Saham Seumur Hidup

Senin, 15 Agustus 2016 - 06:02 WIB
Saham Seumur Hidup
Saham Seumur Hidup
A A A
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School


BURSA saham memang unik. Ada trader saham yang mengais remah-remah keuntungan dari bertransaksi saham secara jangka pendek.

Biasanya dalam waktu beberapa minggu, beberapa hari, bahkan beberapa jam. Ada pula investor saham dengan horizon investasi jangka panjang, minimal lima tahun atau satu siklus bisnis. Mereka menjalankan strategi buy and hold (beli dan simpan). Jumlahnya mungkin tidak sebanyak trader saham. Strategi buy and hold diyakini lebih rendah risikonya dibandingkan trading saham.

Seperti pesan Warren Buffett kepada para pemegang saham Berkshire Hathaway, perusahaan yang mayoritas sahamnya ia miliki, pada 1988, ”Our favorite holding period is forever ". Maklumlah, Buffett membeli saham dengan mind-set membeli sebuah bisnis.

Meminjam cara berpikir para pemilik bisnis keluarga, jika bisnis yang dimiliki bagus, mengapa harus dijual? Bukankah kita bisa menikmati pembagian dividen dan menikmati kenaikan harga saham?

Warren Buffett membeli saham Coca Cola senilai USD1 miliar pada 1988. Ia tidak pernah melepas saham tersebut hingga kini. Jangan pandang sebelah mata strategi buy and hold. Ambil contoh, jika kita membeli saham PT Astra Internasional Tbk 20 tahun silam, kita menikmati imbal hasil tahunan sebesar 17,5%. Ini belum memperhitungkan imbal hasil dividen yang sekitar 2%. Atau jika kita menyimpan saham PT HM Sampoerna Tbk selama 20 tahun terakhir, harga sahamnya tumbuh 21% per tahun, di luar dividen.

Hasil lebih maknyus jika kita memiliki saham penghasil produk bagi sejuta umat, PT Unilever Indonesia Tbk. Selama 20 tahun terakhir, harga saham Unilever tumbuh rata-rata 27,5% setahun. Belum puas? Jika kita beruntung menyimpan saham bank PT Bank Central Asia Tbk sejak IPO 16 tahun silam, kita menikmati keuntungan rata-rata 31% per tahun! Kita bisa menjadi pemegang saham dengan horizon jangka panjang.

Artinya, kita hanya akan menjual saham jika ada kebutuhan besar yang sudah direncanakan seperti mendanai pendidikan anak di luar negeri, menutup kebutuhan hidup saat pensiun, dan sebagainya. Bahkan kalau perlu, menjadi pemegang saham ”seumur hidup”, yakni membeli saham untuk diwariskan kepada anak.

Namun para pemegang saham jangka panjang maupun seumur hidup sebaiknya mempertimbangkan beberapa faktor saat berinvestasi di saham. Pertama, pastikan bahwa kita menggunakan dana bebas alias free cash flow, bukan dari utang yang waktu jatuh temponya pendek. Seberapa lama bebasnya dana tersebut tergantung pada perencanaan kebutuhan di masa mendatang. Misalnya, kita membutuhkan dana 20 tahun lagi saat kita mulai pensiun.

Kedua, daur hidup produk yang ditawarkan perusahaan. Apakah produk perusahaan masih dibutuhkan dalam jangka waktu panjang? Bandingkan produk mie instan yang ”kagak ade matinye ” dengan layanan pager (pembaca masih ingat?) yang usianya cuma seumur jagung. Atau, BlackBerry yang hanya moncer sesaat seperti bianglala.

Ketiga, apakah perusahaan memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage )? Apa yang dimiliki perusahaan, dan disukai pelanggan, namun tidak dimiliki oleh perusahaan pesaing?

Inilah yang, misalnya, membedakan Kentucky Fried Chicken dari penjual ayam goreng lainnya. Competitive advantage ini penting karena melindungi perusahaan dari kerasnya persaingan serta perubahan lingkungan bisnis. Ia menjaga pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan laba bersih pertumbuhan. Intinya, competitive advantage meningkatkan probabilitas sebuah perusahaan bisa panjang umur (sustainable). Keempat, aspek tata kelola sebuah perusahaan.

Percuma kita menyimpan saham perusahaan tersebut jika suatu ketika perusahaan bangkrut karena tata kelolanya buruk. Ambil contoh Lehman Brothers, perusahaan jasa keuangan global, yang terpaksa mati di usia 158 tahun karena manajemen mengabaikan prinsip tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance alias GCG). Dari sisi keuangan, corporate governance akan berdampak terhadap nilai perusahaan melalui biaya modal perusahaan.

Semakin bagus penerapan GCG, semakin rendah risiko yang dipersepsi oleh investor, semakin tinggi harga sahamnya. Kita bisa mencermati apakah perusahaan yang akan kita beli menjalankan prinsip-prinsip GCG seperti: transparansi, akuntanbilitas, responsibilitas, independen serta kewajaran dan kesetaraan. Jika perusahaan tersebut punya catatan jelek dalam praktik tata kelolanya, lupakan sahamnya.

Terakhir, apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnis (teknologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, selera konsumen dan kompetisi). Lihat nasib Nokia yang pernah begitu digjaya, atau Kodak yang kini sudah tiada. Memilih saham untuk investasi seumur hidup ibarat memilih pasangan hidup.

Dalam istilah Jawa, kita harus mempertimbangkan bibit (asal-usul), bebet (keluarga, lingkungan) dan bobot (kepribadian dan nilai-nilai yang dimiliki).
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0943 seconds (0.1#10.140)