Menunggu Tuah Pengampunan Pajak

Kamis, 31 Desember 2015 - 21:58 WIB
Menunggu Tuah Pengampunan Pajak
Menunggu Tuah Pengampunan Pajak
A A A
TARGET pajak yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai pro dan kontra. Terlebih, raihan penerimaan pajak hingga akhir 2015 hanya mencapai 82%. Hal ini bahkan memaksa Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk pencapaian target. Bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty. Langkah ini dinilai tepat untuk menjaring wajib pajak yang mangkir, padahal dana mereka banyak terparkir di dalam dan luar negeri.

“Undang-undang tax amnesty penting karena berdasarkan data, dana asing yang terparkir di luar negeri mencapai Rp2.700 triliun dan untuk dalam negeri sekitar Rp1.400 triliun,” ujar Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.

Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga memastikan bahwa pembahasan RUU tax amnesty akan masuk prolegnas tahun depan dengan pembahasan dimulai pada awal 2016.

Hal ini dibenarkan Wakil Ketua Badan Legislatif Firman Subagyo. "RUU Pengampunan Pajak akan masuk prolegnas 2015, dan dapat dilanjutkan pada prolegnas tahun 2016 karena terbatasnya waktu masa sidang 2015," katanya.

Di sisi lain, dari pandangan pengamat perpajakan Indonesia, langkah pemerintah dan DPR memberlakukan tax amnesty bukan tanpa kekurangan. Dari berbagai polemik sebelum namanya pengampunan pajak, awalnya dinamakan pengampunan nasional, yang artinya, koruptor juga bisa diampuni, hingga pembahasan molor.

Direktur Eksekutif dari Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo memandang kemungkinan keberhasilannya kecil.‎ "Pengampunan pajak itu bukan hal baru. Sudah ada 40 negara yang memberlakukannya. Indonesia bahkan pernah melakukan ini sewaktu Presiden Soekarno menjabat. Namun, tingkat keberhasilannya sangat rendah. Amerika saja kapok melakukan tax amnesty terhadap 41 negara bagiannya," kata Prastowo kepada Sindonews.

Prastowo memahami langkah Indonesia membutuhkan tax amnesty untuk menjaring dana-dana yang disimpan di luar negeri masuk guna menutupi target pajak yang dinilai 'ketinggian'. "Target Pajak pada 2015 dalam APBNP memang ketinggian terlalu ambisius dengan total Rp1.294 triliun. Itu pajak saja. Realisasinya memang masih jauh meskipun ada extra effort‎," bebernya.

Kenyataan ini semakin jelas dengan pengunduran diri Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito pada awal Desember lalu‎. Sigit mengundurkan diri karena dirinya tidak mampu mencapai target pajak yang ditetapkan pemerintah.

".... Pengunduran ini semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab saya yang tidak berhasil memimpin DJP dalam mencapai target penerimaan pajak yang dapat ditolelir (diatas 85%). Perhitungan saya hanya akan mencapai 80-82% di akhir tahun 2015," kata Sigit, dalam petikan pesan singkatnya.

Bahkan, dalam masa jabatan Sigit, shorftfall‎ pajak menduduki tempat tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dibenarkan oleh pernyataan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier. Menurutnya, shortfall pajak tahun ini membengkak menjadi sekitar Rp160 triliun. Kekurangan pajak ini lebih besar dari perkiraan sebelumnya, yakni sebesar Rp120 triliun dari target Rp1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.

"Dia (Sigit) tidak mencapai target (penerimaan pajak). Mungkin dalam sejarah shortfall-nya yang terbesar. Ini pertama kalinya kekurangannya begitu besar,"‎ tegasnya.

Dia menilai tidak salah jika pemerintah mengambil langkah tax amnesty karena shortfall pajak yang cukup besar demi basis pajak yang meluas. Perluasan basis pajak akan meningkatkan penerimaan pajak.

"Di sisi lain, tarif PPH yang direncanakan diturunkan demi wajib pajak tak melarikan keuntungannya. Jika basis pajak bertambah dan tarif turun, secara matematis, penerimaan tidak akan naik signifikan," ulasnya.

Pengamat perpajakan dari Tax Center Danny Darussalam mengatakan, masalah pajak tidak bisa dilihat di efek jangka pendek, namun jangka panjang. "Jangan lihat dari nominal yang didapat dalam jangka pendek, tapi jangka panjangnya yang dilihat. Ini kan merupakan cara yang terefektif dan terefisien dalam transisi menuju babak baru penegakan hukum di ranah perpajakan," kata Darussalam.

Pasalnya, kata dia, melalui tax amnesty cara penyelesaian kewajiban pajak masa lalu tanpa perlu melalui proses investigasi dan proses penegakan hukum lainnya yang akan memakan banyak waktu dan tenaga. "Bagi wajib pajak, tax amnesty merupakan kesempatan untuk menyelesaikan kewajiban pajaknya di masa lalu dengan cara yang relatif bersahabat sebelum rezim penegakan hukum di ranah perpajakan internasional berlaku," jelasnya.

Selain itu, tax amnesty juga dapat di-justifikasi sebagai upaya transisi dalam perubahan rezim perpajakan global terkait pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan serta dalam tataran domestik, keterbukaan akses perbankan untuk penggalian potensi pajak.

