Soal Pengalihan Aset BUMN, DPR Tegaskan Pemerintah Wajib Lapor
A
A
A
JAKARTA - Pengalihan aset negara termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ditegaskan oleh Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng sudah seharusnya pemerintah wajib hukumnya lapor ke DPR untuk meminta persetujuan. Pernyataan ini respons dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
"Komisi XI berpandangan apapun bunyi PP terbaru selama dia berhubungan dengan keuangan negara harus dibahas di Komisi XI. BUMN itu kan milik menteri keuangan. Nah kalau menteri keuangan melakukan penjualan, pengalihan aset harus lapor ke komisi XI dan meminta persetujuan itu intinya," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Dia mengaku, pihaknya akan meminta penjelasan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengenai alasan diterbitkannya beleid tersebut. "Pokoknya kita mengacu kepada keuangan negara. Mereka jual aset, alihkan aset intinya ada perpindahan kita harus dilaporkan. Kita bisa panggil mereka. Kita akan raker sama menteri keuangan. Kita tanyakan," imbuh dia.
Ekonom Dradjad Harry Wibowo berpandangan sesuai dengan UU 1/2004, jelas disebutkan bahwa pengelolaan investasi negara termasuk dalam perbendaharaan negara. Jadi saham pemerintah pusat di BUMN, BUMD maupun swasta termasuk dalam perbendaharaan negara.
Sedangkan Pasal 1 UU tersebut menyebut bahwa yang dimaksud dengan perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. "Ringkasnya, saham pemerintah di BUMN adalah bagian dari perbendaharaan negara, yang ditetapkan dalam APBN," tuturnya.
Selain itu, sambung Dradjad, saat ini sudah tidak boleh lagi ada pos atau kekayaan yang sifatnya non-bujeter atau di luar APBN seperti pada masa Orde Baru. Praktek non-bujeter ini menjadi sumber KKN sistemik dan masif. "PP 72 tersebut mengembalikan lagi pos dan transaksi non-bujeter. Artinya PP 72 membuka kembali peluang KKN yang sistemik dan masif," papar dia.
"Komisi XI berpandangan apapun bunyi PP terbaru selama dia berhubungan dengan keuangan negara harus dibahas di Komisi XI. BUMN itu kan milik menteri keuangan. Nah kalau menteri keuangan melakukan penjualan, pengalihan aset harus lapor ke komisi XI dan meminta persetujuan itu intinya," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Dia mengaku, pihaknya akan meminta penjelasan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengenai alasan diterbitkannya beleid tersebut. "Pokoknya kita mengacu kepada keuangan negara. Mereka jual aset, alihkan aset intinya ada perpindahan kita harus dilaporkan. Kita bisa panggil mereka. Kita akan raker sama menteri keuangan. Kita tanyakan," imbuh dia.
Ekonom Dradjad Harry Wibowo berpandangan sesuai dengan UU 1/2004, jelas disebutkan bahwa pengelolaan investasi negara termasuk dalam perbendaharaan negara. Jadi saham pemerintah pusat di BUMN, BUMD maupun swasta termasuk dalam perbendaharaan negara.
Sedangkan Pasal 1 UU tersebut menyebut bahwa yang dimaksud dengan perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. "Ringkasnya, saham pemerintah di BUMN adalah bagian dari perbendaharaan negara, yang ditetapkan dalam APBN," tuturnya.
Selain itu, sambung Dradjad, saat ini sudah tidak boleh lagi ada pos atau kekayaan yang sifatnya non-bujeter atau di luar APBN seperti pada masa Orde Baru. Praktek non-bujeter ini menjadi sumber KKN sistemik dan masif. "PP 72 tersebut mengembalikan lagi pos dan transaksi non-bujeter. Artinya PP 72 membuka kembali peluang KKN yang sistemik dan masif," papar dia.
(akr)