Kadin Minta Pemerintah Dukung Bisnis Komoditas Rumput Laut
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) menilai ada beberapa kebijakan road map pemerintah di sektor perikanan dan kelautan yang harus ditinjau ulang. Pasalnya, kebijakan itu kontra produktif bagi pengembangan sektor kelautan nasional, khususnya komoditas ekspor rumput laut.
“Kami berharap pemerintah mempercepat revisi semua peraturan yang menghambat pengembangan di sektor ini. Kami ingin pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan didukung proses kajian, melalui proses konsultasi publik, proses sinkronisasi peraturan dan juga sosialisasi yang baik,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam siaran pers di Jakarta, (10/1/2017).
Menurut Yugi, selama ini dunia usaha banyak menerima keluhan soal aturan yang dikeluarkan KKP yang kurang berpihak pada usaha penangkapan, unit pengolahan dan budidaya ikan dan tak terkecuali dari para pelaku usaha rumput laut.
Berkenaan hal tersebut, Kadin bidang Kelautan dan Perikanan mendesak pemerintah agar road map kelautan dan perikanan yang disusun pemerintah benar-benar memperhatikan kajian mendalam terhadap suatu komoditas agar bisa diterapkan dengan baik di lapangan.
Di tempat yang sama, Ketua ARLI Safari Azis menjelaskan bahwa komoditas rumput laut memiliki karakteristik tersendiri jika dilihat dari rantai produksinya, rantai nilai hingga proses pemasarannya.
“Kami ingin pengetahuan rumput laut ini dipahami semua pihak. Rumput laut memiliki berbagai macam jenis, sehingga sebagai bahan baku pun akan sangat beragam. Sebelum dapat digunakan industri pengguna, rumput laut harus masuk terlebih dahulu ke industri pengolah yang mengolah bahan baku menjadi carrageenan atau agar-agar. Setelah itu, masuk kepada industri formulasi, kemudian dapat digunakan industri pengguna dengan produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lainnya,” jelas Safari.
Dia mengatakan, ketidaksiapan industri pengolah bahan baku yang ada di Indonesia untuk menyerap rumput laut lokal, menjadi persoalan tersendiri. Jika pemerintah ingin mendorong tumbuh dan berkembangnya industri dalam negeri serta mendapatkan nilai tambah perlu dibuat persiapan secara matang. Terutama dalam hal daya saing dan pasar karena pasar rumput laut dan hasil olahannya lebih banyak berada di luar negeri.
Selain itu, lanjut dia, industri formulasi yang ada di Indonesia masih sedikit. Sementara rumput laut sebelum masuk ke industri pembuat produk harus melalui industri formulasi terlebih dahulu. Karena di tahap ini akan ditentukan pasar dan penggunaannya, hal ini berkaitan dengan pembuatan produk yang akan dibuat serta berapa banyak kebutuhan itu.
“Industri formulasi dan industri pengguna dengan bahan hasil olahan rumput laut banyak terdapat di luar negeri. Industri ini melibatkan riset dan pengembangan serta penggunaan teknologi yang tepat. Penyerapan dalam negeri rendah sementara produksi rumput laut kita melimpah. Seharusnya pemerintah tidak harus membatasi atau mengenakan bea keluar ekspor bahan baku rumput laut,” ujar Safari.
Dia mengatakan, selain berupaya mengembangkan hilirisasi untuk rumput laut, sebaiknya pemerintah memperhatikan aspek pengembangan di hulu yang terus digenjot produksinya dan tidak mengorbankan nasib para petani pembudidaya rumput laut, menjaga stabilitas pendapatan dan perekonomian masyarakat pesisir dan pulau-pulau serta perolehan devisa negara.
“Di sektor hilir penyerapannya masih rendah dan biasanya membeli dengan harga pembelian yang kurang bersaing. Sementara pihak asing bisa menyiapkan cara pembayaran yang efektif dengan harga yang kompetitif dan menguntungkan para petani,” ungkap Safari.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, sektor hulu rumput laut menyumbang devisa lebih besar daripada hilirnya, yakni mencapai 78% ekspor dengan nilai USD160.408.809 sedangkan hilir hanya mencapai 22% ekspor dengan nilai USD45.056.021.
Mengenai nilai tambah, kata Safari, sebenarnya dari hulu para petani juga memperhatikan hal tersebut mulai dari pembibitannya, penggunaan teknologi budi daya, penempatan lokasi budidaya yang tepat serta menjaga kualitas bahan baku rumput laut yang dihasilkan demikian halnya dalam teknik pemeliharaan, tahapan panen dan pasca panen.
“Sebelum sampai ke tingkat pedagang hingga ke tingkat pengolah, para petani sudah terlebih dahulu menjaga nilai tambah, apalagi yang berorientasi ekspor tentu harus menjaga hasil panennya. Jadi, pemerintah dalam hal membuat road map jangan sampai hanya mengedepankan larangan atau hambatan lain terhadap ekspor bahan baku rumput laut,” pungkas Safari.
