Instrumen Investasi dan Target Tax Amnesty
A
A
A
RIBUAN triliun rupiah uang warga negara Indonesia (WNI) disimpan di luar negeri. Pemerintah akan membawa pulang uang itu kembali melalui skema pengampunan pajak atau tax amnesty, yang Undang-Undangnya akan dibahas DPR.
Munculnya dokumen Panama Papers memperjelas banyak WNI yang menyimpan uangnya di luar negeri. Nilainya terbilang fantastis, mencapai ribuan triliun rupiah. Dalam dokumen yang dibocorkan oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu disebutkan, bukan hanya pengusaha Indonesia yang menyimpan uangnya di negeri suaka pajak Panama, tetapi juga pejabat pemerintah.
Menurut data Tax Justice Network 2010, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang memiliki aset keuangan terbesar di negara suaka pajak (tax haven). Lebih hebat lagi, Indonesia menempati posisi ke-9 dan merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara di daftar top-10 ini.
Jumlah aset dari Indonesia tercatat sebesar USD331 miliar atau setara Rp4.400 triliun dengan asumsi Rp13.300 per dolar AS. Menurut Kementerian Keuangan, dana WNI di luar negeri totalnya mencapai di atas produk domestik bruto (PDB) RI tahun 2015, yakni sekitar Rp11.541 triliun. Adapun, Bank Indonesia (BI) dalam kajiannya menyebutkan, dana WNI yang terparkir di luar negeri hanya Rp3.147 triliun.
Jika skema pengampunan pajak (tax amnesty) diberlakukan, BI memperkirakan potensi dana yang masuk sekitar Rp560 triliun. Dari jumlah tersebut, yang bisa masuk ke kas negara melalui pajak sekitar Rp45,7 triliun. (KORAN SINDO, 26/4) Jika UU tax amnesty berjalan, tantangan utamanya adalah masih ada tax haven di dunia internasional.
Namun, sudah ada langkah maju pemerintah karena Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) pada 2015 lalu. Negara- negara yang telah menandatangani MCAA, pada 2018 akan mulai menerapkan mekanisme Auto Exchange of Information (AEOI). AEOI adalah sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening keuangan secara global.
Melalui sistem AEOI, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan mudah melacak WNI yang menyembunyikan harta atau aset keuangannya di luar negeri. Jadi, bagi WNI yang selama ini menyembunyikan uang dan tidak berpartisipasi dalam program tax amnesty dapat dituntut secara kriminal paling lambat 2018.
Penerapan AEOI akan semakin mempersempit ruang gerak para pengemplang pajak. Sejauh ini MCAA telah ditandatangani oleh 61 negara/yurisdiksi, termasuk beberapa offshore financial center seperti Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Guernsey, Jersey, dan Mauritius.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas apakah tax amnesty dapat menjaring dana sebanyak Rp11.000 triliun (berdasarkan data Kementerian Keuangan) atau Rp3.147 triliun (hasil kajian BI). Saya akan fokus membahas sejauh mana kesiapan pasar keuangan dalam negeri menghadapi aliran dana pasca-pengampunan pajak.
Harus diingat, bagaimana pun dengan tax amnesty akan ada peluang mendatangkan uang ke dalam negeri dalam jumlah besar dan berefek berganda terhadap perekonomian. Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah bisa memanfaatkan peluang tersebut?
Dangkalnya Pasar Keuangan
Pemerintah dan industri jasa keuangan harus mengantisipasi dan menyiapkan instrumen keuangan yang memadai untuk menampung dana-dana yang selama ini tinggal di negeri surga pajak. Pasalnya, pasar keuangan di Indonesia bisa dibilang masih dangkal.
Dalam Riset Mandiri Institute dan Oliver Wyman disebutkan, selama 10-15 tahun terakhir Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan PDB riil mulai dari 4-6%. Namun, pengembangan pasar keuangan berjalan lambat. Pasar keuangan Indonesia relatif masih dangkal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Hal ini bisa terlihat dari rasio pasar saham terhadap PDB, volume obligasi korporasi dan pemerintah yang beredar terhadap PDB, serta pinjaman antar bank terhadap PDB. Menurut riset tersebut, kontribusi pasar saham di Indonesia terhadap PDB berada pada urutan paling buncit jika dibandingkan Thailand, Malaysia dan Filipina.
Begitu pula dengan pasar obligasi. Dari sisi jumlah emiten, jumlah emiten di pasar modal Indonesia tidak sebanyak emiten di pasar modal Thailand dan Malaysia. Jumlah emiten di BEI baru mencapai 540 perusahaan. Jumlah emiten di negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia jauh lebih banyak, seperti Thailand 1.400 perusahaan dan Malaysia 2.360 perusahaan.
Tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia juga terbilang rendah, baru mencapai 0,2% dari total populasi atau baru sekitar 450.000 investor. Bandingkan dengan India yang partisipasi investor ritelnya telah mencapai 2% dari total populasi. Riset yang dirilis September 2015 juga memaparkan bahwa instrumen investasi di Indonesia masih terbatas dan likuiditasnya rendah.
