BPDP Sawit Targetkan Rp7 T
A
A
A
JAKARTA - Badan Layanan Umum (BLU) Sawit yang kini telah ditetapkan sebagai Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit menargetkan mengumpulkan dana Rp7 triliun di setiap tahunnya dari pungutan atas ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya.
Direktur Utama BPDP Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan, target yang ditetapkan itu berdasarkan hasil penghitungan dari data ekspor di tahun 2014. ”Kita punya perkiraan yang sama, sekiranya kuantitas ekspor kita juga sama dengan tahun lalu. Jadi, paling tidak harusnya di kisaran Rp5-7 triliun,” ujarnya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Melalui skema pungutan yang sama seperti penarikan bea keluar (BK), Bayu memastikan tidak akan ada pungutan ganda dari target pemasukan yang ditetapkan. Rencananya pula, implementasi rencana kegiatan dari dana yang dikumpulkan mulai 1 Juli 2015 ini akan diberlakukan pada Agustus 2015.
”Kita semua mau secepat mungkin badan ini memberikan bantuan yang maksimal pada pengembangan perkebunan sebagaimana mandat dari Undang-Undang (UU) Perkebunan, namun banyak tata aturan yang perlu dibereskan,” sambungnya. Alasannya, BPDP Sawit merupakan badan pertama yang dibentuk bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan dari sektor swasta.
Sehingga, butuh protokol serta sistem prosedur yang rapi. ”Mungkin akan terlihat sedikit repot di awal, namun nanti kalau sudah berjalan akan terlihat lebih baik sistemnya,” terangnya. Apalagi, Bayu menambahkan bahwa BPDP Sawit ini akan menjadi bentuk percontohan untuk badan serupa.
Ke depannya pemerintah dan pihak swasta memang akan membentuk BPDP dari hasil tanaman lainnya seperti kakao. Tak hanya itu, kinerja yang dapat berjalan sesuai dengan target juga dapat mendukung keberlanjutannya badan ini.
Di kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor merasa berat dengan target yang ditetapkan BPDP, termasuk pemasukan dana dari pengenaan pungutan biofuel sebesar USD20 sebagai produk turunan yang dikenakan. ”Pungutan itu masih terlalu tinggi, kalau bisa diturunkan menjadi USD15,” katanya.
Alasannya, saat ini biofuel belum laku di pasaran. PT Pertamina pun bahkan tidak mau membeli dengan harga yang ditetapkan. Menurut Tumanggor, selama ini biofuel yang diproduksi dibeli dengan harga yang lebih murah dari seharusnya.
Perlu Dukungan Infrastruktur Pelabuhan
Di tempat berbeda, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta pemerintah untuk membenahi infrastruktur pelabuhan untuk mendorong daya saing produk sawit Indonesia di kancah global.
”Faktor-faktor infrastruktur pelabuhan, kluster industri, itu yang menjadi poin-poin penting yang kita garis bawahi untuk bagaimana ke depan memperbaiki infrastruktur atau daya saing,” ujar Joko Supriyono seusai menemui Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di Jakarta kemarin.
Proses hilirisasi, kata Joko, menjadi concern pelaku industri sawit nasional seiring harga CPO dunia relatif masih stagnan, namun di sisi lain hilirisasi terkendala infrastruktur pelabuhan yang kurang memadai.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengakui, pelabuhan di Indonesia belum memadai untuk bisa menampung semua kegiatan di industri sawit. ”Terkait khususnya masalah loading -nya ataupun masalah kelancaran di pelabuhan untuk tujuan ekspor,” katanya.
Rabia edra/ Oktiani endarwati
Direktur Utama BPDP Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan, target yang ditetapkan itu berdasarkan hasil penghitungan dari data ekspor di tahun 2014. ”Kita punya perkiraan yang sama, sekiranya kuantitas ekspor kita juga sama dengan tahun lalu. Jadi, paling tidak harusnya di kisaran Rp5-7 triliun,” ujarnya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Melalui skema pungutan yang sama seperti penarikan bea keluar (BK), Bayu memastikan tidak akan ada pungutan ganda dari target pemasukan yang ditetapkan. Rencananya pula, implementasi rencana kegiatan dari dana yang dikumpulkan mulai 1 Juli 2015 ini akan diberlakukan pada Agustus 2015.
”Kita semua mau secepat mungkin badan ini memberikan bantuan yang maksimal pada pengembangan perkebunan sebagaimana mandat dari Undang-Undang (UU) Perkebunan, namun banyak tata aturan yang perlu dibereskan,” sambungnya. Alasannya, BPDP Sawit merupakan badan pertama yang dibentuk bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan dari sektor swasta.
Sehingga, butuh protokol serta sistem prosedur yang rapi. ”Mungkin akan terlihat sedikit repot di awal, namun nanti kalau sudah berjalan akan terlihat lebih baik sistemnya,” terangnya. Apalagi, Bayu menambahkan bahwa BPDP Sawit ini akan menjadi bentuk percontohan untuk badan serupa.
Ke depannya pemerintah dan pihak swasta memang akan membentuk BPDP dari hasil tanaman lainnya seperti kakao. Tak hanya itu, kinerja yang dapat berjalan sesuai dengan target juga dapat mendukung keberlanjutannya badan ini.
Di kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor merasa berat dengan target yang ditetapkan BPDP, termasuk pemasukan dana dari pengenaan pungutan biofuel sebesar USD20 sebagai produk turunan yang dikenakan. ”Pungutan itu masih terlalu tinggi, kalau bisa diturunkan menjadi USD15,” katanya.
Alasannya, saat ini biofuel belum laku di pasaran. PT Pertamina pun bahkan tidak mau membeli dengan harga yang ditetapkan. Menurut Tumanggor, selama ini biofuel yang diproduksi dibeli dengan harga yang lebih murah dari seharusnya.
Perlu Dukungan Infrastruktur Pelabuhan
Di tempat berbeda, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta pemerintah untuk membenahi infrastruktur pelabuhan untuk mendorong daya saing produk sawit Indonesia di kancah global.
”Faktor-faktor infrastruktur pelabuhan, kluster industri, itu yang menjadi poin-poin penting yang kita garis bawahi untuk bagaimana ke depan memperbaiki infrastruktur atau daya saing,” ujar Joko Supriyono seusai menemui Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di Jakarta kemarin.
Proses hilirisasi, kata Joko, menjadi concern pelaku industri sawit nasional seiring harga CPO dunia relatif masih stagnan, namun di sisi lain hilirisasi terkendala infrastruktur pelabuhan yang kurang memadai.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengakui, pelabuhan di Indonesia belum memadai untuk bisa menampung semua kegiatan di industri sawit. ”Terkait khususnya masalah loading -nya ataupun masalah kelancaran di pelabuhan untuk tujuan ekspor,” katanya.
Rabia edra/ Oktiani endarwati
(ftr)