Pemerintah Diminta Tak Terus Impor Pangan

Sabtu, 18 April 2015 - 19:31 WIB
Pemerintah Diminta Tak Terus Impor Pangan
Pemerintah Diminta Tak Terus Impor Pangan
A A A
YOGYAKARTA - Pemerintah diminta untuk tidak terus melakukan impor pangan, apalagi menjelang terselengaranya ASEAN Economic Comunity (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini.

"Solusinya menurunkan kebutuhan konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan makanan lokal yang diolah secara modern," kata Dewan Pembina Perhimpunan Holtikultura Indonesia (Perhoti) Roedhy Poerwanto di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (18/4/2015).

Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengakui, ketersediaan lahan untuk pertanian di dunia terus menurun, dan pertumbuhan penduduk justru meningkat. Belum lagi, masalah perubahan iklim yang tidak menentu sehingga mengganggu produktivitas pertanian.

Dari segi luas tanam padi, kata dia, Indonesia merupakan negara terluas ketiga di dunia setelah India dan China. Tapi produktivitas padi berada di nomor lima dunia, posisi Indonesia ini di tingkat ASEAN masih kalah dengan Vietnam.

Sementara, dari sisi produksinya, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia. "Kenapa Indonesia masih melakukan impor beras? Ini karena kita yang makan nasi terlalu banyak," ujarnya.

Roedy memaparkan, masyarakat Indonesia saat ini satu orang menghabiskan 125 kg beras per tahun. Padahal di Malaysia saja, satu orangnya hanya menghabiskan 80 kg per tahun. "Itulah kenapa kita masih kekurangan dalam hal pangan ini, terutama ketersediaan beras. Sementara kalau ingin tambah luas area lagi sudah tidak bisa," jelas dia.

Karena itu, swasembada pangan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan untuk ketahanan pangan Indonesia. Dia tidak sepakat jika Indonesia harus mengikuti saran dari Organisasi Untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD- Organisation for Economic Co-operation and Development) yang lebih mengarahkan Indonesia untuk melakukan impor pangan.

"Tidak selamanya kita bisa bertahan dengan impor. Perubahan iklim dan populasi penduduk di seluruh dunia yang akan terus meningkat tidak akan bisa menjadikan impor pangan sebagai solusi di negeri kita," jelasnya.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy jug sepakat untuk tidak menjadikan impor pangan sebagai solusi dari mempertahankan pangan. Impor pangan tidak akan bertahan lama dalam memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Menurutnya, memenuhi kebutuhan pangan dengan jalur impor adalah salah satu jalur yang paling rapuh dan rentan untuk melahirkan inflasi di Indonesia. Jadi, jika ada negara lain yang ingin menguasai Indonesia, kemudian diserang dari sisi impor ini maka Indonesia bisa bertekuk lutut.

"Jika Indonesia ingin menghadapi MEA 2015, dari segi pangan, harus diperkuat. Dari segi ketahanan pangan saja, Indonesia masih kalah untuk tingkat ASEAN," ucap Ichsanuddin.

Pemerintah Indonesia, kata dia, harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan ahli dalam bidang pertanian, serta memperbaiki tata ruang regional.

"Tapi yang lebih penting dari itu adalah semangat dari para penyelenggara negaranya. Jangan hanya bekerja untuk memperkaya dirinya sendiri dan berkhianat pada rakyat dan negaranya," sindirnya.

Perwakilan dari Balai Penelitian dan Pengembangan (Balidbang) Pascapanen Pertanian, Kementerian Pertanian Agus Supriatna Somantri mengatakan, para petani perlu dibekali dengan penguasaan pertanian berbasis teknologi.

Karena pergantian musim juga sudah tidak jelas dan akan menyulitkan petani jika mereka masih terus bertani dengan mengandalkan pergantian musim. Selain itu, mereka juga harus bisa menggunakan aplikasi teknologi informasi.

"Jangan hanya sibuk di produksi tapi juga perlu melakukan hal lebih lainnya agar bisa memiliki daya saing dengan orang lain, terutama orang luar," ujarnya.

Untuk itu, dibutuhkan SDM yang baik dan kompeten yang lahir dari para mahasiswa untuk melahirkan ide-ide besar, seperti bagaimana bisa keluar dari permasalahan pangan ini di masa depan.

Sub Devisi Impor Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Muhammad Yani menjelaskan, untuk bahan-bahan pangan yang diimpor tersebut adalah bahan-bahan yang digunakan untuk kebutuhan khusus.

Dia menyebutkan jika beras yang diimpor adalah beras jenis kepecahan paling tinggi 25% yang diperuntukkan untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan.

"Untuk beras jenis japonica, basmati, thai hom mali, kukus, ketan utuh, beras pecah 100% dan beras ketan pecah 100% digunakan untuk keperluan tertentu seperti kesehatan/dietary, konsumsi khusus/segmen tertentu dan untuk keperluan industri," jelasnya.

Jadi, kata dia, tidak semua jenis beras yang diimpor, hanya jenis-jenis bahan pangan tertentu yang diimpor yang tidak bisa diproduksi sendiri.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4544 seconds (0.1#10.140)