Pedagang Monyet

Senin, 03 Agustus 2015 - 09:12 WIB
Pedagang Monyet
Pedagang Monyet
A A A
Alkisah, ada sebuah desa di tepi gunung, yang terkenal dengan banyaknya monyet yang berkeliaran di sana. Hal tersebut sudah berlangsung lama.

Meski banyak monyet kerap mengganggu penduduk, karena sudah bertahun-tahun, orang pun akhirnya terbiasa dan seperti tak lagi peduli. Mereka seperti sudah bisa hidup berdampingan. Hingga, suatu ketika ada seorang pengusaha yang datang ke desa tersebut. Ia mengatakan, siapa pun yang bisa menangkap monyet, akan diberi imbalan seratus ribu dari setiap monyet yang ditangkap.

Mendapat tawaran upah tersebut, berbondong-bondong orang di desa itu berburu monyet. Beramai-ramai mereka mencari monyet hingga ke berbagai tempat di sekitar mereka demi mendapat upah. Dengan upah tersebut, jumlah monyet jadi berkurang drastis. Karena makin sedikit, suatu kali si pengusaha menawarkan harga lebih mahal. Kali ini, ia menetapkan harga dua ratus ribu untuk setiap monyet yang berhasil ditangkap.

Para penduduk desa yang tadinya mulai berkurang semangat karena monyet makin sedikit, jadi bergairah lagi. Mereka berburu monyet yang makin sedikit demi mengejar upah lebih banyak. Akibatnya, monyet pun makin sedikit jumlahnya di desa tersebut. Maka, lagi-lagi si pengusaha menawarkan harga lebih tinggi. Ia menawarkan harga lima ratus ribu untuk setiap monyet yang ditangkap dan dijual kepadanya.

Namun kali ini, karena sudah diburu sedemikian rupa, monyet sudah sangat sulit dicari. Pada saat itu, si pengusaha meninggalkan desa tersebut untuk sekian lama. Ia hanya mempercayakan pekerjaan mencari monyet itu pada pembantunya. Suatu kali, si pembantu ini berkata kepada penduduk desa. Ia menyebut, punya banyak monyet dari majikannya.

Ia mengatakan para penduduk desa, ia akan bekerja sama dengan mereka untuk menjual monyet itu seharga tiga ratus ribu dan mereka bisa menjual kembali kepada si pengusaha seperti yang ditawarkan sebelumnya sebesar lima ratus ribu. Dengan cara itu, penduduk desa akan mendapat selisih harga dua ratus ribu keuntungandari kerjasamaitu.

Maka, ramai-ramai penduduk desa mengumpulkan sisa uang yang dimiliki untuk membeli monyet dari si pembantu. Mereka sudah berpikir, akan mendapat keuntungan berlipat setidaknya dua ratus ribu per satu monyet. Namun, setelah semua monyet dibayar, si pembantu tak pernah muncul lagi. Begitu juga dengan si pengusaha. Para penduduk desa hanya bisa termangu karena kehilangan uang banyak dan monyet-monyet pun kembali ke desa mereka.

The Cup of Wisdom

Dari kisah ilustrasi tersebut setidaknya kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, ketamakan tak akan membawa kebaikan. Terbukti, karena sudah tergiur dengan keuntungan lebih besar yang ditawarkan si pembantu, penduduk desa rela mengorbankan uangnya untuk hasil yang sebenarnya belum pasti. Terkadang, kita juga kerap mendapatkan iming-iming serupa.

Banyak tawaran keuntungan yang sekilas sangat instan. Cukup menggiurkan dan kadang sangat menyilaukan. Tanpa perlu kerja keras, tanpa perlu modal besar, uang akan datang dengan mudahnya. Hal semacam itu hampir dipastikan adalah suatu kondisi yang sangat langka. Mungkin saja terjadi, tapi tanpa kerja keras, pencapaian yang didapat biasanya tak akan lama.

Sebab, tak ada fondasi yang memperkokoh apa yang diperoleh. Hal kedua adalah soal kepedulian. Jika saja sejak awal semua penduduk desa cukup peduli dengan kehadiran monyet, mereka tak akan berkembang sedemikian banyak. Dan, ujungnya ke depan tak akan banyak mengganggu mereka. Kita pun kadang seperti itu.

Acap merasa sebuah gangguan kecil tak perlu kita tangani dengan serius karena merasa tak akan jadi masalah besar. Tapi, akibat dari hal kecil yang mengganjal inilah, kadang justru muncul masalah di kemudian hari yang akan menjadi halangan besar. Karena itu, ada baiknya kita lebih responsif terhadap munculnya gangguan. Jika bisa diselesaikan segera, jangan ditunda.

Dan, selesaikan semua secara tuntas sehingga banyak pekerjaan lanjutan yang tak akan terbebani selanjutnya. Mari, belajar introspeksi diri. Jangan sampai ketamakan membuat kita terjebak pada sukses yang semu.

Dan, jangan sampai terbiasa menunda apa yang seharusnya bisa kita selesaikan segera. Dengan introspeksi dan terus memperbaiki diri, niscaya akan lebih banyak kebaikan yang kita terima. Salam sukses, luar biasa!!!

ADRIE WONGSO
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3745 seconds (0.1#10.140)