Bank Dunia Prediksi Ekonomi Hanya Tumbuh 4,7%
A
A
A
JAKARTA - Setelah Bank Pembangunan Asia (ADB), kini giliran Bank Dunia yang menurunkan angka proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, dari sebelumnya 5,2% menjadi hanya 4,7%.
Bank Dunia menilai, selain sisi konsumsi yang tidak sesuai harapan, lemahnya pertumbuhan investasi jangka panjang dan kinerja ekspor menjadi penyebab melambatnya perekonomian nasional. Sebelumnya ADB juga mengoreksi angka proyeksi pertumbuhannya untuk Indonesia dari 5,5% menjadi 5% dengan alasan serupa.
”Kondisi yang kurang mendukung seperti rendahnya harga komoditas dan melemahnya pertumbuhan investasi sehingga ekonomi maju perlahan,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves di Jakarta, kemarin. Meski pertumbuhan diperkirakan melambat ke angka 4,7%, Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tangguh daripada negara-negara seperti Brasil hingga Afrika Selatan, yang bergantung terhadap permintaan komoditas dari China.
Kendati begitu, Bank Dunia tetap berharap Indonesia dapat meningkatkan belanja infrastrukturnya guna mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. ”Indonesia dapat bertindak melalui peningkatan belanja infrastruktur yang berkualitas, selama tetap dapat menjaga defisit fiskal dalam batasan 3% dari produk domestik bruto (PDB),” kata Chaves.
Menurut dia, perbaikan infrastruktur akan mengurangi biaya logistik dan harga berbagai barang serta jasa untuk mendukung pertumbuhan dan juga kesetaraan. Saat ini kemajuan untuk menggerakkan perekonomian nasional memang dinilai memiliki sejumlah tantangan fiskal yang sangat krusial.
Dilihat dari sisi pengeluaran, penting untuk menghapus beberapa hambatan pembelanjaan modal di mana anggaran saat ini ditargetkan meningkat hingga dua kali lipat. Sedangkan dari sisi pene-rimaan, kendati target pajak diupayakan untuk naik 30%, namun berdasarkan data saat ini justru mengalami penurunan sebesar 1,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Upaya untuk memperkenalkan pelaporan pajak secara elektronik dan bentuk reformasi perpajakan lainnya dinilai positif olehnya. Namun, jauh lebih banyak upaya dibutuhkan dalam meningkatkan penerimaan guna memperbaiki kondisi fiskal dalam jangka menengah. ”Kondisi ini sama seperti negara berpendapatan rendah lainnya, Indonesia masih perlu menyesuaikan diri dengan penurunan tajam harga komoditas serta prospek normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat,” kata dia.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, sejumlah penyebab pelemahan pertumbuhan tersebut juga membuat defisit transaksi neraca berjalan, mengurangi pendapatan perusahaan komoditas, dan perlambatan investasi yang datang dari sektor swasta. ”Di kuartal pertama, investasi tetap memberikan sumbangan 1,4% pada pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun,” katanya.
Kita harapkan investasi dapat meningkat pada paruh kedua tahun ini,” katanya. Namun, Diop melihat sektor investasi tidak akan setinggi seperti prediksi sebelumnya, akibat pembelanjaan anggaran pemerintah yang diperkirakan lebih rendah untuk tahun 2015. ”Indonesia memang sudah membuat fondasi makroekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara eksportir komoditas seperti Brasil, Cile, Peru, dan Afrika Selatan yang mengalami kemerosotan.
Tetapi, laju pertumbuhan yang lebih cepat juga perlu datang dari reformasi fiskal agar pendapatan meningkat dan belanja anggaran jadi lebih baik,” paparnya. Selain itu, lanjut dia, diperlukan kebijakan-kebijakan yang bisa memengaruhi persaingan, perdagangan, serta kebijakan untuk mengurangi inflasi harga pangan yang dapat memperkuat kepercayaan konsumen.
Sebab, pertumbuhan yang lambat akan mempengaruhi belanja konsumen yang tercatat hanya tumbuh sebesar 4,7% di kuartal pertama tahun ini, dibandingkan rata-rata pertumbuhan 5,3% pada tahun lalu. Pada kesempatan itu Diop juga mengkritisi implementasi penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Menurut dia, kebijakan penentuan harga BBM yang sebelumnya diharapkan mampu memperbaiki kondisi defisit neraca berjalan dan alokasi anggaran ternyata berjalan tidak konsisten.
Seperti diketahui, di awal rencana reformasi harga BBM oleh pemerintahan Joko Widodo, Bank Dunia memandang positif karena penghapusan subsidi itu diyakini dapat mendukung neraca berjalan Indonesia dan membantu menyangga kebijakan dalam menghadapi risiko pembiayaan eksternal. ”Tapi implementasi dari formula BBM tidak konsisten. Harga di pasar dan penyesuaian oleh pemerintah tidak sama,” ujarnya.
