Pemerintah Perlu Perluas Basis Pajak
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak diminta segera memperluas basis pajak, terutama pengusaha kena pajak (PKP) yang kontribusinya masih sangat kecil. Itu dibutuhkan untuk mencapai target pajak yang ditetapkan tahun ini Rp1.294,26 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo Yustinus mengatakan, meski tidak terlalu signifikan, kenaikan pajak penghasilan (PPh) nonmigas merupakan pertumbuhan alamiah. Sementara, reinventing policy yang diterapkan pemerintah, kendati ikut mendorong kenaikan PPh nonmigas, dinilai masih sulit meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
”Reinventing policy bisa dapat Rp50 triliun saja sudah bagus. Tapi untuk mencapai target APBN-P, saya kira masih sulit,” kataYustinusdiJakartakemarin. Ditjen Pajak mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan pajak per 31 Mei 2015 baru mencapai Rp377 triliun atau 29,13% dari target dalam APBN-P 2015 Rp1.294,26 triliun. Realisasi ini juga lebih rendah 3,14% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Secara umum, penerimaan PPh nonmigas mengalami pertumbuhan 10,59% secara tahunan atau year-on-year (yoy). PPh nonmigas terkumpul Rp215,73 triliun atau lebih tinggi dibanding per akhir Mei 2014 sebesar R195,07 triliun. Pertumbuhan tertinggi dicatat PPh nonmigas lainnya, yakni Rp114,88% atau sebesar Rp42,42 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp19,74 triliun.
Pertumbuhan signifikan berikutnya dicatat oleh PPh Pasal 26 atau pajak yang dibayarkan wajib pajak luar negeri yakni 23,14%, atau sebesar Rp15,058 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp12,229 triliun. Pertumbuhan tinggi selanjutnya dari PPh Final yakni 21,48%, atau sebesar Rp38,252 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp31,488 triliun.
Pertumbuhan yang juga cukup tinggi dicatatkan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, yakni 15,68%, atau sebesar Rp3,074 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp2,658 triliun. Selanjutnya, PPh Pasal 25/29 Badan mencatat pertumbuhan 11,17%, atau sebesar Rp82,772 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp74,454 triliun.
Seiring dengan meningkatnya penyerapan anggaran belanja pemerintah, pertumbuhan yang cukup besar juga dicatatkan PPh Pasal 23 sebesar 10,05% atau sebesar Rp10,839 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp9,849 triliun. Namun, penurunan pertumbuhan terjadi pada PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor.
Penurunan tertinggi terjadi pada PPh Pasal22Imporyakni12,28% atau sebesar Rp17,172 triliun dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar Rp19,575 triliun. Sedangkan, pada Pasal 22 terjadi penurunan pertumbuhan sebesar 5,84% atau hanya mencatat Rp2,259 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp2,399 triliun. Melambatnya kondisi makroekonomi Indonesia berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor.
Kondisi tersebut juga berpengaruhpada pajakpertambahan nilai (PPN) Impor yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 10,72% atau sebesar Rp53,668 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp60,116 triliun. Demikian pula halnya dengan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 28,38% atau sebesar Rp1,868 triliun dibandingkan periode yang sama pada 2014 sebesar Rp2,609 triliun.
Perlambatan ekonomi pun memicu penurunan konsumsi dalam negeri yang berkontribusi pada penurunan penerimaan PPN dalam negeri 1,93% atau sebesar Rp82,217 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp83,834 triliun. Penurunan ini terjadi atas konsumsi atas barang mewahyangberdampakpada penurunan pertumbuhan PPnBM dalam negeri 8,53% atau sebesar Rp3,774 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp4,126 triliun.
Penurunan pertumbuhan juga terjadi PPh migas 54,24% atau sebesar Rp17,201 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp37,588 triliun. Hal ini disebabkan kondisi turunnya liftingminyak bumi.
Rahmat fiansyah
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo Yustinus mengatakan, meski tidak terlalu signifikan, kenaikan pajak penghasilan (PPh) nonmigas merupakan pertumbuhan alamiah. Sementara, reinventing policy yang diterapkan pemerintah, kendati ikut mendorong kenaikan PPh nonmigas, dinilai masih sulit meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
”Reinventing policy bisa dapat Rp50 triliun saja sudah bagus. Tapi untuk mencapai target APBN-P, saya kira masih sulit,” kataYustinusdiJakartakemarin. Ditjen Pajak mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan pajak per 31 Mei 2015 baru mencapai Rp377 triliun atau 29,13% dari target dalam APBN-P 2015 Rp1.294,26 triliun. Realisasi ini juga lebih rendah 3,14% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Secara umum, penerimaan PPh nonmigas mengalami pertumbuhan 10,59% secara tahunan atau year-on-year (yoy). PPh nonmigas terkumpul Rp215,73 triliun atau lebih tinggi dibanding per akhir Mei 2014 sebesar R195,07 triliun. Pertumbuhan tertinggi dicatat PPh nonmigas lainnya, yakni Rp114,88% atau sebesar Rp42,42 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp19,74 triliun.
Pertumbuhan signifikan berikutnya dicatat oleh PPh Pasal 26 atau pajak yang dibayarkan wajib pajak luar negeri yakni 23,14%, atau sebesar Rp15,058 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp12,229 triliun. Pertumbuhan tinggi selanjutnya dari PPh Final yakni 21,48%, atau sebesar Rp38,252 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp31,488 triliun.
Pertumbuhan yang juga cukup tinggi dicatatkan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, yakni 15,68%, atau sebesar Rp3,074 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp2,658 triliun. Selanjutnya, PPh Pasal 25/29 Badan mencatat pertumbuhan 11,17%, atau sebesar Rp82,772 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp74,454 triliun.
Seiring dengan meningkatnya penyerapan anggaran belanja pemerintah, pertumbuhan yang cukup besar juga dicatatkan PPh Pasal 23 sebesar 10,05% atau sebesar Rp10,839 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp9,849 triliun. Namun, penurunan pertumbuhan terjadi pada PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor.
Penurunan tertinggi terjadi pada PPh Pasal22Imporyakni12,28% atau sebesar Rp17,172 triliun dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar Rp19,575 triliun. Sedangkan, pada Pasal 22 terjadi penurunan pertumbuhan sebesar 5,84% atau hanya mencatat Rp2,259 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp2,399 triliun. Melambatnya kondisi makroekonomi Indonesia berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor.
Kondisi tersebut juga berpengaruhpada pajakpertambahan nilai (PPN) Impor yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 10,72% atau sebesar Rp53,668 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp60,116 triliun. Demikian pula halnya dengan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 28,38% atau sebesar Rp1,868 triliun dibandingkan periode yang sama pada 2014 sebesar Rp2,609 triliun.
Perlambatan ekonomi pun memicu penurunan konsumsi dalam negeri yang berkontribusi pada penurunan penerimaan PPN dalam negeri 1,93% atau sebesar Rp82,217 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp83,834 triliun. Penurunan ini terjadi atas konsumsi atas barang mewahyangberdampakpada penurunan pertumbuhan PPnBM dalam negeri 8,53% atau sebesar Rp3,774 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp4,126 triliun.
Penurunan pertumbuhan juga terjadi PPh migas 54,24% atau sebesar Rp17,201 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp37,588 triliun. Hal ini disebabkan kondisi turunnya liftingminyak bumi.
Rahmat fiansyah
(bbg)