ETF, Hedge Funds, dan Reksa Dana Konvensional
A
A
A
Berita di majalah the Economist awal bulan ini menarik perhatian saya. Dikatakan Exchange-Traded Funds (ETF) telah mengalahkan Hedge Funds (HF) sebagai alat investasi.
Dituliskan juga jika ini adalah kemenangan investor yang rendah hati atas investor high profile yang mengejar return tinggi. Jika pada 1999 seluruh ETF yang ada di dunia ini hanya bernilai kurang dari sepersepuluh dari pesaing utamanya yaitu HF, kini ETF secara global telah memiliki aset USD2,971 triliun atau USD2 miliar di atas industri hedge funds dengan aset USD2,969 triliun.
Baik ETF maupun hedge funds terus menggerogoti pangsa pasar saingannya yang jauh lebih besar yaitu reksa dana konvensional. Apa itu ETF dan hedge funds ? ETF adalah reksa dana (fund ) yang diperdagangkan di bursa (exchangetraded) dan dikelola secara pasif. Sementara hedge funds adalah pengumpulan dana yang dikelola secara agresif dan fleksibel dengan menggunakan sejumlah strategi untuk mengejar return tinggi.
Tidak seperti reksa dana biasa dan ETF yang diatur dan diawasi dengan ketat, hedge funds dapat me-minjam, melakukan short sale , membeli efek derivatif, dan berinvestasi di luar negeri. Jika reksa dana biasa sudah ditawarkan sejak 1996 dan ETF sejak 2007, hedge funds sampai saat ini belum ada di Indonesia.
Diperdagangkan di Bursa ETF pertama kali diperdagangkan di Kanada tahun 1990, yaitu TIPS (Toronto Index Participation Share ) yang mengacu pada indeks saham Toronto 35. Se-belumnya pada tahun 1976 telah diluncurkan Vanguard 500 yang merupakan reksa dana indeks pertama. Di Amerika, ETF berbasis S & P 500 diperdagangkan di Amex mulai 1993 dengan kode SPDR. Sejak saat itu ETF berkembang sangat pesat.
Saat ini bursa London dan New York memperdagangkan tidak kurang dari 1.000 ETF, di bursa Korea 161 ETF, di bursa Hong Kong dan Jepang 120 ETF, di Singapura 89 ETF, di Thailand 17 ETF, dan di Malaysia 6 ETF. Di bursa kita, ETF untuk pertama kalinya diperdagangkan pada 18 Desember 2007 yaitu ETF berbasis indeks saham LQ-45 dari PT Indo Premier Securities, bersamaan dengan ETF berbasis indeks obligasi R-ABFII dari Bahana Investment.
Sempat mati suri hampir empat tahun, perdagangan ETF di bursa kita kembali bangkit akhir 2011. Memasuki usianya yang ke-8, jumlah ETF di BEI saat ini mencapai delapan buah, yaitu tujuh berbasis indeks saham dari PT Indo Premier dan satu berbasis indeks obligasi. Keenam ETF saham lainnya itu adalah XIIT (berbasis 30 saham utama BEI atau IDX30), XIJI (berbasis 30 saham indeks syariah), XISI (18 saham indeks SMinfra), XIIC (20 saham sektor konsumer), XIIF (26 saham finansial), dan XISR (berbasis 25 saham pembentuk indeks Sri-Kehati).
Tujuan diluncurkannya ETF adalah memberikan kesempatan kepada siapa pun terutama investor kecil dan investor pemula untuk memperoleh hasil investasi yang setara dengan kinerja indeks tertentu. Manajer investasi (MI) dari ETF telah membeli saham-saham yang membentuk indeks sesuai bobot masing-masing saham dalam indeks. Mereka kemudian menawarkan unit penyertaan dalam portofolio itu kepada para investor dalam bentuk saham.
Untuk investor yang sulit untuk memilih saham apa yang naik tetapi percaya indeks LQ-45 atau indeks IDX30 atau Jakarta Islamic Index akan naik, dia dapat membeli ETF berbasis indeksindeks itu. Demikian juga jika dia yakin sektor konsumer atau finansial atau infrastruktur akan naik tanpa tahu pasti saham-saham apa saja yang akan meningkat harganya, dia dapat langsung mengoleksi ETF untuk sektor-sektor itu.
Keunggulan
Sama seperti reksa dana lainnya, portofolio ETF dikelola secara profesional oleh MI, memiliki bank kustodian, telah diversifikasi, dan dapat diperjualbelikan. Bedanya, investor dalam ETF tidak perlu membayar subscription dan redemption fee serta management fee yang berkisar 1%-2% tetapi cukup biaya broker 0,15%-0,35% untuk membeli atau menjualnya di bursa, sama seperti biaya beli-jual saham.