Likuiditas obligasi dan instrumen utang misalnya, baik obligasi pemerintah dan korporasi kurang likuid. Rasio turnover obligasi pemerintah pada 2013 lalu baru 23%, sedangkan obligasi korporasi baru 11%. Bandingkan dengan Filipina yang tingkat likuiditas obligasi pemerintahnya sudah 49% dan Thailand 60%.
Dalam riset itu juga disebutkan bahwa beberapa instrumen utang seperti floating rate bonds, inflation-linked bonds dan assetbacked securities, masih belum berkembang bahkan tidak ada di Indonesia.
Kajian Mandiri Institute dan Oliver Wyman juga mengungkapkan jika pendalaman sektor keuangan berhasil dilakukan dapat meningkatkan PDB Indonesia menjadi USD600 miliar pada 2030, dan kenaikan pemasukan per kapita sebesar 15%.
Jadi, ke depan pemerintah memang perlu melakukan pendalam pasar keuangan dan mendorong untuk menciptakan lebih banyak lagi produk-produk derivatif.
Obligasi BUMN
Pendalaman pasar keuangan tidaklah gampang dan bisa dilakukan secara instan. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Surat Berharga Negara (SBN) karena kapasitasnya pada tahun ini hanya Rp532 triliun.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah mendorong perusahaan-perusahaan dalam negeri menerbitkan obligasi, terutama perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang infrastruktur.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memperkirakan, investasi infrastruktur yang dibutuhkan oleh Indonesia selama rentang waktu 2010-2020 di atas USD450 miliar. Dengan menerbitkan obligasi, BUMN yang bergerak di infrastruktur bisa mendapatkan alternatif sumber pembiayaan selain dari sektor perbankan maupun pinjaman luar negeri.
Ide memanfaatkan modal ventura (venture capital) dalam menampung dana repatriasi tax amnesty bisa segera direalisasikan. Perusahaan modal ventura dapat membentuk ventura fund untuk menampung dana dari global. Salah satu sumber uangnya bisa dari repatriasi modal peserta yang ikut tax amnesty.
Mendatangkan dana ribuan triliun milik WNI dari luar negeri memang terbilang ambisius dan bukan perkara mudah. Namun, berapa pun dana yang akan terjaring dalam tax amnesty tak ada salahnya menyiapkan berbagai instrumen investasi agar tidak kehilangan kesempatan karena uangtidakmengenalagama, rasa atau kebangsaan.
Uang hanya mengenal profit (keuntungan). Itu sebabnya uang akan selalu mengalir ke tempat yang memberikan keuntungan.
EVI RATNASARI
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Strategic Finance Universitas Paramadina
Munculnya dokumen Panama Papers memperjelas banyak WNI yang menyimpan uangnya di luar negeri. Nilainya terbilang fantastis, mencapai ribuan triliun rupiah. Dalam dokumen yang dibocorkan oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu disebutkan, bukan hanya pengusaha Indonesia yang menyimpan uangnya di negeri suaka pajak Panama, tetapi juga pejabat pemerintah.
Menurut data Tax Justice Network 2010, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang memiliki aset keuangan terbesar di negara suaka pajak (tax haven). Lebih hebat lagi, Indonesia menempati posisi ke-9 dan merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara di daftar top-10 ini.
Jumlah aset dari Indonesia tercatat sebesar USD331 miliar atau setara Rp4.400 triliun dengan asumsi Rp13.300 per dolar AS. Menurut Kementerian Keuangan, dana WNI di luar negeri totalnya mencapai di atas produk domestik bruto (PDB) RI tahun 2015, yakni sekitar Rp11.541 triliun. Adapun, Bank Indonesia (BI) dalam kajiannya menyebutkan, dana WNI yang terparkir di luar negeri hanya Rp3.147 triliun.
Jika skema pengampunan pajak (tax amnesty) diberlakukan, BI memperkirakan potensi dana yang masuk sekitar Rp560 triliun. Dari jumlah tersebut, yang bisa masuk ke kas negara melalui pajak sekitar Rp45,7 triliun. (KORAN SINDO, 26/4) Jika UU tax amnesty berjalan, tantangan utamanya adalah masih ada tax haven di dunia internasional.
Namun, sudah ada langkah maju pemerintah karena Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) pada 2015 lalu. Negara- negara yang telah menandatangani MCAA, pada 2018 akan mulai menerapkan mekanisme Auto Exchange of Information (AEOI). AEOI adalah sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening keuangan secara global.
Melalui sistem AEOI, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan mudah melacak WNI yang menyembunyikan harta atau aset keuangannya di luar negeri. Jadi, bagi WNI yang selama ini menyembunyikan uang dan tidak berpartisipasi dalam program tax amnesty dapat dituntut secara kriminal paling lambat 2018.
