DJP Tak Punya Aturan Tarik Pajak Perusahaan Asing yang Rugi
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan Gunadi mengakui bahwa di Indonesia khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum mempunyai aturan penangkal yang bisa menangani wajib pajak besar yang merugi. Jika perusahaan dari penanaman modal asing (PMA) terus merugi, seharusnya tetap dikenakan pajak beberapa persen dari omzet.
"Kita belum punya aturan penangkal seperti itu untuk wajib pajak yang kesannya merugi terus. Sebetulnya di luar negeri juga sama seperti kita kondisinya, cuma mereka sudah punya aturannya," kata dia kepada Sindonews di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Menurutnya, aturan penangkal itu pernah dibahas di era 2000-an. Namun, ditolak DPR lantaran kurang elegan dan diyakini akan sulit mencari data PMA di luar negeri lantaran data pembanding dalam negeri tidak ada.
"Itu pernah disurvei di tahun 2000, tapi DPR menolak. Karena menurut mereka kelihatannya kurang elegan. Kan kita harus periksa, kalau kita periksa sulit cari data, karena sifatnya internasional. Di kita, data pembandingnya enggak ada, karena itu jaringan internasional," ujarn dia.
Selain itu, hukum yang mengatur soal ketentuan tersebut belum ada. Regulasi yang ada saat ini masih landai sehingga perusahaan-perusahaan berbasis PMA yang ada di Indonesia terkadang masih luput dari kewajiban mereka membayar pajak.
"Belum ada (hukumnya), maka harus diperkuat untuk penghindaran-penghindaran, penggelapan pajak itu harus dibikin regulasi yang lebih dalam lagi, khususnya PMA. Misalnya, kalau lima tahun berusaha tapi rugi terus, dia harus kena pajak sekian persen atas omzet. Kalaupun rugi terus, dia tetap harus bayar," tutur Gunadi.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah menemukna bukti kuat 4 unit usaha dalam bentuk perseroan terbatas, representative office atau orang pribadi, yang seharusnya masuk dalam kriteria bentuk usaha tetap (BUT), namun tidak mendaftarkan unit usaha tersebut sebagai BUT. Keempatnya yakni, Google, Facebook, Twitter dan Yahoo.
Atas hal tersebut, Ditjen Pajak akan melaksanakan pemeriksaan lebih dalam mengenai kewajiban perpajakan dari unit-unit usaha tersebut. Dalam Hal ini, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) Kanwil DJP Jakarta Khusus telah menetapkan keempat unit usaha tersebut sebagai BUT dan DJP akan melakukan penelitian serta pemeriksaan atas kewajiban pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia dari BUT tersebut.
Baca Juga:
Kejar Pajak Facebook Cs, Pemerintah Dituntut Ubah Regulasi
Google, Facebook, Twitter dan Yahoo Diperiksa Ditjen Pajak
"Kita belum punya aturan penangkal seperti itu untuk wajib pajak yang kesannya merugi terus. Sebetulnya di luar negeri juga sama seperti kita kondisinya, cuma mereka sudah punya aturannya," kata dia kepada Sindonews di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Menurutnya, aturan penangkal itu pernah dibahas di era 2000-an. Namun, ditolak DPR lantaran kurang elegan dan diyakini akan sulit mencari data PMA di luar negeri lantaran data pembanding dalam negeri tidak ada.
"Itu pernah disurvei di tahun 2000, tapi DPR menolak. Karena menurut mereka kelihatannya kurang elegan. Kan kita harus periksa, kalau kita periksa sulit cari data, karena sifatnya internasional. Di kita, data pembandingnya enggak ada, karena itu jaringan internasional," ujarn dia.
Selain itu, hukum yang mengatur soal ketentuan tersebut belum ada. Regulasi yang ada saat ini masih landai sehingga perusahaan-perusahaan berbasis PMA yang ada di Indonesia terkadang masih luput dari kewajiban mereka membayar pajak.
"Belum ada (hukumnya), maka harus diperkuat untuk penghindaran-penghindaran, penggelapan pajak itu harus dibikin regulasi yang lebih dalam lagi, khususnya PMA. Misalnya, kalau lima tahun berusaha tapi rugi terus, dia harus kena pajak sekian persen atas omzet. Kalaupun rugi terus, dia tetap harus bayar," tutur Gunadi.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah menemukna bukti kuat 4 unit usaha dalam bentuk perseroan terbatas, representative office atau orang pribadi, yang seharusnya masuk dalam kriteria bentuk usaha tetap (BUT), namun tidak mendaftarkan unit usaha tersebut sebagai BUT. Keempatnya yakni, Google, Facebook, Twitter dan Yahoo.
Atas hal tersebut, Ditjen Pajak akan melaksanakan pemeriksaan lebih dalam mengenai kewajiban perpajakan dari unit-unit usaha tersebut. Dalam Hal ini, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) Kanwil DJP Jakarta Khusus telah menetapkan keempat unit usaha tersebut sebagai BUT dan DJP akan melakukan penelitian serta pemeriksaan atas kewajiban pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia dari BUT tersebut.
Baca Juga:
Kejar Pajak Facebook Cs, Pemerintah Dituntut Ubah Regulasi
Google, Facebook, Twitter dan Yahoo Diperiksa Ditjen Pajak
(izz)