Pengusaha Dukung Transaksi Rupiah

Selasa, 30 Juni 2015 - 08:21 WIB
Pengusaha Dukung Transaksi Rupiah
Pengusaha Dukung Transaksi Rupiah
A A A
Kalangan pengusaha mendukung aturan kewajiban penggunaan mata uang rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai upaya menjadikan mata uang Garuda berdaulat di negerinya sendiri.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Masita menyatakan sangat mendukung kebijakan penggunaan rupiah, terutama untuk diterapkan dalam praktik bongkar muat di pelabuhan.

Menurut dia, setiap aktivitas bongkar muat yang dilakukan di pelabuhan di Indonesia sudah semestinya dibayar dengan mata uang rupiah. ”Ini kan aktivitas di dalam negeri, tidak ada kaitannya dengan transaksi internasional. Kalau biaya freight ekspor-impor memang kami bisa pahami itu, termasuk transaksi perdagangan internasional,” ujarnya kepada KORAN SINDO beberapa waktu lalu. Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) pada 1 Juni 2015 mengeluarkan Surat Edaran No.17/11/DKSP perihal Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Surat Edaran ini mulai berlaku per 1 Juni 2015. Menurut Zaldi, praktik transaksi bongkar muat di pelabuhan di luar negeri, seperti di Singapura, Malaysia, Thailand juga menggunakan mata uang lokal. Karena itu, sudah selazimnya Indonesia memberlakukan hal yang sama. Hingga saat ini biaya transaksi bongkar muat di pelabuhan di Indonesia masih dikenakan dalam dolar AS. Dengan nilai tukar dolar AS yang terus menguat terhadap rupiah hingga tembus Rp13.000 per dolar AS, pengusaha logistik mengeluhkan biaya bongkar muat yang kian mahal.

Untuk itu, pascasurat edaran BI tersebut, Zaldi berharap Menteri Perhubungan segera mengubah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 15/2014 yang masih mencantumkan biaya dalam dolar AS. ”Kami ingin penggunaan mata uang rupiah dalam bongkar muat di pelabuhan diimplementasikan dengan cepat. Kalau ada yang menyimpang harus diambil tindakan tegas karena sebetulnya aturan sudah lama sejak empat tahun lalu, cuma enggak jalanjalan,” tuturnya.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo) Elly Hutabarat mengatakan, pihaknya mendukung 100% kebijakan penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi tiket penerbangan. Menurut dia, mulai1Julimendatangtransaksi tiket penerbangan internasional semuanya sudah menggunakan rupiah. ”Memang pada tiket nanti masih tercantum harga dolar AS, tapi langsung di bawahnya ada konversinya dan harga dalam rupiahnya. Itulah yang dibayar oleh penumpang yang ekuivalennya dalam rupiah,” tuturnya.

Menurut Elly, masih dicantumkannya dolar AS lebih kepada kendala sistem, di mana sistem reservasi International Air Transpor Association (IATA) Global Distribution System (GDS) belum siap dengan angka 12 digit atau lebih. ”Itu hanya teknis, kalau untuk transaksi semuanya dalam rupiah,” tandasnya. Menurut Elly, selama ini kebutuhan dolar AS sangat tinggi, di mana agen-agen penjual tiket penerbangan harus menyediakan sekitar USD2,5 miliar per tahun untuk membayar Billing Settlement Plan (BSP) dari IATA dalam nilai dolar AS.

Belum lagi hal-hal lain yang merepotkan seperti keengganan bank menerima uang kertas dolar AS yang memiliki coretan atau cacat sedikit. Karena itu, Astindo menyambut baik pemberlakuan transaksi dalam rupiah. Pada Oktober 2014 Astindo dan Perhimpunan Hotel Seluruh Indonesia (PHRI) dan BI juga telah menandatangani nota kesepahaman bahwa asosiasi agen travel harus menyosialisasikan penggunaan mata uang rupiah di Indonesia.

Elly menambahkan, dengan kewajiban penggunaan rupiah, maka pelaku usaha penjualan tiket juga harus pandai menyesuaikan dan menyiasati. ”Misalnya kami sudah tawarkan ke pelanggan harga tiket USD500 dikali Rp13.000, tapi nanti pada waktu mau pergi atau mau bayar itu kan bisa berubah nilai tukarnya, bisa untung tapi bisa juga rugi. Ini kendala tapi harus dihadapi. Kami bisa sebutkan bahwa harga bisa berubah sewaktu- waktu atau harga tidak mengikat,” paparnya.

Country Manager IATA Shirley Leiwakabessy mengatakan, pihaknya telah menerima surat dari Kementerian Perhubungan yang menginstruksikan semua maskapai untuk menggunakan rupiah sebagai single currency . Terkait kendala dalam sistem reservasi GDS yang belum memungkinkan untuk memuat digit angka transaksi dalam rupiah di atas 100.000.000, pihaknya meminta kelonggaran hingga 31 Desember 2015. ”Kami perlu waktu untuk mengubah sistemnya,” ujarnya.

Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Peter Jacobs mengatakan, aturan penggunaan uang rupiah sudah ada sejak tahun 2000 hanya belum menyeluruh. Landasan hukumnya adalah UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. ”Tujuan utamanya adalah menuju rupiah yang berdaulat, di samping memelihara kestabilan nilai rupiah. Jangan sampai rupiah dipunggungi oleh masyarakatnya sendiri,” tandasnya.

Masifnya penggunaan mata uang asing di Indonesia terlihat dari angka transaksi valuta asing antarpenduduk yang diproyeksikan mencapai lebih dari Rp70 triliun per tahun. Padahal, suplai dolar di domestik tidak sampai sebanyak itu. Ketidakseimbangan antara suplai dan demand akan memberikan tekanan sehingga rupiah terdepresiasi. Lebih jauh, ketidakseimbangan itu bisa memicu inflasi yang bisa berdampak langsung pada masyarakat.

”Jadi, di rumah sendiri kita harus berperang untuk memadamkan tingginya permintaan valuta asing. Di sisi lain, BI harus melakukan operasi moneter supaya rupiah tidak terpuruk lebih dalam,” ujarnya.

Peter menambahkan, dalam pelaksanaannya hanya lima jenis transaksi yang boleh menggunakan mata uang asing, yaitu transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan APBN; penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; transaksi perdagangan internasional; simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; serta transaksi pembiayaan internasional.

Inda susanti
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5479 seconds (0.1#10.140)