Pilkada: Mencari Calon Cemerlang

Kamis, 13 Agustus 2015 - 09:54 WIB
Pilkada: Mencari Calon...
Pilkada: Mencari Calon Cemerlang
A A A
Saat ini sedang marak pembahasan tentang pilkada. Yang menjadi pokok bahasan antara lain (1) Untung-rugi pilkada serentak vs tidak serentak/ bertahap, (2) Banyak pihak yang sudah mencuri start dengan memasang baliho dan pamflet, (3) Beberapa partai tidak mengajukan karena calonnya ”belum” siap, (4) Polemik pros dan cons dinasti kepemimpinan, (5) Calon yang bermasalah, berstatus mantan narapidana.

Keberhasilan pilkada adalah apabila masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih dan dari opsi-opsi pilihan yang benar- benar bisa disebut calon cemerlang. Kader partai atau bukan seharusnya masyarakat pemilih dihadapkan pada pilihan yang sulit karena semua opsi adalah pilihan terbaik.

Pemimpin yang Siap

Seperti apa calon yang disebut ”siap” menjadi pemimpin daerah? Tergantung dari bagaimana mendefinisikan kesiapan tersebut. Siap dari pandangan masyarakat atau siap dari kacamata partai politik atau golongannya. Jika ”siap” itu dikaitkan dengan siap mewakili partai atau golongan, ini membahayakan.

Yang menjadi ukuran keberhasilan (dalam bentuk key performance indicator/KPI) bisa jadi dikaitkan apabila telah memuaskan partai atau golongannya, bukan masyarakatnya. Cara seperti ini sama saja seperti perusahaan yang masih ”product-oriented ” yaitu yang keputusan produk baru dikaitkan dengan kompetensi atau selera key managementnya. Bukan konsumennya.

”Kesiapan” yang lebih tepat adalah bila dikaitkan dengan ”siap” di mata masyarakat. Analogi dengan di perusahaan yaitu pendekatan consumer-oriented. Di mana produk/jasa dibuat disesuaikan dengan harapan konsumennya, bukan selera produsennya. Pencalonan untuk pemimpin sebuah daerah sejatinya adalah seseorang yang secara keseharian sudah terlihat kecemerlangan prestasinya di masyarakat.

Jadi, yang melihat kesiapan seseorang sejatinya adalah masyarakat, terutama di lingkungan pekerjaan dan rumahnya. Tokoh-tokoh masyarakat tertentu mungkin belum dikenal oleh media secara luas dan diberitakan, tetapi ia telah mendapat tempat di hati masyarakat di lingkungannya sendiri.

Calon seperti ini yang sebenarnya harus diberi tempat dalam pilkada. Calon cemerlang pilihan masyarakat. Jika disebutkan bahwa banyak kader yang tidak siap dan minta waktu penundaan, pertanyaan yang harus diajukan seharusnya adalah mengapa tidak siap?

Persiapan untuk menjadi pemimpin daerah itu integral dalam keseharian. Mau pilkada atau tidak pilkada, semua kader seharusnya tetap mempunyai personal brandyang cemerlang dan prestasinya teruji - secara keseharian sudah punya catatan di hati masyarakatnya (dalam profesi apa pun yang ia kerjakan).

Mantan Narapidana?

Topik siap tidak siapnya calon pemimpin ini belum seberapa dibandingkan dengan topik pembahasan yang langsung disambut hangat di media sosial. Yaitu, kenyataan bahwa dari sekian banyak calon pilkada tersebut ternyata ada yang mantan narapidana, dengan kasus korupsi alias penggelapan uang negara, di daerah yang sama!

Banyak yang mempertanyakan mengapa sebuah partai besar sampai seperti kehabisan stok kader karenanya menutup mata hatinya untuk kemudian mencalonkan kembali pemimpin yang pernah melukai hati masyarakat karena korupsi. Mengherankan bahwa pimpinan partai secara santai bahkan memilih personal brand yang sudah jelas tidak cemerlang untuk dikonteskan.

Menjadi narapidana untuk kasus korupsi tentu bukan persoalan sederhana. Ini komentar media sosial: ”Seperti sudah tidak ada yang lain saja”, ”Di mana logikanya?” ”Membasmi korupsi dengan pemimpin yang berpengalaman korupsi?” Salah satu sekjen partai merasa yakin jika calonnya tersebut sudah bertaubat. Jadi harus diberikan kesempatan lagi untuk memimpin.

”Seseorang yang sudah merasakan getirnya kehidupan di lapas (lembaga pemasyarakatan) tentu akan berbuat segala sesuatu agar tidak mengulangi lagi lembaran kelam dalam kehidupannya,” demikian ucapan salah satu sekjen partai terkait berita mengapa mantan narapidana diusung menjadi calon pemimpin daerah.

Pemilihan kembali nama besar (walaupun bermasalah) disebabkan karena partai tidak percaya diri dengan tokoh baru. Mereka mengandalkan kekuatan nama kandidat yang sudah sangat tinggi awareness -nya di daerah tersebut sehingga dianggap akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi untuk ”terpilih” lagi.

Pengangkatan kembali mantan narapidana itu sedikit banyak berkaitan dengan asumsi bahwa untuk memenangkan sebuah ajang pemilihan, personal brand- nya harus dikenal luas. Awareness- nya harus tinggi, melebihi semua calon yang lain. Maka, tidak heran jika incumbent atau sang pemimpin daerah ”bertahan” selalu punya poin lebih dibandingkan calon pemula.

Awareness- nya sudah melejit ke langit. Siapa di Surabaya yang tidak kenal Tri Rismaharini (Bu Risma)? Siapa di Bandung yang tidak kenal Ridwan Kamil (Kang Emil)? Pada saat mereka mencalonkan diri kembali, tidak perlu lagi ”mencuri start” dengan memasang- masang pamflet dan banner ilegal.

Nama dan foto mereka sudah ada di benak audiens pemilih. Kesempatan Bu Risma dan Kang Emil untuk memenangkan pilkada cukup tinggi bukan hanya karena tingkat awarenessnya, melainkan masyarakat telah mendapatkan great moment of truth.

Mereka berdua memberikan pengalaman yang menyenangkan yang membuat masyarakat merasa dekat secara emosional. Kedekatan yang terbentuk dari moment of truth inilah yang sulit untuk bisa digeser oleh calon lain yang baru masuk bursa. Mereka belum mempunyai ”connection” yang cukup.

Curi Start

Mengapa ada yang berusaha untuk mencuri start? Tentu ini berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan awareness supaya dikenal luas (fotonya). Padahal, dalam pemilihan sebuah brand, yang cemerlang itu bukan saja dikenal luas, tetapi mereka dipahami, dimengerti tawarannya.

Yang lebih efektif untuk pilkada adalah word of mouth. Cerita-cerita baik tentang seseorang yang menjadi calon pemimpin itu akan menjadi bahan pembicaraan dan bahan pertimbangan masyarakat. Brand activation dengan cara word of mouth communication merupakan pekerjaan rumah bagi semua calon pemimpin.

Positive word of mouth bisa tercipta secara natural apabila memang dalam kesehariannya sang calon pemimpin memang sudah menggambarkan kecemerlangan tersebut. Semoga pilkada tahun ini bukan hanya efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya, tetapi juga berhasil menuai calon cemerlang dalam arti yang sebenarnya.

AMALIA E. MAULANA. PH.D
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0613 seconds (0.1#10.140)