Perbankan Diminta Genjot Kredit
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah meminta industri perbankan nasional menggenjot lebih banyak kredit untuk mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kuartal I/2015.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, selama ini kredit perbankan belum menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya rasio pinjaman terhadap produk domestik bruto atau loan to GDP ratio (LGR) yang hanya sebesar 40%. ”Perbankan kita LDR (loan to deposit ratio) sudah 90%, mencekik leher. Sudah mepet banget. Tapi, LGR-nya hanya 40%,” kata Bambang dalam sebuah seminar di Jakarta kemarin.
Sementara di beberapa negara dalam satu kawasan LGR-nya jauh lebih tinggi. Bambang mencontohkan tingkat LGR Malaysia yang mencapai 142% dan Thailand yang mencapai 154%. ”Pemerintah ingin LDR turun, LGR naik. Untuk ke sana harus dibarengi inflasi rendah dan NIM (net interest margin) turun,” ujarnya.
Bambang menyebutkan, salah satu penyebab rendahnya tingkat LGR di Indonesia adalah terbatasnya jumlah dana pihak ketiga yang disimpan di bankbank dalam negeri. ”Banyak uang orang Indonesia tidak disimpan di Indonesia,” ujarnya. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi UI itu mengatakan, pascakrisis ekonomi 1998, regulasi industri perbankan makin diperketat guna menciptakan bank-bank yang kredibel di mata masyarakat.
Meningkatnya kredibilitas tersebut seharusnya juga diikuti dengan penambahan modal oleh perbankan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo mengakui kapasitas perbankan dalam memberikan kredit masih relatif rendah. Padahal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 diperlukan pembiayaan sekitar Rp4,796 triliun untuk pembangunan nasional.
Dari angka itu, pemerintah hanya sanggup membiayai sekitar 16% dan sisanya diharapkan dari masyarakat serta sektor keuangan dan perbankan. Saat ini arsitektur keuangan dan perbankan nasional masih didominasi perbankan (sekitar 80%) dan sisanya industri keuangan nonbank. Karena itu, Agus menyarankan agar pemerintah tidak hanya memperkuat perbankan, tetapi juga mendorong industri keuangan nonbank, seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, pasar modal.
”Pendalaman pasar keuangan ini penting,” tandasnya. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad mengatakan, industri perbankan dalam 10 tahun terakhir sebetulnya menunjukkan kinerja yang positif, baikdari sisi return on asset (RoA) maupun return on equity (RoE). Kendati demikian, dia menilai, industri perbankan harus dikonsolidasikan agar modal semakin kuat.
”Semakin besar modal, semakin besar kekuatan bank dalam mengabsorb risiko atau kerugian. Semakin luas pula bidang yang boleh ditangani dalam menyalurkan kredit,” kata dia. Terkait pendalaman pasar keuangan, Muliaman mengatakan bahwa pihaknya berhatihati dalam melakukan hal tersebut dengan skema pendalaman, identifikasi risiko, dan mitigasi.
Selain itu, mantan Deputi Gubernur BI itu menambahkan, industri perbankan juga harus kreatif dalam menjaring dana masyarakat, terutama kelas menengah. Menurut dia, kelas menengah di Indonesia membutuhkan jasa layanan perbankan diluar tabungan dan deposito. ”Industri keuangan harus merespons ini karena daya belinya luar biasa besar sekali. Mereka ini sudah mengenal asuransi, saham, dan produk-produk keuangan lain,” pungkasnya.
Rahmat fiansyah
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, selama ini kredit perbankan belum menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya rasio pinjaman terhadap produk domestik bruto atau loan to GDP ratio (LGR) yang hanya sebesar 40%. ”Perbankan kita LDR (loan to deposit ratio) sudah 90%, mencekik leher. Sudah mepet banget. Tapi, LGR-nya hanya 40%,” kata Bambang dalam sebuah seminar di Jakarta kemarin.
Sementara di beberapa negara dalam satu kawasan LGR-nya jauh lebih tinggi. Bambang mencontohkan tingkat LGR Malaysia yang mencapai 142% dan Thailand yang mencapai 154%. ”Pemerintah ingin LDR turun, LGR naik. Untuk ke sana harus dibarengi inflasi rendah dan NIM (net interest margin) turun,” ujarnya.
Bambang menyebutkan, salah satu penyebab rendahnya tingkat LGR di Indonesia adalah terbatasnya jumlah dana pihak ketiga yang disimpan di bankbank dalam negeri. ”Banyak uang orang Indonesia tidak disimpan di Indonesia,” ujarnya. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi UI itu mengatakan, pascakrisis ekonomi 1998, regulasi industri perbankan makin diperketat guna menciptakan bank-bank yang kredibel di mata masyarakat.
Meningkatnya kredibilitas tersebut seharusnya juga diikuti dengan penambahan modal oleh perbankan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo mengakui kapasitas perbankan dalam memberikan kredit masih relatif rendah. Padahal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 diperlukan pembiayaan sekitar Rp4,796 triliun untuk pembangunan nasional.
Dari angka itu, pemerintah hanya sanggup membiayai sekitar 16% dan sisanya diharapkan dari masyarakat serta sektor keuangan dan perbankan. Saat ini arsitektur keuangan dan perbankan nasional masih didominasi perbankan (sekitar 80%) dan sisanya industri keuangan nonbank. Karena itu, Agus menyarankan agar pemerintah tidak hanya memperkuat perbankan, tetapi juga mendorong industri keuangan nonbank, seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, pasar modal.
”Pendalaman pasar keuangan ini penting,” tandasnya. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad mengatakan, industri perbankan dalam 10 tahun terakhir sebetulnya menunjukkan kinerja yang positif, baikdari sisi return on asset (RoA) maupun return on equity (RoE). Kendati demikian, dia menilai, industri perbankan harus dikonsolidasikan agar modal semakin kuat.
”Semakin besar modal, semakin besar kekuatan bank dalam mengabsorb risiko atau kerugian. Semakin luas pula bidang yang boleh ditangani dalam menyalurkan kredit,” kata dia. Terkait pendalaman pasar keuangan, Muliaman mengatakan bahwa pihaknya berhatihati dalam melakukan hal tersebut dengan skema pendalaman, identifikasi risiko, dan mitigasi.
Selain itu, mantan Deputi Gubernur BI itu menambahkan, industri perbankan juga harus kreatif dalam menjaring dana masyarakat, terutama kelas menengah. Menurut dia, kelas menengah di Indonesia membutuhkan jasa layanan perbankan diluar tabungan dan deposito. ”Industri keuangan harus merespons ini karena daya belinya luar biasa besar sekali. Mereka ini sudah mengenal asuransi, saham, dan produk-produk keuangan lain,” pungkasnya.
Rahmat fiansyah
(bbg)