Melalui standar global pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information) dan keterbukaan akses perbankan di level domestik. "Pemerintah dapat menerima atau mengakses informasi tentang aset dan penghasilan dari luar dan dalam negeri secara rutin. Dengan demikian pemerintah dapat menggunakan informasi tersebut untuk memerangi offshore tax evasion," terangnya.

Hal senada disampaikan CEO Smartpreneur Pro Indonesia atau Gerakan Kewirausahaan Budi Satria Isman. Dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk menjalankan tax amnesty. Namun, setelah itu harus ada kejelasan dan ketegasan.

Menurut Budi, tax amnesty dibuat untuk menjaring pengusaha yang tidak membayar pajak seperti ketentuan yang berlaku. "Kalau ‎menurut UU ini kan permanen. Intinya, kalau dilihat dari pengusaha enggak semua yang bayar pajak sebagaimana mestinya. Kalau mau mendapatkan pendapatan tambahan dari pajak, pasti pemerintah ngasih tax amnesty. Tapi, setelahnya gimana caranya pemerintah harus konsisten biar mereka patuh," tegasnya kepada Sindonews.

Budi mengatakan bagi pengusaha kebijakan ini bagus, karena ini merupakan ajang perbaikan diri bagi mereka yang tidak membayar pajak. Ke depan harus ada take and give-nya. "Artinya, pemerintah juga seharusnya memperhatikan nasibnya pengusaha yang membayar pajak, karena mereka membutuhkan iklim investasi dan kepastian usaha," jelasnya.

Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, Nita Yudi mengatakan, tax amnesty selain diatur dalam UU, pemerintah juga harus tegas dalam penetapan law inforcement. "Memang banyak pro kontranya. Pro-nya, tentu ini karena mereka yang enggak bayar, bisa diputihkan. Yang kontra, (sebagian pengusaha) merasa enggak adil karena mereka bayar pajak terus. Karena banyak yang optimis. Nah, yang harus sekarang jalan, law inforcement-nya. Tentu ada pengawasan, warning kalau enggak bayar akan gimana. Harus ada efek jera," ujarnya.

Sekarang semuanya tergantung pemerintah untuk fokus dalam realisasi tax amnesty. Terlepas dari pro kontra dan pembahasan yang dinilai terlambat (seharusnya tahun ini), tax amnesty seharusnya bisa langsung dilakukan tahun depan.

"Target itu memang selalu ada, tercapai atau tidak tinggal bagaimana kerja pemerintah. Efeknya secara maksimal akan bisa dilihat di tahun 2017. Berapa pemasukan kita dari tax amnesty itu? Yang jelas, kita optimis, karena ini bukan hanya menguntungkan satu pihak‎, tapi semua pihak agar ke depan seluruh masyarakat Indonesia siapapun itu bisa membayar pajak dengan patuh," ujar Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahdalia.

Pangkas Target Pajak

Pemerintah diharapkan dapat merevisi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, serta memotong target penerimaan tahun depan. Realisasi pajak tahun ini dapat menjadi patokan, bukan asumsi.

Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan, sebaiknya target APBN pemerintah di sisi penerimaan direvisi ke bawah. Hal ini mengingat prognosis perolehan pajak tahun ini maksimal hanya 85% dari target pajak.

“Jadi yang dipakai sebagai baseline atau patokan adalah realisasi pajak tahun ini, bukan asumsinya. Dengan demikian asumsi penerimaan APBN via pajak lebih realistis,” ujar Ryan di Jakarta, Rabu (23/12/2015).

Dia mengatakan masalah defisit APBN 2016 yang berkisar 2,5% dari PDB. Namun, secara langsung tidak mempengaruhi likuiditas bank karena BI membolehkan perbankan terbitkan surat utang (obligasi, MTN) sebagai komponen LFR dan bukan lagi LDR).

Menurutnya, justru yang harus diperhatikan perbankan ialah kupon obligasi pemerintah. “Tren likuiditas 2016 longgar dengan catatan penetapan kupon obligasi pemerintah setara dengan bunga simpanan bank,” jelasnya.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan akan mengurangi biaya-biaya yang tidak begitu penting dalam rangka efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara Perubahan (APBNP). Dia menjelaskan anggaran yang akan dipangkas meliputi proyek yang multitafsir.

Menurutnya langkah tersebut sebagai bentuk dari kegiatan mengimbangi penerimaan ‎negara dari pajak yang diprediksi tak akan tercapai. Seperti diketahui sebelumnya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menghilangkan program pemerintah yang menggunakan kalimat bersayap

"Harus dikurangi dari hal-hal yang kurang penting misalnya biaya perjalanan, terus kalau di pertanian ya tulis saja pembelian benih bukan pemberdayaan petani," jelasnya.

Dia juga menerangkan bahwa kondisi perlambatan ekonomi Indonesia saat ini menjadi penyumbang besar kenapa target pajak tidak akan tercapai. Padahal pajak adalah sumber utama pendapatan dan pembiayaan.

Baginya sangat disayangkan jika pajak ini dijadikan acuan target penerimaan APBN 2016 sebesar Rp 1.368,5 triliun, itu terhitung merupakan angka yang tinggi. "Itu akan meledak nanti di 2016. Kalau realisasi 2015 dipakai untuk dasar penerimaan APBN 2016," pungkasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6107 seconds (0.1#10.140)