Budaya Konsumen Mengadu Rendah

Rabu, 13 Mei 2015 - 09:51 WIB
Budaya Konsumen Mengadu Rendah
Budaya Konsumen Mengadu Rendah
A A A
JAKARTA - Survei Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, keberanian konsumen Indonesia menuntut hak terkait kondisi barang yang dibelinya masih rendah.

Itu tampak dari indeks keberdayaan konsumen (IKK), khususnya pada tahapan perilaku mengeluh atau mengadu (complain), yang hanya mencapai 11,96. Kemendag merancang IKK sebagai indeks untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan pasar. Angka itu terbilang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan angka maksimum sebesar 100.

”Yang berani untuk menuntut haknya baru 11,96%. IKK perilaku complain yang masih rendah tersebut ada pada tahapan pascapembelian, di mana setelah barang yang dibeli sampai di rumah, ditemukan cacat tersembunyi, rusak, atau lain-lain, namun para konsumen enggan menuntut haknya kepada para pelaku usaha,” kata Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kemendag Widodo seusai menghadiri acara puncak Hari Konsumen Nasional 2015 di Jakarta kemarin.

Dia menjelaskan, perhitungan IKK tersebut dilakukan terhadap 600 responden yang terdiri atas 297 orang perempuan dan 303 laki-laki dengan jenjang pendidikan sekolah menengah umum (SMU) hingga bergelar doktor (S-3) dan berpenghasilan antara Rp200.000- 200 juta per bulan.

Widodo menjelaskan, keengganan tersebut sebagian besar karena para konsumen menganggap bahwa untuk menuntut hak atas ba-rang yang telah dibelinya me-makan waktu. Pengaduan juga dinilai tidak sebanding jika harga barang yang dibeli relatif murah. ”Konsumen kita itu meremehkan. Daripada repot, terutama waktu, apalagi kalau harga belinya murah,” kata dia.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menilai, rendahnya budaya mengadu (complain habit ) di Indonesia disebabkan dua hal. Dari sisi konsumen, internalisasi atau pemahaman dan kesadaran untuk mengadu masih rendah atau bahkan tidak tahu bahwa itu salah satu haknya sebagai konsumen.

Penyebab berikutnya datang dari sisi pelaku usaha yang tidak membuka akses layanan pengaduan sehingga konsumen tidak tahu harus mengadu ke mana dan bagaimana caranya. ”Kalau ada keluhan, itu kan pertama kali seharusnya disampaikan ke pelaku usaha. Kalau tidak ada tanggapan, baru ke pihak ketiga seperti YLKI,” ujarnya kepada KORAN SINDO.

Sudaryatmo mengaku tidak heran dengan hasil pengukuran IKK yang menunjukkan bahwa budaya mengadu konsumen di Indonesia terutama pascapembelian produk hanya 11,96. Selama ini angka statistik data aduan yang diterima YLKI dibanding lembaga sejenis di Malaysia, Hong Kong, dan India memang relatif jauh lebih kecil. ”Di Malaysia bisa sampai 25.000 pengaduan per tahun, sedangkan kami di YLKI cuma 1.000,” sebutnya.

Sudaryatmo menambahkan, hasil IKK hendaknya dijadikan baseline data dalam penyusunan program pemerintah, khususnya di Kemendag. Dengan kenyataan bahwa budaya mengadu masih rendah, Kemendag harus menggencarkan lagi dua hal yaitu sosialisasi dan edukasi konsumen serta mendorong pengusaha untuk membuka akses poin pengaduan. ”Harus ada kemudahan dan keragaman dalam saluran pengaduan,” tandasnya.

Survei Kemendag atas perilaku konsumen di empat kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan juga menunjukkan IKK yang relatif rendah. Widodo mengatakan, IKK di Jakarta tercatat sebesar 43,22; Surabaya 38,74; Medan 38,56; dan Makassar 36,02 sehingga indeks gabungan dari empat kota tersebut sebesar 39,14 dari angka maksimum 100.

Inda susanti/ant
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6336 seconds (0.1#10.140)