Inflasi Tinggi, Suku Bunga Sulit Turun
A
A
A
JAKARTA - Tingkat suku bunga acuan (BI Rate ) diyakini sulit turun jika tingkat inflasi masih tinggi. Transaksi berjalan yang juga masih defisit makin menyulitkan turunnya suku bunga.
”Kalau inflasi stabil, mungkin bunga bisa turun,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo di Jakarta baru-baru ini. Agus mengatakan, tingkat inflasi dalam dua tahun terakhir berada di kisaran 8%. Padahal, tingkat inflasi di negara-negara kawasan ASEAN, bisa ditekan di bawah angka 4%.
Penyebab tingginya inflasi di dalam negeri menurutnya antara lain adalah persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan yang bergejolak (volatile food). Di luar itu, persoalan mendasar seperti infrastruktur serta koordinasi antarpemerintah daerah juga memengaruhi tingginya inflasi.
Menurut dia, pemerintahan yang terdesentralisasi akibat otonomi daerah membutuhkan koordinasi yang kuat agar inflasi bisa stabil. ”Ketersediaan pasokan pangan, distribusi antarpemda (pemerintah daerah), kerja sama, konektivitas dalam kaitannya pembangunan infrastruktur, termasuk konektivitas digital. Semua aspek ini harus dibangun,” terang Agus.
Persoalan lain, menurut dia, adalah transaksi berjalan yang masih defisit sekitar USD25 miliar. Hal itu ikut mengganggu stabilitas rupiah sehingga ikut mendorong inflasi. Padahal, negara- negara ASEAN memiliki transaksi berjalan yang surplus. ”Kalau kita amati, beberapa negara melakukan stimulus dan menurunkan suku bunga. Tapi, negara-negara itu secara inflasi terkendali dan transaksi berjalannya juga terjaga,” kata dia.
Senada dengannya, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro juga mengatakan bahwa kunci utama agar tingkat suku bunga bisa turun adalah inflasi yang rendah. Sebab, tidak mungkin menawarkan tingkat suku bunga dibawah inflasi karena tidak akan ada lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman. Dia mengatakan, jika inflasi bisa diturunkan, maka tingkat bunga pinjaman akan turun, sehingga dapat mendorong inklusifitas keuangan.
Dengan meratanya inklusifitas keuangan dan tingkat suku bunga pinjaman yang menurun, maka serapan dana pihak ketiga dari masyarakat pun meningkat. Dana itu selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk mendorong pembiayaan infrastruktur, yang pada akhirnya akan meningkatkan konektivitas dan membantu mengurangi inflasi.
Namun, dia mengakui bahwa mengatasi persoalan tingginya inflasi di Indonesia bukan perkara mudah karena pola hidup masyarakatnya. Bambang mencontohkan, Filipina mampu menekan tingkat inflasi pada angka 2-3% karena negara itu sudah lama menyerahkan mekanisme harga BBM ke pasar dan masyarakatnya telah terbiasa dengan naik-turunnya harga komoditas tersebut.
Berbeda dengan Indonesia yang jika BBM naik, maka tarif angkutan umum dan harga barang pun ikut naik. ”Jadi persoalan BBM bukan lagi soal ruang fiskal atau keadilan, tapi lebih kepada fundamental ekonomi yang memengaruhi inflasi inti,” jelasnya.
Rahmat fiansyah
”Kalau inflasi stabil, mungkin bunga bisa turun,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo di Jakarta baru-baru ini. Agus mengatakan, tingkat inflasi dalam dua tahun terakhir berada di kisaran 8%. Padahal, tingkat inflasi di negara-negara kawasan ASEAN, bisa ditekan di bawah angka 4%.
Penyebab tingginya inflasi di dalam negeri menurutnya antara lain adalah persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan yang bergejolak (volatile food). Di luar itu, persoalan mendasar seperti infrastruktur serta koordinasi antarpemerintah daerah juga memengaruhi tingginya inflasi.
Menurut dia, pemerintahan yang terdesentralisasi akibat otonomi daerah membutuhkan koordinasi yang kuat agar inflasi bisa stabil. ”Ketersediaan pasokan pangan, distribusi antarpemda (pemerintah daerah), kerja sama, konektivitas dalam kaitannya pembangunan infrastruktur, termasuk konektivitas digital. Semua aspek ini harus dibangun,” terang Agus.
Persoalan lain, menurut dia, adalah transaksi berjalan yang masih defisit sekitar USD25 miliar. Hal itu ikut mengganggu stabilitas rupiah sehingga ikut mendorong inflasi. Padahal, negara- negara ASEAN memiliki transaksi berjalan yang surplus. ”Kalau kita amati, beberapa negara melakukan stimulus dan menurunkan suku bunga. Tapi, negara-negara itu secara inflasi terkendali dan transaksi berjalannya juga terjaga,” kata dia.
Senada dengannya, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro juga mengatakan bahwa kunci utama agar tingkat suku bunga bisa turun adalah inflasi yang rendah. Sebab, tidak mungkin menawarkan tingkat suku bunga dibawah inflasi karena tidak akan ada lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman. Dia mengatakan, jika inflasi bisa diturunkan, maka tingkat bunga pinjaman akan turun, sehingga dapat mendorong inklusifitas keuangan.
Dengan meratanya inklusifitas keuangan dan tingkat suku bunga pinjaman yang menurun, maka serapan dana pihak ketiga dari masyarakat pun meningkat. Dana itu selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk mendorong pembiayaan infrastruktur, yang pada akhirnya akan meningkatkan konektivitas dan membantu mengurangi inflasi.
Namun, dia mengakui bahwa mengatasi persoalan tingginya inflasi di Indonesia bukan perkara mudah karena pola hidup masyarakatnya. Bambang mencontohkan, Filipina mampu menekan tingkat inflasi pada angka 2-3% karena negara itu sudah lama menyerahkan mekanisme harga BBM ke pasar dan masyarakatnya telah terbiasa dengan naik-turunnya harga komoditas tersebut.
Berbeda dengan Indonesia yang jika BBM naik, maka tarif angkutan umum dan harga barang pun ikut naik. ”Jadi persoalan BBM bukan lagi soal ruang fiskal atau keadilan, tapi lebih kepada fundamental ekonomi yang memengaruhi inflasi inti,” jelasnya.
Rahmat fiansyah
(ftr)