Selain biaya transaksi yang lebih rendah, keunggulan ETF adalah transparansi. Dalam reksa dana saham konvensional, investor tidak tahu persis saham-saham dalam portofolio reksa dananya setiap harinya. NAB reksa dana juga baru dapat diketahui esok harinya, sedangkan komposisi ETF sangat transparan yaitu sesuai bobot masingmasing saham dalam indeks acuan.
Demikian juga nilainya yang selalu sekitar indeks yang menjadi acuannya. Perbedaan lain dengan reksa dana saham konvensional adalah dividen dalam reksa dana saham konvensional selalu direinvestasikan sedangkan dalam ETF, dividen dijanjikan akan dibagikan.
Risiko
Sama seperti reksa dana saham lainnya, investasi dalam ETF menghadapi risiko pasar yaitu fluktuasi harga saham karena faktor ekonomi makro seperti suku bunga, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, jika MI reksa dana saham konvensional melakukan stock picking (pemilihan saham) untuk portofolionya, MI ETF tidak melakukan strategi aktif itu. Rebalancing (aksi menjual saham tertentu dan membeli saham lainnya) hanya dilakukan setiap 6 bulan sekali.
Di satu sisi, strategi pasif sangat menghemat biaya transaksi jual-beli saham untuk portofolio. Di sisi lain, strategi ini juga mempunyai kelemahan. Saham apa pun yang ada dalam indeks acuan juga harus ada dalam portofolio ETF sebesar bobot saham itu dalam indeks. Ketiga, investor dalam ETF tidak selalu dapat menjual saham ETF-nya pada harga sesuai indeks acuannya. Untuk risiko ini, kita tidak perlu khawatir karena MI sudah berjanji untuk membuatnya likuid yaitu dengan menjadi market maker di pasar sekunder dengan ask-bid spread serendah mungkin.
Dibandingkan dengan reksa dana saham konvensional yang dikelola dengan aktif, ETF mestinya lebih menarik karena ada pasar sekundernya, biaya pengelolaan sangat minim, biaya transaksi lebih rendah, transparan, dan menjanjikan dividen.
Budi Frensidy
Staf Pengajar FEB-UI dan Perencana Keuangan Independen @BudiFrensidy
Dituliskan juga jika ini adalah kemenangan investor yang rendah hati atas investor high profile yang mengejar return tinggi. Jika pada 1999 seluruh ETF yang ada di dunia ini hanya bernilai kurang dari sepersepuluh dari pesaing utamanya yaitu HF, kini ETF secara global telah memiliki aset USD2,971 triliun atau USD2 miliar di atas industri hedge funds dengan aset USD2,969 triliun.
Baik ETF maupun hedge funds terus menggerogoti pangsa pasar saingannya yang jauh lebih besar yaitu reksa dana konvensional. Apa itu ETF dan hedge funds ? ETF adalah reksa dana (fund ) yang diperdagangkan di bursa (exchangetraded) dan dikelola secara pasif. Sementara hedge funds adalah pengumpulan dana yang dikelola secara agresif dan fleksibel dengan menggunakan sejumlah strategi untuk mengejar return tinggi.
Tidak seperti reksa dana biasa dan ETF yang diatur dan diawasi dengan ketat, hedge funds dapat me-minjam, melakukan short sale , membeli efek derivatif, dan berinvestasi di luar negeri. Jika reksa dana biasa sudah ditawarkan sejak 1996 dan ETF sejak 2007, hedge funds sampai saat ini belum ada di Indonesia.
Diperdagangkan di Bursa ETF pertama kali diperdagangkan di Kanada tahun 1990, yaitu TIPS (Toronto Index Participation Share ) yang mengacu pada indeks saham Toronto 35. Se-belumnya pada tahun 1976 telah diluncurkan Vanguard 500 yang merupakan reksa dana indeks pertama. Di Amerika, ETF berbasis S & P 500 diperdagangkan di Amex mulai 1993 dengan kode SPDR. Sejak saat itu ETF berkembang sangat pesat.
Saat ini bursa London dan New York memperdagangkan tidak kurang dari 1.000 ETF, di bursa Korea 161 ETF, di bursa Hong Kong dan Jepang 120 ETF, di Singapura 89 ETF, di Thailand 17 ETF, dan di Malaysia 6 ETF. Di bursa kita, ETF untuk pertama kalinya diperdagangkan pada 18 Desember 2007 yaitu ETF berbasis indeks saham LQ-45 dari PT Indo Premier Securities, bersamaan dengan ETF berbasis indeks obligasi R-ABFII dari Bahana Investment.
