Kemenaker & Kemenlu Dinilai Minim Terobosan

Selasa, 03 Februari 2015 - 15:14 WIB
Kemenaker & Kemenlu Dinilai Minim Terobosan
Kemenaker & Kemenlu Dinilai Minim Terobosan
A A A
JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) selama 100 hari kerja, mendapat rapor merah dalam beberapa hal. Salah satunya mengenai komitmen dan integrasi standar Internasional (HAM dan Labour).

Dalam hal ini, kedua kementerian dinilai belum memiliki upaya yang diambil untuk implementasi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak buruh migran dan anggota keluarganya setelah tiga tahun ratifikasi.

"Langkah implementasi antara lain harmonisasi konvensi ke dalam, seluruh kebijakan terkait migrasi," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (3/2/2015).

Selain itu, belum adanya komitmen dan langkah untuk meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja layak bagi Pekerja Rumah Tangga.

Konvensi ini ujar Anis, merupakan instrumen internasional yang menjamin hak pekerja rumah tangga. Ratifikasi konvensi itu akan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga di dalam atau di luar negeri.

"Praktik eksekusi mati terhadap enam terpidana narkoba membuktikan lemahnya komitmen pemerintah dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama hak hidup," ujarnya.

Praktik eksekusi ini lanjut dia, akan menjadi sandera bagi Pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, yang saat ini mencapai 380 orang di berbagai negara tujuan.

Menurutnya, integrasi gender perspektif dalam birokrasi dan kebijakan di Kemenaker dan BNP2TKI pun diberi rapor merah.

"Keadilan gender belum menjadi persektif utama dalam kebijakan migrasi, birokrasi dan pelayanan bagi buruh migran Indonesia," ungkapnya.

Komitmen terhadap perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga mendapat rapor merah. Dia mengatakan, komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi PRT sangat lemah.

Meskipun Menaker Muhammad Hanif Dhakiri mengeluarkan keputusan menteri Nomor 1 Tahun 2015 tentang perlindungan PRT, namun isi keputusan itu sama sekali tidak memberi jaminan hukum bagi terpenuhinya hak PRT.

Di mana gaji, libur, cuti dan jam kerja diserahkan pada kesepakatan antara majikan dan PRT yang relasinya tidak setara.

"Tidak ada inisiatif untuk mengusulkan RUU Perlindungan PRT sebagai inisiatif pemerintah di parlemen," imbuhnya.

Kemenaker lanjut dia, masih terus mengulang rencana kebijakan zero PRT migran di tahun 2017, yang berpotensi menjadi kebijakan diskriminatif dan menghalangi hak ekonomi perempuan.

Di samping itu, reformasi birokrasi juga mendapat rapor merah. Menurut dia, belum ada upaya yang komprehensif untuk menuntaskan kerancuaan dan konflik kewenangan antara Kemenaker dan BNP2TKI.

"Pejabat eselon I dan II yang lama, yang selama ini tak memiliki prestasi. Bahkan terindikasi terlibat dalam mafia penempatan buruh migran, masih menjabat di BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan," ungkap dia.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, dokumen RPJMN 2015-2019 tidak mencerminkan Nawacita yang menjadi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Nawacita hanya mengisi buku satu dan sebagian dalam buku dua. Namun dalam matriks rencana pembangunan untuk perlindungan buruh migran, Nawacita tak tercermin," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7767 seconds (0.1#10.140)