BPJS Kesehatan Dinilai Sudah Sesuai Syariah
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabroni yang juga salah satu perintis konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menilai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah memenuhi syariah.
Hal ini menanggapi pernyataan mengenai program JKN melalui BPJS Kesehatan sempat menjadi polemik setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan BPJS tidak sesuai syariah.
“Jadi tidak perlu lagi ada istilah BPJS Syariah seperti yang diungkapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” katanya di Rumah Sakit Olah Raga Nasional (RSON) Cibubur, Depok, Kamis (22/10/2015).
Thabroni menambahkan, MUI justru melihat BPJS seperti asuransi dengan konsep dagang yang mengandung Gharar dan Riba.
“Tidak perlu jadi syariah, yang sekarang sudah sesuai syariah. Kalau dagang dalam hukum dunia pun ini kewajiban negara terhadap negara dan kewajiban rakyatnya bayar pajak pada negara. Dalam syariah pajak sah, tak ada yang bilang pajak bertentangan dengan syariah,” tukasnya.
Thabroni menyebutkan, ada kesamaan program BPJS atau iuran JKN dengan kewajiban masyarakat membayar pajak. Hal itu bersifat wajib kepada negara.
“Dalam konteks Islam tidak bisa diterapkan hukum dagang dengan hukum yang wajib. Memang RS di Indonesia semuanya masih berkonsep dagang. Oleh karena itu, untuk mengatasi, yang membelinya bukan pasien tetapi BPJS. Yang menjualnya RS, yang membeli powerful. Kalau tidak dengan JKN, yang menjual Powerful yang membeli pasien lemah,” tutur dia.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Tabhroni mengusulkan iuran wajib idealnya Rp150.000 per pasien per bulan.
Hal ini menanggapi pernyataan mengenai program JKN melalui BPJS Kesehatan sempat menjadi polemik setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan BPJS tidak sesuai syariah.
“Jadi tidak perlu lagi ada istilah BPJS Syariah seperti yang diungkapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” katanya di Rumah Sakit Olah Raga Nasional (RSON) Cibubur, Depok, Kamis (22/10/2015).
Thabroni menambahkan, MUI justru melihat BPJS seperti asuransi dengan konsep dagang yang mengandung Gharar dan Riba.
“Tidak perlu jadi syariah, yang sekarang sudah sesuai syariah. Kalau dagang dalam hukum dunia pun ini kewajiban negara terhadap negara dan kewajiban rakyatnya bayar pajak pada negara. Dalam syariah pajak sah, tak ada yang bilang pajak bertentangan dengan syariah,” tukasnya.
Thabroni menyebutkan, ada kesamaan program BPJS atau iuran JKN dengan kewajiban masyarakat membayar pajak. Hal itu bersifat wajib kepada negara.
“Dalam konteks Islam tidak bisa diterapkan hukum dagang dengan hukum yang wajib. Memang RS di Indonesia semuanya masih berkonsep dagang. Oleh karena itu, untuk mengatasi, yang membelinya bukan pasien tetapi BPJS. Yang menjualnya RS, yang membeli powerful. Kalau tidak dengan JKN, yang menjual Powerful yang membeli pasien lemah,” tutur dia.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Tabhroni mengusulkan iuran wajib idealnya Rp150.000 per pasien per bulan.
- “Kalau ideal dengan memungkinkan perbaikan kualitas layanan perkiraan saya Rp150.000 per orang per bulan, itu bisa naik kualitasnya. Rp50.000 per orang masih oke, tapi tak berharap naik kualitasnya. RS tidak akan cukup beli alat yang baru, dokter pun itu–itu saja,” tandasnya.
(rna)