Indef Nilai Wajar BI Rate Turun
A
A
A
JAKARTA - Ekonom dari Institute Development of Economic and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menjelaskan, memang sudah sepatutnya BI rate turun karena ada beberapa hal, pertama selisih antara inflasi dan BI rate sudah terlalu lebar. Padahal, selama 2015 dan beberapa bulan terakhir, inflasi dalam negeri tergolong sangat rendah.
"Kedua, pada Februari 2016 Indonesia juga mengalami deflasi yang berarti tekanan terhadap inflasi tentunya menjadi lebih longgar," ujarnya di Jakarta Jumat (18/3/2016).
Ketiga, data-data perekonomian selama Januari-Februari 2016 seperti deflasi dan ekspor-impor, mengindikasikan perlambatan ekonomi sehingga diharapkan penurunan BI rate ini dapat menjadi stimulus moneter untuk mendongkrak perekonomian kembali.
Terlebih, pesimisme ekonomi 2016 juga mulai dirasakan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF yang memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,9%, dan Bank Dunia (World Bank) memangkasnya menjadi 5,1% atau lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,3%.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga tergolong stabil, cenderung menguat belakangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran BI akan capital outflow (modal keluar) berlebihan.
Menurutnya, tren negara-negara di dunia kecuali AS, memang sedang memotong suku bunganya. Bahkan banyak negara seperti Jepang, Denmark, Swedia menerapkan kebijakan suku bunga negatif (negative interest rate policy) atau suku bunga kurang dari 0 (nol) persen dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian mereka yang sedang mandek, bahkan berpotensi resesi.
Karena itu, lanjut dia, penurunan BI rate ini sudah tepat karena memang ini yang harus dilakukan BI. Bahkan, jika indikator-indikator seperti yang saya jelaskan di atas masih tetap terjadi, ada peluang bagi BI untuk terus memangkas suku bunganya.
"Terlebih, saat ini perekonomian dunia sedang diancam masalah 'deflasi global' yaitu terjadi deflasi di banyak negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju seperti di Eropa dan Jepang," papar dia.
Pemotongan suku bunga seperti ini akan berdampak positif bagi perekomian nasional yang sedang lesu. Suku bunga yang lebih rendah akan mendorong pengusaha untuk berani ekspansi dan investasi.
"Meski demikian, suku bunga kita masih jauh kalah kompetitif jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga karena tingginya suku bunga merupakan salah satu penyebab utama ekonomi berbiaya tinggi (high-cost economy) yang membuat perekonomian kita kalah saing dengan negara-negara lain," terangnya.
Dzulfian mengatakan, jika suku bunga masih terlalu tinggi seperti saat ini, bagaimana mungkin bangsa ini bisa bersaing dengan negara lain.
Baca: BI Kembali Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 6,75%
"Kedua, pada Februari 2016 Indonesia juga mengalami deflasi yang berarti tekanan terhadap inflasi tentunya menjadi lebih longgar," ujarnya di Jakarta Jumat (18/3/2016).
Ketiga, data-data perekonomian selama Januari-Februari 2016 seperti deflasi dan ekspor-impor, mengindikasikan perlambatan ekonomi sehingga diharapkan penurunan BI rate ini dapat menjadi stimulus moneter untuk mendongkrak perekonomian kembali.
Terlebih, pesimisme ekonomi 2016 juga mulai dirasakan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF yang memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,9%, dan Bank Dunia (World Bank) memangkasnya menjadi 5,1% atau lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,3%.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga tergolong stabil, cenderung menguat belakangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran BI akan capital outflow (modal keluar) berlebihan.
Menurutnya, tren negara-negara di dunia kecuali AS, memang sedang memotong suku bunganya. Bahkan banyak negara seperti Jepang, Denmark, Swedia menerapkan kebijakan suku bunga negatif (negative interest rate policy) atau suku bunga kurang dari 0 (nol) persen dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian mereka yang sedang mandek, bahkan berpotensi resesi.
Karena itu, lanjut dia, penurunan BI rate ini sudah tepat karena memang ini yang harus dilakukan BI. Bahkan, jika indikator-indikator seperti yang saya jelaskan di atas masih tetap terjadi, ada peluang bagi BI untuk terus memangkas suku bunganya.
"Terlebih, saat ini perekonomian dunia sedang diancam masalah 'deflasi global' yaitu terjadi deflasi di banyak negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju seperti di Eropa dan Jepang," papar dia.
Pemotongan suku bunga seperti ini akan berdampak positif bagi perekomian nasional yang sedang lesu. Suku bunga yang lebih rendah akan mendorong pengusaha untuk berani ekspansi dan investasi.
"Meski demikian, suku bunga kita masih jauh kalah kompetitif jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga karena tingginya suku bunga merupakan salah satu penyebab utama ekonomi berbiaya tinggi (high-cost economy) yang membuat perekonomian kita kalah saing dengan negara-negara lain," terangnya.
Dzulfian mengatakan, jika suku bunga masih terlalu tinggi seperti saat ini, bagaimana mungkin bangsa ini bisa bersaing dengan negara lain.
Baca: BI Kembali Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 6,75%
(izz)