Suku bunga, inflasi dan laju IHSG

Rabu, 26 Desember 2012 - 08:48 WIB
Suku bunga, inflasi dan laju IHSG
Suku bunga, inflasi dan laju IHSG
A A A
Judul tulisan di atas sepintas tampak tidak ada kaitan satu dengan yang lain. Tetapi jika ditelaah lebih dalam, masing-masing memiliki hubungan yang erat, saling terkait satu dengan yang lain, bahkan ada yang saling berpengaruh. Tingkat suku bunga dan inflasi misalnya memiliki hubungan saling memengaruhi. Jika suku bunga naik, inflasi bisa naik dan sebaliknya jika inflasi naik tingkat suku bunga juga bisa naik.

BI selaku otoritas moneter hingga kini masih mempertahankan BI rate 5,75 persen karena tingkat inflasi bisa dijaga di bawah 5 persen. Diprediksi, inflasi selama 2012 akan berkisar 4,7 persen hingga 4,8 persen. Sementara hubungan tingkat suku bunga terhadap IHSG bersifat independen, sebaliknya IHSG relatif dependen terhadap tingkat suku bunga.

Artinya, naik turunnya suku bunga bisa berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG. Tapi tidak sebaliknya, naik turunnya IHSG tidak berpengaruh signifikan terhadap naik turunnya suku bunga. Begitu pula, hubungan antara inflasi dengan IHSG. Laju inflasi bisa berpengaruh signifikan terhadap IHSG, tetapi laju IHSG tidak memiliki pengaruh material terhadap inflasi.

Hubungan kausalitas atau saling pengaruh ini akan semakin terbukti melalui study atau penelitian yang bersifat ilmiah. Dalam kaitannya dengan kegiatan investasi, maka besaran suku bunga memang tidak bisa dipisahkan dengan laju inflasi. Perbandingan keduanya dilakukan untuk mengetahui berapa imbal hasil riil jika dana diinvestasikan di deposito.

Data dari Bank Indonesia (BI), bunga deposito perbankan untuk kurun satu tahun sekitar 5 persen hingga 6 persen. Dengan asumsi suku bunga deposito satu tahun 6 persen, maka jika seseorang mendepositokan uangnya Rp100, maka satu tahun kemudian nilai uang itu bertambah menjadi Rp106. Ini belum dipotong pajak deposito yang ditetapkan 20 persen. Jika dihitung setelah potong pajak, maka imbal hasil dari deposito itu hanya 4,8 persen.

Artinya nilai uang yang Rp100 tadi akan naik menjadi Rp104,8. Imbal hasil itu belum memperhitungkan faktor kenaikan harga atau inflasi. Jika inflasi selama satu tahun misalnya 5 persen, maka sebenar-benarnya imbal hasil riil dari dana yang ditempatkan di deposito dengan suku bunga 6 persen tadi adalah negatif. Artinya, nilai uang bukannya naik tetapi justru turun. Imbal hasil investasi di deposito yang 6 persen tergerus oleh laju inflasi yang 5 persen.

Gambarannya begini. Jika pada satu tahun lalu uang Rp100 bisa membeli beras 1 kg, maka dengan inflasi 6 persen berarti harga beras menjadi Rp106. Uang Rp100 untuk satu tahun kemudian tidak bisa lagi untuk membeli 1 kg beras. Itu berarti nilai uang secara riil mengalami penurunan. Tapi, kondisinya akan lebih parah jika uang didiamkan saja di bawah bantal.

Artinya, suku bunga yang hanya 6 persen tadi masih mendingan daripada tidak diinvestasikan di mana-mana karena akan mengalami penurunan nilai yang lebih besar. Apa upaya untuk mempertahankan nilai uang atau bahkan untuk menaikkan nilai uang di masa depan? Jawabnya cuma satu: cari instrumen investasi yang mampu memberikan imbal hasil lebih tinggi dari inflasi.

Jika tingkat inflasi misalnya 6 persen, maka dengan memperhatikan faktor pajak–imbal hasil riil yang dihasilkan harus di atas 6 persen. Di manakah bisa memperoleh return sebesar itu? Tentu banyak instrumen investasi yang tersedia di pasar, mulai emas, tanah atau bangunan (properti), dinar, reksa dana, obligasi, saham dan lain-lain. Masing- masing instrumen memiliki tingkat risiko berbeda-beda.

Saham

Salah satu instrumen investasi yang memiliki potensi return tinggi adalah saham. Instrumen saham menyimpan potensi imbal hasil yang luar biasa. Apalagi jika dalam proses seleksi portofolio dilakukan dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan susunan portofolio yang terdiri dari saham-saham potensial menguntungkan.

Data BEI, selama 2012 hingga pertengahan Desember lalu, IHSG mampu memberikan imbal hasil sebesar 13 persen. Artinya jika investor memiliki dana Rp100 dan diinvestasikan secara proporsional di seluruh saham yang tercatat di BEI, maka dengan kenaikan IHSG sebesar 13 persen, berarti uang yang Rp100 tadi tumbuh menjadi Rp113. 13 persen itu merupakan keuntungan riil yang dinikmati investor karena tidak ada lagi kewajiban pajak yang harus dibayar seperti halnya deposito.

Apakah return sebesar itu termasuk tinggi? Jawabnya sangat relatif. Jika dibandingkan dengan performance pasar tiga tahun terakhir dari 2009, 2010 dan 2011 imbal hasil yang hanya 13 persen itu memang tidak ada apa-apanya. Tapi jika dibandingkan dengan imbal hasil reksa dana atau deposito di perbankan maka imbal hasil instrumen saham cukup tinggi. Yang penting, nilai uang investor tidak merosot.

Tim BEI
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4209 seconds (0.1#10.140)