Rabia edra almira
Bank Dunia menilai, selain sisi konsumsi yang tidak sesuai harapan, lemahnya pertumbuhan investasi jangka panjang dan kinerja ekspor menjadi penyebab melambatnya perekonomian nasional. Sebelumnya ADB juga mengoreksi angka proyeksi pertumbuhannya untuk Indonesia dari 5,5% menjadi 5% dengan alasan serupa.
”Kondisi yang kurang mendukung seperti rendahnya harga komoditas dan melemahnya pertumbuhan investasi sehingga ekonomi maju perlahan,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves di Jakarta, kemarin. Meski pertumbuhan diperkirakan melambat ke angka 4,7%, Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tangguh daripada negara-negara seperti Brasil hingga Afrika Selatan, yang bergantung terhadap permintaan komoditas dari China.
Kendati begitu, Bank Dunia tetap berharap Indonesia dapat meningkatkan belanja infrastrukturnya guna mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. ”Indonesia dapat bertindak melalui peningkatan belanja infrastruktur yang berkualitas, selama tetap dapat menjaga defisit fiskal dalam batasan 3% dari produk domestik bruto (PDB),” kata Chaves.
Menurut dia, perbaikan infrastruktur akan mengurangi biaya logistik dan harga berbagai barang serta jasa untuk mendukung pertumbuhan dan juga kesetaraan. Saat ini kemajuan untuk menggerakkan perekonomian nasional memang dinilai memiliki sejumlah tantangan fiskal yang sangat krusial.
Dilihat dari sisi pengeluaran, penting untuk menghapus beberapa hambatan pembelanjaan modal di mana anggaran saat ini ditargetkan meningkat hingga dua kali lipat. Sedangkan dari sisi pene-rimaan, kendati target pajak diupayakan untuk naik 30%, namun berdasarkan data saat ini justru mengalami penurunan sebesar 1,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Upaya untuk memperkenalkan pelaporan pajak secara elektronik dan bentuk reformasi perpajakan lainnya dinilai positif olehnya. Namun, jauh lebih banyak upaya dibutuhkan dalam meningkatkan penerimaan guna memperbaiki kondisi fiskal dalam jangka menengah. ”Kondisi ini sama seperti negara berpendapatan rendah lainnya, Indonesia masih perlu menyesuaikan diri dengan penurunan tajam harga komoditas serta prospek normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat,” kata dia.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, sejumlah penyebab pelemahan pertumbuhan tersebut juga membuat defisit transaksi neraca berjalan, mengurangi pendapatan perusahaan komoditas, dan perlambatan investasi yang datang dari sektor swasta. ”Di kuartal pertama, investasi tetap memberikan sumbangan 1,4% pada pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun,” katanya.
Kita harapkan investasi dapat meningkat pada paruh kedua tahun ini,” katanya. Namun, Diop melihat sektor investasi tidak akan setinggi seperti prediksi sebelumnya, akibat pembelanjaan anggaran pemerintah yang diperkirakan lebih rendah untuk tahun 2015. ”Indonesia memang sudah membuat fondasi makroekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara eksportir komoditas seperti Brasil, Cile, Peru, dan Afrika Selatan yang mengalami kemerosotan.
Tetapi, laju pertumbuhan yang lebih cepat juga perlu datang dari reformasi fiskal agar pendapatan meningkat dan belanja anggaran jadi lebih baik,” paparnya. Selain itu, lanjut dia, diperlukan kebijakan-kebijakan yang bisa memengaruhi persaingan, perdagangan, serta kebijakan untuk mengurangi inflasi harga pangan yang dapat memperkuat kepercayaan konsumen.
Sebab, pertumbuhan yang lambat akan mempengaruhi belanja konsumen yang tercatat hanya tumbuh sebesar 4,7% di kuartal pertama tahun ini, dibandingkan rata-rata pertumbuhan 5,3% pada tahun lalu. Pada kesempatan itu Diop juga mengkritisi implementasi penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Menurut dia, kebijakan penentuan harga BBM yang sebelumnya diharapkan mampu memperbaiki kondisi defisit neraca berjalan dan alokasi anggaran ternyata berjalan tidak konsisten.
Seperti diketahui, di awal rencana reformasi harga BBM oleh pemerintahan Joko Widodo, Bank Dunia memandang positif karena penghapusan subsidi itu diyakini dapat mendukung neraca berjalan Indonesia dan membantu menyangga kebijakan dalam menghadapi risiko pembiayaan eksternal. ”Tapi implementasi dari formula BBM tidak konsisten. Harga di pasar dan penyesuaian oleh pemerintah tidak sama,” ujarnya.
Rabia edra almira
(bbg)