Bank Dikuasai Asing, Pemerintah Harus Belajar dari Krisis 1998
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) mengemukakan dunia industri di Indonesia saat ini banyak dikuasai asing termasuk perbankan.
“Kalau kita lihat industri perbankan yang besar-besar semuanya dimiliki oleh asing,” ujarnya, Rabu (7/10/2015)
HT mengatakan, pemerintah harus belajar dari pengalaman, seperti keluarnya paket kebijakan deregulasi perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menyebabkan jatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besar dan menambah parah krisis 1998.
Dikeluarkannya Pakto 88 memberikan kemudahan dalam pendirian bank baru mengakibatkan pertumbuhan industri perbankan cepat. Kebijakan tersebut juga mengizinkan pendirian bank joint venture untuk menarik investor asing. “Pada masa itu semua orang mampu membuka bank, sampai kurang lebih ada 200 bank karena modalnya diturunkan 10 miliar,” ucapnya.
Namun likuiditas industri perbankan di masa itu mengalami kekeringan karena banyaknya orang yang membuat bank menggunakan uang sendiri, serta mudahnya bank di masa tersebut meminjamkan uang.
“Jadi banyak orang membuat bank karena gampangnya dan pinjam uang dari bank untuk mereka sendiri, itu yang terjadi pada 98 dan banyak yang rontok,” ungkap HT.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah. Bantuan tersebut membuat negara rugi kurang lebih sekitar Rp350-360 triliun belum termasuk bunga.
Belajar dari kondisi tersebut, pemerintah harus mengkaji dan mengubah beberapa regulasi yang sudah tidak relevan agar asing tidak bisa seenaknya masuk ke pasar Indonesia. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang dihasilkan karena lobi pihak asing atau pengusaha. Bukan satu konsep yang dibuat bagaimana membangun Indonesia.
“Kalau kita pakai konsep yang pasti dalam bagaimana kita membangun Indonesia, semua aturan harus masuk ke dalam situ. Jadi mau lobi dari mana saja kalau keluar dari koridor itu juga tidak akan dilayani,” jelasnya.
Kendati demikian, HT mengatakan, di masa globalisasi seperti sekarang asing tetap dibutuhkan agar investasi bisa masuk. Namun, jangan sampai melupakan kepentingan nasional yang harus dijaga, khususnya menyangkut masyarakat menengah ke bawah.
“Itu harus kita jaga, karena mereka perlu kita tumbuhkan juga. Kalau tidak mereka di situ terus. Jadi ya kasusnya bisa berbeda-beda. Tapi intinya bagaimana masyarakat menengah ke bawah ini dapat terproteksi dan mereka bisa tumbuh,” tandasnya.
(Teddy Febrianto)
“Kalau kita lihat industri perbankan yang besar-besar semuanya dimiliki oleh asing,” ujarnya, Rabu (7/10/2015)
HT mengatakan, pemerintah harus belajar dari pengalaman, seperti keluarnya paket kebijakan deregulasi perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menyebabkan jatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besar dan menambah parah krisis 1998.
Dikeluarkannya Pakto 88 memberikan kemudahan dalam pendirian bank baru mengakibatkan pertumbuhan industri perbankan cepat. Kebijakan tersebut juga mengizinkan pendirian bank joint venture untuk menarik investor asing. “Pada masa itu semua orang mampu membuka bank, sampai kurang lebih ada 200 bank karena modalnya diturunkan 10 miliar,” ucapnya.
Namun likuiditas industri perbankan di masa itu mengalami kekeringan karena banyaknya orang yang membuat bank menggunakan uang sendiri, serta mudahnya bank di masa tersebut meminjamkan uang.
“Jadi banyak orang membuat bank karena gampangnya dan pinjam uang dari bank untuk mereka sendiri, itu yang terjadi pada 98 dan banyak yang rontok,” ungkap HT.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah. Bantuan tersebut membuat negara rugi kurang lebih sekitar Rp350-360 triliun belum termasuk bunga.
Belajar dari kondisi tersebut, pemerintah harus mengkaji dan mengubah beberapa regulasi yang sudah tidak relevan agar asing tidak bisa seenaknya masuk ke pasar Indonesia. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang dihasilkan karena lobi pihak asing atau pengusaha. Bukan satu konsep yang dibuat bagaimana membangun Indonesia.
“Kalau kita pakai konsep yang pasti dalam bagaimana kita membangun Indonesia, semua aturan harus masuk ke dalam situ. Jadi mau lobi dari mana saja kalau keluar dari koridor itu juga tidak akan dilayani,” jelasnya.
Kendati demikian, HT mengatakan, di masa globalisasi seperti sekarang asing tetap dibutuhkan agar investasi bisa masuk. Namun, jangan sampai melupakan kepentingan nasional yang harus dijaga, khususnya menyangkut masyarakat menengah ke bawah.
“Itu harus kita jaga, karena mereka perlu kita tumbuhkan juga. Kalau tidak mereka di situ terus. Jadi ya kasusnya bisa berbeda-beda. Tapi intinya bagaimana masyarakat menengah ke bawah ini dapat terproteksi dan mereka bisa tumbuh,” tandasnya.
(Teddy Febrianto)
(dmd)