Transfer Pricing Harus Dicermati

Minggu, 14 Juni 2015 - 09:36 WIB
Transfer Pricing Harus Dicermati
Transfer Pricing Harus Dicermati
A A A
JAKARTA - Potensi pajak Indonesia belum tergarap maksimal. Rasio pajak Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sejak 2013 rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun.

”Dari kisaran 12% tahun lalu, tinggal 11%. Padahal pada periode yang sama, PDB kita tumbuh,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saat berdialog bersama CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida dalam acara MNC Business Awards 2015 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat (12/6).

Ekonomi bertumbuh sebesar 5-6%, tetapi tax ratio justru turun. ”Berarti jelas ada problem. Bukan dengan kondisi ekonomi terhadap penerimaan pajak, tapi kepada konteks administrasi dan tax collection . Kalau kita lebih jauh, tingkat kepatuhan pajak kita cuma 50%. Itu salah satu penyebabnya,” kata Bambang. Dia melanjutkan, basis pajak Indonesia memprihatinkan. Dari 250 juta orang, yang berpotensi membayar pajak karena dia bekerja sebanyak 45 juta orang.

Namun, yang terdaftar NPWP hanya 28 juta orang. Dari yang terdaftar 28 juta orang, hanya 10 juta yang menyampaikan SPT secara rutin. ”Dari 10 juta, hanya 900.000 pembayar pajak yang benarbenar membayar PPh orang pribadi. Sebagian besar problem kita adalah kita memang belum membayar pajak dengan benar,” kata Bambang. Dalam kesempatan tersebut, HT mengatakan, untuk memperbaiki rasio pajak ada hal yang patut dicermati yaitu transfer pricing dalam ekspor.

”Saya ada masukan, bicara soal tax ratio salah satu yang perlu dicermati itu adalah transfer pricing ekspor kita,” ungkapnya. Sebagai informasi, transfer pricing adalah kebijakan perusahaan dalam menentukan nilai transaksi berupa barang, jasa, harta tak berwujud, atau transaksi finansial. Dalam transfer pricing kerap terjadi transaksi dengan nilai tidak wajar, bisa menaikkan atau menurunkan harga dalam transaksi.

Dalam transaksi ekspor, hal tidak wajar yang kerap terjadi adalah menurunkan nilai penjualan, termasuk untuk produk komoditas. Tujuan dari pengurangan nilai jual tersebut agar keuntungan terlihat tipis supaya bisa mengurangi pajak. Transaksi transfer pricing tidak wajar dilakukan dengan cara mengirimkan produk dari perusahaan di Indonesia ke perusahaan yang juga sama. Baru kemudian dikirimkan ke negara tujuan.

”Perusahaan di Indonesia ekspor produk ke Amerika senilai USD100. Tapi, barang tersebut diekspor dulu ke perusahaan yang juga miliknya di Singapura senilai USD60, baru kemudian dari Singapura diekspor ke Amerika dengan harga USD100 sehingga USD40 berada di Singapura. Jadi itulah kenapa dolar kita banyak tersimpan di sana,” kata HT.

Karena transfer pricing tersebut, negara mengalami rugi karena penerimaan pajak lebih rendah dari seharusnya. Seperti diberitakan di berbagai media diperkirakan potensi kehilangan akibat transfer pricing lebih dari Rp1.000 triliun per tahun. Selain itu, dolar juga terparkir di negara lain. Akibatnya cadangan devisa Indonesia hanya USD110,8 miliar per akhir Mei 2015.

Lindungi UMKM dari MEA

Dalam diskusi bertajuk ”Governments Commitment and Programs Realization” tersebut, HT juga memaparkan perlunya pemerintah memberikan proteksi terhadap para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, pelakuUMKMbelumcukupkuat untuk ikut serta dalam persaingan pasar bebas tersebut.

”Mereka (pelaku UMKM) ada keterbatasan jaringan, modal, dan keterampilan. Ini yang membuat Indonesia belum tentu bisa bersaing dengan adanya MEA,” katanya. Pemerintah, lanjut HT, harus mengkaji kembali sektorsektor apa saja yang harus dilindungi. Jika dibiarkan menghadapi pasar bebas, dia khawatir banyak yang tidak bisa bertahan. ”Jadi perlu pertimbangan pemerintah. Kalau perlu, harus diatur ulang sektor-sektor mana yang perlu diproteksi. Jangan sampai kita nanti kena libas sama negara lain,” tutur HT.

Dia mengungkapkan, meski umumnya pelaku usaha besar siap menghadapi MEA, Indonesia tetap tidak diuntungkan dengan pemberlakuan MEA. Pasar dalam negeri memiliki porsi lebih dibanding negara ASEAN lainnya. Indonesia akan menjadi pasar terbuka bagi kawasan ASEAN. ”Di MEA Indonesia porsinya dominan. Ekonomi kita itu mewakilikuranglebih40% dari total ekonomi ASEAN. Jadi kita kasih pasar kita ke mereka, sementara kita tidak bisa memaksimalkan pasar mereka,” katanya.

Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat(AS) terus mengalami pelemahan. Pada penutupan perdagangan Jumat (12/6), nilai rupiah mencapai Rp13.335 per dolar AS. ”Tidak ada teori rupiah menguat itu buruk. Rupiah harus kuat, minimal di angka Rp12.000 per dolar AS. Idealnya Rp11.000 lebih,” sebut HT.

Fajar pratiwi
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5255 seconds (0.1#10.140)