Teori Keagenan dan GCG

Senin, 28 November 2016 - 06:04 WIB
Teori Keagenan dan GCG
Teori Keagenan dan GCG
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School,
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)


MEMBICARAKAN tata kelola korporasi (corporate governance) tidak bisa tidak harus mendiskusikan Theory of the Firm atau teori mengenai terbentuknya sebuah korporasi modern.

Sebuah perusahaan adalah organisasi yang melibatkan banyak pihak, manajer, karyawan, pelanggan, kreditor, pemasok dan, tentunya, investor. Karena masing-masing pihak memiliki kepentingan berbeda, timbul pertanyaan, perusahaan harus dijalankan atas dasar kepentingan siapa? Teori keuangan akan mengatakan sebuah perusahaan harus dijalankan atas dasar kepentingan pemegang saham.

Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan kemakmuran pemegang saham (shareholder wealth ). Menurut Contractual Theory dari Profesor Ronald Coase (1937), sebuah perusahaan adalah "a nexus of contracts" atau koneksi antara berbagai kontrak. Karyawan, investor, pemasok, dan pelanggan memilik firm specific assets (aset yang khusus terkait dengan perusahaan).

Misalnya, seorang karyawan bank memiliki keahlian khusus yang hanya dihargai di industri perbankan. Aset khusus ini harus dikumpulkan untuk membentuk sebuah aktivitas produktif bersama (perusahaan). Agar mereka bersedia menyerahkan firm specific assets bagi perusahaan, harus ada sistem yang melindungi mereka dari tindakan penyalahgunaan.

Mereka membutuhkan jaminan untuk menerima imbalan layak dan aset mereka tidak diambil alih. Misalnya, seorang karyawan dilindungi dengan kontrak kerja, pelanggan dilindungi dengan garansi, pemasok memiliki kontrak pembelian, kreditur memiliki surat perjanjian (indenture). Manajemen bertugas membuat kontrak-kontrak ini.

Namun, ada satu pihak yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni pemegang saham. Pemegang saham menyediakan dana bagi perusahaan seperti kreditur (bondholder). Bedanya, pemegang saham memiliki tanggung jawab paling besar di antara stakeholder sebuah perusahaan.

Mereka misalnya merupakan penerima sisa hasil usaha (residual claimant). Jika kreditur, karyawan, pemasok, dan pelanggan memiliki kemudahan untuk meninggalkan perusahaan, tidak demikian dengan kebanyakan pemegang saham.

Pemegang saham sering diasumsikan berinvestasi untuk seumur hidup dan sebagian besar kekayaannya tertanam di sebuah perusahaan saja (kurang terdiversifikasi). Karena itu, pemegang saham perlu tawaran imbal hasil yang menarik agar dia bersedia menanggung risiko yang lebih besar tersebut.

Salah satunya hak untuk mengelola perusahaan (control of the firm). Masalah timbul ketika pemegang saham perusahaan semakin banyak. Pembagian hak mengendalikan perusahaan menjadi tidak mudah.

Bayangkan apa jadinya jika ada 10.000 pemegang saham yang meminta peran aktif dalam mengelola perusahaan. Pemecahannya adalah mendelegasikan pengendalian perusahaan kepada agen profesional (manajemen). Ini disebut "separation of ownership and control", sebuah fenomena yang dikemukakan oleh Adolf Berle dan Gardner Means (1932) di Amerika Serikat.

Pemisahan kepemilikan dan kendali berpotensi menimbulkan benturan kepentingan antara pemegang saham (principal) dan manajemen (agent), yang sering disebut masalah keagenan (agency problem). Manajemen misalnya alih-alih bekerja untuk memaksimalkan kepentingan pemegang saham, justru berusaha memaksimalkan kepentingan diri sendiri.

Bukankah pemegang saham bisa membuat sebuah kontrak yang memaksa manajemen bekerja dengan benar? Secara teori sangat sulit membuat kontrak lengkap/sempurna seperti ini, apalagi mengawasi manajemen dalam menjalankan kontrak tersebut. Problem keagenan ini tidak muncul ketika sebuah perusahaan dimiliki hanya seorang investor yang sekaligus menjadi manajernya.

Menurut Profesor Michael Jensen dan William Meckling (1976), problem keagenan berpotensi menggerus nilai sebuah perusahaan. Problem keagenan merupakan akar permasalahan dalam kasus tata kelola perusahaan.

Ingat kasus Enron, sebuah perusahaan publik di Amerika Serikat, ketika manajemennya membohongi pemegang saham perusahaan bahwa keuangan perusahaan masih sehat dengan menggunakan permainan data akuntansi?

Jadi, dapat dikatakan bahwa corporate governance terkait erat dengan masalah keagenan. Isu corporate governance dipicu oleh problem keagenan. Maka itu, agenda utama corporate governance adalah bagaimana meminimalkan problem keagenan tersebut agar investor bersedia membeli saham perusahaan.

Masalah keagenan ini bisa diminimalkan jika pemegang saham memiliki cukup banyak saham perusahaan sehingga menjadi pemegang saham pengendali (controlling shareholder). Mereka kemudian berperan aktif dalam mengelola perusahaan sebagai direksi maupun komisaris.

Pada perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga, problem keagenan antara pemegang saham dan manajemen ini bisa diminimalkan karena anggota keluarga memimpin langsung perusahaan tersebut. Namun, bukan berarti masalah keagenan tamat sampai di sini.

Bukankah pemegang saham pengendali bisa bertindak semena-mena atas pemegang saham minoritas? Maka itu, lahirlah Problem Keagenan Tipe 2.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5809 seconds (0.1#10.140)