“Kami berharap pemerintah mempercepat revisi semua peraturan yang menghambat pengembangan di sektor ini. Kami ingin pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan didukung proses kajian, melalui proses konsultasi publik, proses sinkronisasi peraturan dan juga sosialisasi yang baik,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam siaran pers di Jakarta, (10/1/2017).
Menurut Yugi, selama ini dunia usaha banyak menerima keluhan soal aturan yang dikeluarkan KKP yang kurang berpihak pada usaha penangkapan, unit pengolahan dan budidaya ikan dan tak terkecuali dari para pelaku usaha rumput laut.
Berkenaan hal tersebut, Kadin bidang Kelautan dan Perikanan mendesak pemerintah agar road map kelautan dan perikanan yang disusun pemerintah benar-benar memperhatikan kajian mendalam terhadap suatu komoditas agar bisa diterapkan dengan baik di lapangan.
Di tempat yang sama, Ketua ARLI Safari Azis menjelaskan bahwa komoditas rumput laut memiliki karakteristik tersendiri jika dilihat dari rantai produksinya, rantai nilai hingga proses pemasarannya.
“Kami ingin pengetahuan rumput laut ini dipahami semua pihak. Rumput laut memiliki berbagai macam jenis, sehingga sebagai bahan baku pun akan sangat beragam. Sebelum dapat digunakan industri pengguna, rumput laut harus masuk terlebih dahulu ke industri pengolah yang mengolah bahan baku menjadi carrageenan atau agar-agar. Setelah itu, masuk kepada industri formulasi, kemudian dapat digunakan industri pengguna dengan produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lainnya,” jelas Safari.
Dia mengatakan, ketidaksiapan industri pengolah bahan baku yang ada di Indonesia untuk menyerap rumput laut lokal, menjadi persoalan tersendiri. Jika pemerintah ingin mendorong tumbuh dan berkembangnya industri dalam negeri serta mendapatkan nilai tambah perlu dibuat persiapan secara matang. Terutama dalam hal daya saing dan pasar karena pasar rumput laut dan hasil olahannya lebih banyak berada di luar negeri.
Selain itu, lanjut dia, industri formulasi yang ada di Indonesia masih sedikit. Sementara rumput laut sebelum masuk ke industri pembuat produk harus melalui industri formulasi terlebih dahulu. Karena di tahap ini akan ditentukan pasar dan penggunaannya, hal ini berkaitan dengan pembuatan produk yang akan dibuat serta berapa banyak kebutuhan itu.
“Industri formulasi dan industri pengguna dengan bahan hasil olahan rumput laut banyak terdapat di luar negeri. Industri ini melibatkan riset dan pengembangan serta penggunaan teknologi yang tepat. Penyerapan dalam negeri rendah sementara produksi rumput laut kita melimpah. Seharusnya pemerintah tidak harus membatasi atau mengenakan bea keluar ekspor bahan baku rumput laut,” ujar Safari.
Dia mengatakan, selain berupaya mengembangkan hilirisasi untuk rumput laut, sebaiknya pemerintah memperhatikan aspek pengembangan di hulu yang terus digenjot produksinya dan tidak mengorbankan nasib para petani pembudidaya rumput laut, menjaga stabilitas pendapatan dan perekonomian masyarakat pesisir dan pulau-pulau serta perolehan devisa negara.
“Di sektor hilir penyerapannya masih rendah dan biasanya membeli dengan harga pembelian yang kurang bersaing. Sementara pihak asing bisa menyiapkan cara pembayaran yang efektif dengan harga yang kompetitif dan menguntungkan para petani,” ungkap Safari.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, sektor hulu rumput laut menyumbang devisa lebih besar daripada hilirnya, yakni mencapai 78% ekspor dengan nilai USD160.408.809 sedangkan hilir hanya mencapai 22% ekspor dengan nilai USD45.056.021.
Mengenai nilai tambah, kata Safari, sebenarnya dari hulu para petani juga memperhatikan hal tersebut mulai dari pembibitannya, penggunaan teknologi budi daya, penempatan lokasi budidaya yang tepat serta menjaga kualitas bahan baku rumput laut yang dihasilkan demikian halnya dalam teknik pemeliharaan, tahapan panen dan pasca panen.
“Sebelum sampai ke tingkat pedagang hingga ke tingkat pengolah, para petani sudah terlebih dahulu menjaga nilai tambah, apalagi yang berorientasi ekspor tentu harus menjaga hasil panennya. Jadi, pemerintah dalam hal membuat road map jangan sampai hanya mengedepankan larangan atau hambatan lain terhadap ekspor bahan baku rumput laut,” pungkas Safari.
(ven)