenue growth maupun value growth berada di bawah rata-rata industri.

Menurut AT Kearney, pola pertumbuhan perusahaan tidak linier, namun cenderung berbentuk spiral. Artinya, posisi perusahaan (center of gravity) pada growth matrix tidak diam statis, namun berpindah-pindah dari tahun ke tahun secara spiral. Perusahaan yang berada di kuadran 2 (profit seekers) bias saja berpindah ke kuadran 1 (value builders) dengan terlebih dahulu migrasi ke kuadran 4 (under performers) dan kuadran 3 (simple growers).

Sebaliknya sebuah perusahaan yang tadinya berada di kuadran 1, bisa terlempar ke kuadran 4 melalui kuadran 2. Minggu depan kita akan belajar strategi untuk bergerak ke kuadran value builders.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3625 seconds (0.1#10.140)