Pemerintah Didesak Tingkatkan Produksi Jagung

Selasa, 07 Oktober 2014 - 19:33 WIB
Pemerintah Didesak Tingkatkan Produksi Jagung
Pemerintah Didesak Tingkatkan Produksi Jagung
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah agar menaikkan produksi jagung. Ini diperlukan untuk memenuhi permintaan industri pakan ternak yang tiap tahun selalu meningkat karena selama ini untuk menutupi kekurangan itu dilakukan impor.

“Karena itu pemerintah harus menaikkan produksi jagung,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) Sudirman di Jakarta, Selasa (7/10/2014).

Menurutnya, permintaan jagung untuk bahan baku pakan terus meningkat tiap tahun, sementara produksi dalam negeri belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan tersebut. Lantaran peningkatan permintaan ini tidak diikuti perkembangan pasokan, sehingga memicu impor.

Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim produksi jagung pada 2013 terjadi surplus. Karena beradasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi jagung nasional pada 2013 mencapai 18,9 juta ton.

Namun klaim Kementan tersebut disangsikan para pelaku usaha. Kenyataan di lapangan, kata Sudirman, permintaan jagung untuk bahan baku pakan ternak belum bisa dipenuhi dari dalam negeri.

“Pada 2013 tercatat hampir 3 juta ton jagung harus diimpor karena tak tersedianya jagung lokal di waktu-waktu tertentu,” katanya.

Dengan perkiraan volume impor sebesar 3 juta ton dan harga jagung Rp3.800 per kg, maka pada tahun lalu saja devisa negara sebanyak Rp9,7 triliun mengalir ke luar negeri. Tentu saja hal tersebut akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi difisit.

Apalagi harga jagung impor akan terus naik di tahun-tehun mendatang. “Akan lebih bijaksana jika devisa tersebut bisa digunakan untuk menggenjot produksi jagung nasional, agar mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat,” katanya.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi) Anton J Supit mengatakan salah satu penyebab utama ketidakmampuan memenuhi kebutuhan jagung domestik adalah karena tingkat produktivitas jagung yang rendah. Rata-rata tingkat produktivitas nasional hanya di angka 4 ton per ha.

Ini terjadi akibat rendahnya tingkat penggunaan teknologi dan inovasi sehingga berujung pada produktivitas yang rendah. Selain itu rata-rata kepemilikan atau luas lahan garapan tiap petani di Indonesia sangat minim, yakni hanya 0,2 ha tiap petaninya.

“Pada akhirnya ini menjadikan pendapatan petani jagung yang demikian rendah,” kata Anton.

Di sisi lain, industri peternakan masih mutlak membutuhkan jagung, dan berapapun adanya jagung pasti diserap. Seharusnya situasi ini menjadi kabar positif bagi petani jagung di Tanah Air. Artinya, terdapat peluang besar bagi petani mendapatkan keuntungan.

Mestinya, kata Anton, fakta ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memprioritaskan penanaman jagung sebagai jalan atau strategi menggerakkan perekonomian, mengentaskan kemiskinan, dan mendongkrak kualitas hidup masyarakat setempat.

Upaya pengembangan sentra-sentra jagung yang dimotori pemerintah daerah, kata dia, bukanlah semata untuk mencukupi kebutuhan pabrikan pakan, melainkan sebuah konsep (desain) perekonomian daerah dalam rangka peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9916 seconds (0.1#10.140)