Penerapan AEOI akan semakin mempersempit ruang gerak para pengemplang pajak. Sejauh ini MCAA telah ditandatangani oleh 61 negara/yurisdiksi, termasuk beberapa offshore financial center seperti Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Guernsey, Jersey, dan Mauritius.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas apakah tax amnesty dapat menjaring dana sebanyak Rp11.000 triliun (berdasarkan data Kementerian Keuangan) atau Rp3.147 triliun (hasil kajian BI). Saya akan fokus membahas sejauh mana kesiapan pasar keuangan dalam negeri menghadapi aliran dana pasca-pengampunan pajak.
Harus diingat, bagaimana pun dengan tax amnesty akan ada peluang mendatangkan uang ke dalam negeri dalam jumlah besar dan berefek berganda terhadap perekonomian. Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah bisa memanfaatkan peluang tersebut?
Dangkalnya Pasar Keuangan
Pemerintah dan industri jasa keuangan harus mengantisipasi dan menyiapkan instrumen keuangan yang memadai untuk menampung dana-dana yang selama ini tinggal di negeri surga pajak. Pasalnya, pasar keuangan di Indonesia bisa dibilang masih dangkal.
Dalam Riset Mandiri Institute dan Oliver Wyman disebutkan, selama 10-15 tahun terakhir Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan PDB riil mulai dari 4-6%. Namun, pengembangan pasar keuangan berjalan lambat. Pasar keuangan Indonesia relatif masih dangkal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Hal ini bisa terlihat dari rasio pasar saham terhadap PDB, volume obligasi korporasi dan pemerintah yang beredar terhadap PDB, serta pinjaman antar bank terhadap PDB. Menurut riset tersebut, kontribusi pasar saham di Indonesia terhadap PDB berada pada urutan paling buncit jika dibandingkan Thailand, Malaysia dan Filipina.
Begitu pula dengan pasar obligasi. Dari sisi jumlah emiten, jumlah emiten di pasar modal Indonesia tidak sebanyak emiten di pasar modal Thailand dan Malaysia. Jumlah emiten di BEI baru mencapai 540 perusahaan. Jumlah emiten di negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia jauh lebih banyak, seperti Thailand 1.400 perusahaan dan Malaysia 2.360 perusahaan.
Tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia juga terbilang rendah, baru mencapai 0,2% dari total populasi atau baru sekitar 450.000 investor. Bandingkan dengan India yang partisipasi investor ritelnya telah mencapai 2% dari total populasi. Riset yang dirilis September 2015 juga memaparkan bahwa instrumen investasi di Indonesia masih terbatas dan likuiditasnya rendah.
Likuiditas obligasi dan instrumen utang misalnya, baik obligasi pemerintah dan korporasi kurang likuid. Rasio turnover obligasi pemerintah pada 2013 lalu baru 23%, sedangkan obligasi korporasi baru 11%. Bandingkan dengan Filipina yang tingkat likuiditas obligasi pemerintahnya sudah 49% dan Thailand 60%.
Dalam riset itu juga disebutkan bahwa beberapa instrumen utang seperti floating rate bonds, inflation-linked bonds dan assetbacked securities, masih belum berkembang bahkan tidak ada di Indonesia.
Kajian Mandiri Institute dan Oliver Wyman juga mengungkapkan jika pendalaman sektor keuangan berhasil dilakukan dapat meningkatkan PDB Indonesia menjadi USD600 miliar pada 2030, dan kenaikan pemasukan per kapita sebesar 15%.
Jadi, ke depan pemerintah memang perlu melakukan pendalam pasar keuangan dan mendorong untuk menciptakan lebih banyak lagi produk-produk derivatif.
Obligasi BUMN
Pendalaman pasar keuangan tidaklah gampang dan bisa dilakukan secara instan. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Surat Berharga Negara (SBN) karena kapasitasnya pada tahun ini hanya Rp532 triliun.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah mendorong perusahaan-perusahaan dalam negeri menerbitkan obligasi, terutama perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang infrastruktur.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memperkirakan, investasi infrastruktur yang dibutuhkan oleh Indonesia selama rentang waktu 2010-2020 di atas USD450 miliar. Dengan menerbitkan obligasi, BUMN yang bergerak di infrastruktur bisa mendapatkan alternatif sumber pembiayaan selain dari sektor perbankan maupun pinjaman luar negeri.
Ide memanfaatkan modal ventura (venture capital) dalam menampung dana repatriasi tax amnesty bisa segera direalisasikan. Perusahaan modal ventura dapat membentuk ventura fund untuk menampung dana dari global. Salah satu sumber uangnya bisa dari repatriasi modal peserta yang ikut tax amnesty.
Mendatangkan dana ribuan triliun milik WNI dari luar negeri memang terbilang ambisius dan bukan perkara mudah. Namun, berapa pun dana yang akan terjaring dalam tax amnesty tak ada salahnya menyiapkan berbagai instrumen investasi agar tidak kehilangan kesempatan karena uangtidakmengenalagama, rasa atau kebangsaan.
Uang hanya mengenal profit (keuntungan). Itu sebabnya uang akan selalu mengalir ke tempat yang memberikan keuntungan.
EVI RATNASARI
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Strategic Finance Universitas Paramadina
(izz)