Hantu Stock Market Bubble

Selasa, 12 Januari 2016 - 06:01 WIB
Hantu Stock Market Bubble
Hantu Stock Market Bubble
A A A
SIAPA yang IQ-nya lebih tinggi, Sir Isaac Newton atau investor saham? Pasti Newton dong. Ia adalah pakar fisika dan matematika Inggris ternama yang antara lain menemukan hukum gravitasi.

Tetapi, pintar saja bukan jaminan bakal lebih sukses dalam berinvestasi. Musim semi tahun 1720, Newton memiliki saham South Sea Company, saham yang paling panas di Inggris saat itu. South Sea adalah perusahaan yang diberi hak monopoli oleh pemerintah Inggris untuk perdagangan di Amerika Selatan. Hak monopoli ini menarik para investor saham, akibatnya harga saham awal di sekitar 100 poundsterling bergerak naik secara cepat.

Saat harganya sekitar 150 poundsterling, Newton bereksperimen membeli sedikit saham. Beberapa bulan kemudian, ketika harga saham sudah menjadi dua kali lipat, ia menjual sahamnya dengan gembira. Namun saham South Sea naik terus.

Newton iri melihat sahabat-sahabatnya menjadi kaya raya saat saham menyentuh harga 500 poundsterling. Ia-pun tergoda untuk membeli kembali saham South Sea dengan jumlah yang jauh lebih banyak saat harga sudah mencapai 700 poundsterling. Harga South naik hingga 950 poundsterling dalam waktu tiga bulan, namun Newton belum mau menjualnya karena mengharapkan profit lebih besar.

Celakanya, harga saham tersebut kemudian terjun bebas kembali ke level semula, sekitar 100 poundsterling, dalam waktu enam bulan. Newton terpaksa jual rugi (cut loss) di angka 150-300 poundsterling.

Jika dibuat alur perjalanan investasi Newton yang emosional, bisa dirangkum sebagai bverikut; dari ketamakan ke kepuasan, dan kemudian dari iri hati dan ketamakan yang lebih besar, berakhir dengan penderitaan.

Dari investasi tersebut Newton total mengalami kerugian 20.000 poundsterling (sekitar Rp300 juta). Hampir seluruh tabungannya habis. Kata Newton dengan getir, “I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men.” Saking kesalnya, sampai ia meninggal, Newton melarang siapapun untuk menyebut kata “South Sea” di dekatnya.

Hal yang mirip terjadi pada investor saham di China tahun lalu hingga awal tahun ini. Pada Juli 2015, kepanikan melanda pasar modal di Negeri Panda itu. Pemerintah China yang tadinya mendorong orang untuk membeli saham, kini panik menghentikan investor saham yang panik menjuali sahamnya.

Bagaimana tidak, indeks harga saham di Bursa Efek Shanghai dan Shenzhen dalam waktu sebulan anjlok hingga 32% sejak 12 Juni 2015. Duit investor saham yang menguap akibat stock market crash tersebut mencapai USD3,2 triliun!

Sebelumnya, indeks harga saham di kedua pasar saham China naik 150% selama kurun waktu Juli 2014 hingga 12 Juni 2015. Tekanan jual yang begitu deras membuat 1.300 emiten menghentikan transaksi sahamnya, membekukan nilai saham sebesar USD2,7 triliun alias 40% dari kapitalisasi pasar saham China.

Coba perhatikan grafik Shanghai Stock Exchange Composite Index alias SCI (IHSG-nya bursa saham China). Awal Januari 2015, SCI ada di level 3.285. Pada 12 Juni 2015, sudah mencapai 5.166. Lalu jatuh ke 2.965 pada 25 Agustus 2015. Sempat naik ke 3.539 pada akhir 2015. Pada 2016, saat bursa Shanghai di buka 4 Januari lalu, saham-saham langsung bertumbangan. Pada 8 Januari, SCI menyentuh 3.186, alias turun 9,9% dalam waktu seminggu.

Financial atau stock market bubble terbentuk ketika harga saham melambung jauh di atas nilai wajarnya. Setidaknya ada dua faktor penyebab. Pertama, psikologi sosial. Misalnya, “herding”, yakni kecenderungan investor mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd).

Pada 2015, investor saham baru di China tumbuh pesat. Di China ada sekitar 90 juta investor saham, lebih banyak dari anggota partai komunis China. Persentase investor ritel mencapai 85% dari total investor. Survei menunjukkan lebih dari 60% investor ritel tersebut berpendidikan relatif rendah. Mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang investasi saham. Akibatnya, mereka membeli saham secara ikut-ikutan, berlandaskan rumor atau intuisi semata.

Kedua, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) para pelaku pasar. Kedua kekuatan pasar ini dapat berjalan bersama pada saat pasar bullish. “Keserakahan” mendorong para pelaku pasar masuk ke bursa saham dan “ketakutan” akan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar (opportunity lost) membuat pelaku pasar lainnya ikut berbondong-bondong masuk.

Selalu ada periode “panic buying”, di mana investor takut ketinggalan kapal kemakmuran, dan periode “panic selling” di mana investor berusaha menyelamatkan diri dari kapal Titanic yang sedang karam.

Warren Buffett memberi nasihat bahwa jika investor tidak bisa mengendalikan emosinya, ia tidak akan menjadi investor yang sukses. Setidaknya Newton sang jenius ikut berkontribusi mengamini petuah Buffett ini.

Lukas Setia Atmaja
Financial Expert-Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6084 seconds (0.1#10.140)