Pengamat Nilai Aturan Baru Soal Aset BUMN Cacat Hukum
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada Tri Widodo menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sarat akan kecacatan hukum.
Dia menilai, aturan baru yang berlaku sejak 30 Desember 2016 ini dinilai sangat berbahaya karena salah satunya pemindahan atau penjualan aset negara menjadi sangat mudah tanpa pengawasan DPR. Menurutnya, pemerintah terkesan meninggalkan peran DPR sebagai wakil rakyat.
"PP 72 ini kalau saya boleh katakan, cacat hukum dan sangat berbahaya, aset negara bisa diperdagangkan dengan mudahnya berdasarkan ketentuan perusahaan," kata dia dalam rilisnya kepada SINDOnews, Jakarta, Senin (16/1/2017).
Menurutnya, pemerintah terkesan terburu-buru dan tidak cerdas dalam mengambil keputusan dalam pembuatan beleid ini. Pemerintah juga dinilai terkesan memihak pada kepentingan tertentu, salah satunya holding BUMN yang saat ini masih menjadi topik pembahasan antara pemerintah dan parlemen.
"Pemerintah kan menghendaki untuk holding, itu sebetulnya sah-sah saja untuk holdingnya, tapi kalau caranya demikian, dengan PP 72 tadi, ini terkesan memaksakan memang," imbuhnya.
Dalam PP tersebut, tertulis di Pasal 2A yakni bahwa penyertaan modal negara (PMN) yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Tidak masuk akal jika mekanisme penyertaan modal negara dari APBN tidak memerlukan mekanisme APBN. Ini jelas melanggar dan bertentangan, sehingga pemerintah harus berpikir matang-matang mengenai pelaksanaan PP ini," tutur dia.
Tri menegaskan, jangan sampai ada BUMN yang nantinya jadi milik swasta atau asing akibat pemerintah tidak meminta pertimbangan DPR, dan mengabaikan mekanisme APBN terhadap penyertaan modal tersebut. Contohnya, kasus Indosat dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
"Harus saya akui, seperti kedua contoh perusahaan dengan aset besar tersebut (Indosat dan Semen Indonesia) yang menjadi korbannya akibat dengan mudahnya aset BUMN dijual tanpa persetujuan dari DPR. Maka jika PP ini dilanjutkan, akan semakin banyak perusahaan yang bernasib sama dengan dua perusahaan tersebut," ujar Tri.
Dia menilai, aturan baru yang berlaku sejak 30 Desember 2016 ini dinilai sangat berbahaya karena salah satunya pemindahan atau penjualan aset negara menjadi sangat mudah tanpa pengawasan DPR. Menurutnya, pemerintah terkesan meninggalkan peran DPR sebagai wakil rakyat.
"PP 72 ini kalau saya boleh katakan, cacat hukum dan sangat berbahaya, aset negara bisa diperdagangkan dengan mudahnya berdasarkan ketentuan perusahaan," kata dia dalam rilisnya kepada SINDOnews, Jakarta, Senin (16/1/2017).
Menurutnya, pemerintah terkesan terburu-buru dan tidak cerdas dalam mengambil keputusan dalam pembuatan beleid ini. Pemerintah juga dinilai terkesan memihak pada kepentingan tertentu, salah satunya holding BUMN yang saat ini masih menjadi topik pembahasan antara pemerintah dan parlemen.
"Pemerintah kan menghendaki untuk holding, itu sebetulnya sah-sah saja untuk holdingnya, tapi kalau caranya demikian, dengan PP 72 tadi, ini terkesan memaksakan memang," imbuhnya.
Dalam PP tersebut, tertulis di Pasal 2A yakni bahwa penyertaan modal negara (PMN) yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Tidak masuk akal jika mekanisme penyertaan modal negara dari APBN tidak memerlukan mekanisme APBN. Ini jelas melanggar dan bertentangan, sehingga pemerintah harus berpikir matang-matang mengenai pelaksanaan PP ini," tutur dia.
Tri menegaskan, jangan sampai ada BUMN yang nantinya jadi milik swasta atau asing akibat pemerintah tidak meminta pertimbangan DPR, dan mengabaikan mekanisme APBN terhadap penyertaan modal tersebut. Contohnya, kasus Indosat dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
"Harus saya akui, seperti kedua contoh perusahaan dengan aset besar tersebut (Indosat dan Semen Indonesia) yang menjadi korbannya akibat dengan mudahnya aset BUMN dijual tanpa persetujuan dari DPR. Maka jika PP ini dilanjutkan, akan semakin banyak perusahaan yang bernasib sama dengan dua perusahaan tersebut," ujar Tri.
(izz)