Liburan Kelas Menengah

Minggu, 02 Agustus 2015 - 09:22 WIB
Liburan Kelas Menengah
Liburan Kelas Menengah
A A A
Beberapa waktu lalu saya meluncurkan buku saya terbaru berjudul 8 Wajah Kelas Menengah (Gramedia, 2015).

Buku ini istimewa karena merupakan buku yang pertama di Indonesia membahas secara komprehensif profil konsumen kelas menengah Indonesia berdasarkan survei di 9 kota utama Indonesia. Salah satu fenomena kelas menengah yang menarik saya bahas dalam buku tersebut adalah adanya pergeseran perilaku dalam berlibur (traveling). Dalam buku tersebut, saya uraikan bahwa fenomena berlibur kalangan kelas menengah kita mengalami pergeseran yang sangat mendasar.

Seiring naiknya daya beli, kini mereka merasa bahwa liburan telah menjadi suatu kebutuhan baru yang wajib dilaksanakan setiap tahun atau bahkan sekali dalam beberapa bulan. Hari demi hari waktu mereka banyak dihabiskan untuk beragam kesibukan mengejar karier atau mengelola usaha. Akibatnya stres dan kepenatan terus menggayuti pikiran mereka. Nah, dalam kondisi demikian maka liburan menjadi obat penawar yang paling cespleng.

”Banyak bekerja, banyak berlibur” adalah ungkapan yang pas menggambarkan kelas menengah kita. Konsumen kelas menengah adalah captive marketyang telah merevolusi industri travelling. Apabila kita perhatikan, ada empat perilaku menarik konsumen kelas menengah mengenai traveling yang mendorong terjadinya perubahan radikal pada operasional industri ini. Apabila Anda mengincar segmen ini, perhatikanlah beberapa perilaku traveling mereka, seperti di bawah ini:

#1. Dulu Tersier, Sekarang Primer

Melihat perilaku traveling konsumen kelas menengah di Tanah Air, maka bisa disimpulkan bahwa traveling sudah menjadi kebutuhan pokok alias primer. Coba kita tengok saja, destinasi wisata terdekat di lingkungan sekitar, hampir selalu ramai dikunjungi oleh kelas menengah. Mulaidari kebunbinatang, arena rekreasi permainan, waterboom, wisata bahari, taman kota, pusat kuliner, dan lain-lain. Ramainya berbagai tempat destinasi wisata ini menjelaskan bahwa kelas menengah di Indonesia makin haus liburan. Padahal, dahulu, traveling adalah jenis kebutuhan tersier.

Mengapa? Karena uang pendapatan bulanan keluarga tidak pernah rutin dialokasikan untuk liburan. Pendapatan bulanan keluarga selalu habis disedot untuk memenuhi kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, dan tabungan sebagai dana cadangan. Liburan biasanya dilakukan setahun sekali saat liburan panjang atau tatkala mudik ke kampung halaman.

Berdasarkan hasil riset Middle Class Institute (MCI) di 9 kota besar di Indonesia, kelas menengahmengalokasikanpengeluaran untuk liburan rata-rata 7,3% perbulan. Dengandemikian, adanya pengeluaran rutin bulanan untuk liburan menandakan bahwa liburan telah menjadi kebutuhanpokoklaiknyakepemilikan handphone. Inilah apa yang kami sebut sebagai ”mass luxury”, yaitu kebutuhanyangbersifat luxurious tetapi sudah dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.

#2. Smart Planner

Tanda-tanda liburan telah menjadi kebutuhan primer, ini terlihat dari semakin penting dan seringnya kelas menengah merencanakan liburan. Ini yang tidak terjadi sebelum era revolusi kelas menengah, di mana orang masih menilai liburan sebagai kebutuhan aksidental (pergi berlibur apabila ada kebutuhan mendesak).

Di era Consumer 3000, merencanakan liburan telah jadi kebutuhan. Beberapa bulan sebelum berangkat liburan, kelas menengah telah mencari informasi dan merencanakan destinasi liburan. Mereka adalah smart planner. Mereka getol mencari informasi ataupun reviewdestinasi liburan, mencari paket liburan, rute dan harga pesawat, cari lokasi hotel plus harga, supaya bisa mendapatkan best valuesaat liburan nanti.

Hasil riset kualitatif FGD Inventure beberapa waktu lalu menemukan bahwa rata-rata kelas menengah merencanakan liburan minimal setahun tiga kali, yakni menjelang liburan panjang sekolah anak, Lebaran, dan liburan akhir tahun. Adanya travel review di platform blog atau media sosial, memudahkan mereka untuk merencanakan liburan. TripAdvisor ataupun beberapa blog milik blogger yang hobi travelingkerap ramai dikunjungi oleh kelas menengah. Sehingga, tak jarang para pemain industri travel seperti hotel, tempat kuliner, destinasi wisata menggunakan model promosi lewat para blogger. Para bloggerdiundang oleh pemain industri travel untuk me-review, lalu dimuat di blog, dan di-share di media sosial.

#3. Going Online

Konsumen kelas menengah yang memiliki karakteristik techy atau technology-savvy dan high-socially connected (menggunakan banyak akun media sosial) telah benar-benar merevolusi struktur industri traveling di Tanah Air. Travel agent yang sudah keenakan dan mapan di offline, semakin ditinggalkan oleh konsumen yang lalu beralih ke online travel agent.

Mengapa? Masyarakat Indonesia yang dulu gaptek, kini makin techydan melek informasi. Bisa kita lihat dari customer journey dari para traveler kelas menengah yang sangat dipengaruhi oleh internet menyebabkan offline travel agent tradisional makin ditinggalkan karena semakin irrelevant. Menurut Bisnis Indonesia, hampir 1.000 lebih offline travel agent tradisional telah ditutup karena tidak bisa beralih ke era digital. Ini terlihat dari semakin jayanya onlinetravel agentdalam berpromosi, sementara offline travel agentsemakin tenggelam.

Inilah fenomena travel 2.0, di mana para travel agentkian going digital mengikuti perubahan perilaku konsumen yang sangat menguasai teknologi dan internet. Oleh karena itu, Anda bisa lihat sendiri bagaimana para pemain online travel agenttumbuh bak jamur di musim penghujan. Mereka beramai-ramai mengincar pasar travelerIndonesia yang setiap tahun nilai pasarnya semakin membesar.

#4. Dari Inbound ke Outbound

Seiring revolusi konsumen kelas menengah, orientasi liburan mereka pun mulai beralih dari dalam negeri (inbound) ke luar negeri (outbound). Mereka pergi ke Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Arab Saudi, China, Australia, dll. Bahkan, dalam acara Garuda Indonesia Travel Fair (GITF) September lalu, destinasi dengan peminat tertinggi adalah Korea Selatan.

Kenaikan jumlah peminatnya mencapai 500% dibandingkan dengan destinasi wisata lain. Ada banyak motivasi mengapa mereka melakukan traveling ke luar negeri, seperti wisata religi, shopping, medical tour, melihat atraksi klub sepak bola, nonton konser artis idaman, atau juga nonton Moto GP di luar negeri.

Semua ini dilakukan tatkala daya beli mereka naik, terjangkaunya ongkos transportasi, dan knowledgeablity (melek informasi dan bisa berbahasa Inggris) yang meningkatkan kepercayaan diri.

Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3767 seconds (0.1#10.140)