Sempat mati suri hampir empat tahun, perdagangan ETF di bursa kita kembali bangkit akhir 2011. Memasuki usianya yang ke-8, jumlah ETF di BEI saat ini mencapai delapan buah, yaitu tujuh berbasis indeks saham dari PT Indo Premier dan satu berbasis indeks obligasi. Keenam ETF saham lainnya itu adalah XIIT (berbasis 30 saham utama BEI atau IDX30), XIJI (berbasis 30 saham indeks syariah), XISI (18 saham indeks SMinfra), XIIC (20 saham sektor konsumer), XIIF (26 saham finansial), dan XISR (berbasis 25 saham pembentuk indeks Sri-Kehati).
Tujuan diluncurkannya ETF adalah memberikan kesempatan kepada siapa pun terutama investor kecil dan investor pemula untuk memperoleh hasil investasi yang setara dengan kinerja indeks tertentu. Manajer investasi (MI) dari ETF telah membeli saham-saham yang membentuk indeks sesuai bobot masing-masing saham dalam indeks. Mereka kemudian menawarkan unit penyertaan dalam portofolio itu kepada para investor dalam bentuk saham.
Untuk investor yang sulit untuk memilih saham apa yang naik tetapi percaya indeks LQ-45 atau indeks IDX30 atau Jakarta Islamic Index akan naik, dia dapat membeli ETF berbasis indeksindeks itu. Demikian juga jika dia yakin sektor konsumer atau finansial atau infrastruktur akan naik tanpa tahu pasti saham-saham apa saja yang akan meningkat harganya, dia dapat langsung mengoleksi ETF untuk sektor-sektor itu.
Keunggulan
Sama seperti reksa dana lainnya, portofolio ETF dikelola secara profesional oleh MI, memiliki bank kustodian, telah diversifikasi, dan dapat diperjualbelikan. Bedanya, investor dalam ETF tidak perlu membayar subscription dan redemption fee serta management fee yang berkisar 1%-2% tetapi cukup biaya broker 0,15%-0,35% untuk membeli atau menjualnya di bursa, sama seperti biaya beli-jual saham.
Selain biaya transaksi yang lebih rendah, keunggulan ETF adalah transparansi. Dalam reksa dana saham konvensional, investor tidak tahu persis saham-saham dalam portofolio reksa dananya setiap harinya. NAB reksa dana juga baru dapat diketahui esok harinya, sedangkan komposisi ETF sangat transparan yaitu sesuai bobot masingmasing saham dalam indeks acuan.
Demikian juga nilainya yang selalu sekitar indeks yang menjadi acuannya. Perbedaan lain dengan reksa dana saham konvensional adalah dividen dalam reksa dana saham konvensional selalu direinvestasikan sedangkan dalam ETF, dividen dijanjikan akan dibagikan.
Risiko
Sama seperti reksa dana saham lainnya, investasi dalam ETF menghadapi risiko pasar yaitu fluktuasi harga saham karena faktor ekonomi makro seperti suku bunga, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, jika MI reksa dana saham konvensional melakukan stock picking (pemilihan saham) untuk portofolionya, MI ETF tidak melakukan strategi aktif itu. Rebalancing (aksi menjual saham tertentu dan membeli saham lainnya) hanya dilakukan setiap 6 bulan sekali.
Di satu sisi, strategi pasif sangat menghemat biaya transaksi jual-beli saham untuk portofolio. Di sisi lain, strategi ini juga mempunyai kelemahan. Saham apa pun yang ada dalam indeks acuan juga harus ada dalam portofolio ETF sebesar bobot saham itu dalam indeks. Ketiga, investor dalam ETF tidak selalu dapat menjual saham ETF-nya pada harga sesuai indeks acuannya. Untuk risiko ini, kita tidak perlu khawatir karena MI sudah berjanji untuk membuatnya likuid yaitu dengan menjadi market maker di pasar sekunder dengan ask-bid spread serendah mungkin.
Dibandingkan dengan reksa dana saham konvensional yang dikelola dengan aktif, ETF mestinya lebih menarik karena ada pasar sekundernya, biaya pengelolaan sangat minim, biaya transaksi lebih rendah, transparan, dan menjanjikan dividen.
Budi Frensidy
Staf Pengajar FEB-UI dan Perencana Keuangan Independen @BudiFrensidy
(ars)