Penurunan BI Rate Dorong Daya Saing RI
A
A
A
JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan (BI Rate) ke level 6,75% atau sebesar 25 basis poin (bps) dapat mendorong perekonomian nasional. Terlebih, pemotongan suku bunga akan berdampak positif bagi perekomian nasional yang sedang lesu. Ekonom Indef, Dzulfian Syahrian mengatakan, suku bunga yang lebih rendah akan mendorong pengusaha untuk berani ekspansi dan investasi.
"Meski demikian, suku bunga kita masih jauh kalah kompetitif jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga karena tingginya suku bunga merupakan salah satu penyebab utama ekonomi berbiaya tinggi (High-cost economy) yang membuat perekonomian kita kalah saing dengan Negara-negara lain," jelasnya di Jakarta, Minggu (20/3/2016).
Oleh karena itu, jika suku bunga masih terlalu tinggi seperti saat ini, Indonesia tidak mungkin bisa bersaing dengan negara lain. Lanjut dia, penurunan BI rate ini sudah tepat karena selisih antara inflasi dan BI rate sudah terlalu lebar. Padahal selama 2015 dan beberapa bulan terakhir, inflasi Indonesia tergolong sangat rendah.
Pada bulan Februari 2016, Indonesia juga mengalami deflasi (Kontra-inflasi) yang berarti tekanan terhadap inflasi tentunya menjadi lebih longgar. Sementara data-data perekonomian selama bulan Januari-Februari 2016, seperti deflasi dan ekspor-impor, mengindikasikan perlambatan ekonomi sehingga diharapkan penurunan BI rate ini dapat menjadi stimulus moneter untuk mendongkrak perekonomian kembali.
"Terlebih, pesimisme ekonomi 2016 juga mulai dirasakan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia (World Bank) yang telah memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing 5,1% (Bank Dunia) dan 4,9% (IMF) dimana lebih rendah dibanding proyeksi Pemerintah (5,3%)," jelas dia.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga tergolong stabil, cenderung menguat belakangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran BI akan capital outflow (modal keluar) berlebihan. Sedangkan tren negara-negara di Dunia, kecuali AS, memang sedang memotong suku bunganya.
Bahkan banyak negara, seperti Jepang, Denmark, Swedia, menerapkan kebijakan suku bunga negatif (negative interest rate policy) atau suku bunga kurang dari 0 (nol) persen dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian mereka yang sedang mandek, bahkan berpotensi resesi.
"Sehingga, jika indikator-indikator tersebut masih tetap terjadi, ada peluang bagi BI utk terus memangkas suku bunganya. Terlebih, saat ini perekonomian dunia sedang diancam masalah ’Deflasi Global’ yaitu terjadi deflasi di banyak negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju seperti di Eropa dan Jepang," tukasnya.
"Meski demikian, suku bunga kita masih jauh kalah kompetitif jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga karena tingginya suku bunga merupakan salah satu penyebab utama ekonomi berbiaya tinggi (High-cost economy) yang membuat perekonomian kita kalah saing dengan Negara-negara lain," jelasnya di Jakarta, Minggu (20/3/2016).
Oleh karena itu, jika suku bunga masih terlalu tinggi seperti saat ini, Indonesia tidak mungkin bisa bersaing dengan negara lain. Lanjut dia, penurunan BI rate ini sudah tepat karena selisih antara inflasi dan BI rate sudah terlalu lebar. Padahal selama 2015 dan beberapa bulan terakhir, inflasi Indonesia tergolong sangat rendah.
Pada bulan Februari 2016, Indonesia juga mengalami deflasi (Kontra-inflasi) yang berarti tekanan terhadap inflasi tentunya menjadi lebih longgar. Sementara data-data perekonomian selama bulan Januari-Februari 2016, seperti deflasi dan ekspor-impor, mengindikasikan perlambatan ekonomi sehingga diharapkan penurunan BI rate ini dapat menjadi stimulus moneter untuk mendongkrak perekonomian kembali.
"Terlebih, pesimisme ekonomi 2016 juga mulai dirasakan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia (World Bank) yang telah memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing 5,1% (Bank Dunia) dan 4,9% (IMF) dimana lebih rendah dibanding proyeksi Pemerintah (5,3%)," jelas dia.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga tergolong stabil, cenderung menguat belakangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran BI akan capital outflow (modal keluar) berlebihan. Sedangkan tren negara-negara di Dunia, kecuali AS, memang sedang memotong suku bunganya.
Bahkan banyak negara, seperti Jepang, Denmark, Swedia, menerapkan kebijakan suku bunga negatif (negative interest rate policy) atau suku bunga kurang dari 0 (nol) persen dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian mereka yang sedang mandek, bahkan berpotensi resesi.
"Sehingga, jika indikator-indikator tersebut masih tetap terjadi, ada peluang bagi BI utk terus memangkas suku bunganya. Terlebih, saat ini perekonomian dunia sedang diancam masalah ’Deflasi Global’ yaitu terjadi deflasi di banyak negara-negara di dunia, khususnya negara-negara maju seperti di Eropa dan Jepang," tukasnya.
(akr)