Pembangkit Listrik Diminta Tak Lagi Pakai Solar
A
A
A
JAKARTA - Penggunaan bahan bakar solar melalui Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menurut pengamat ekonomi energi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, tidak efisien dan sudah seharusnya ditinggalkan. Dia menyarankan harus ada konversi segera penggunaan solar ke bahan bakar yang lebih murah, efisien, bersih, dan ramah lingkungan.
"Faktanya, penggunaan solar sangat mahal dan tidak efisien. Solar lebih mahal dari gas dan batu bara. Lihat saja, perbandingan harga solar, gas, dan batu bara. Hanya saja, tentu kita juga tidak ingin penggunaan batu bara, karena tidak ramah lingkungan,” kata Salamuddin di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Terkait hal itu, dia meminta perusahaan BUMN untuk tidak lagi mempertahankan solar. “Harus diakhiri permainan-permainan di dalamnya yang masih mempertahankan solar. Karena ini melibatkan kontrak- kontrak pembelian bahan bakar,” ujarnya.
Berbagai permainan tersebut, menurut Salamudin, membuat perusahan pelat merah tidak memiliki rencana yang begitu baik untuk mengubah pemakaian solar ke bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. “Ini masalah direksi, pejabat di dalam endiri yang memang harus berubah paradigmanya,” lanjut dia.
Menurutnya mempertahankan bahan bakar yang mahal dan juga tidak ramah lingkungan, membuat perusahaan tidak efisien. Termasuk pemerintah, Kementerian ESDM, dan SKK Migas, untuk memprioritaskan pembangunan pembangunan energi dalam negeri, yaitu dengan memprioritaskan pasokan gas kepada PLN.
Dalam konteks ini, dia tidak menutup mata terhadap pendapat, jika PLN bisa melakukan konversi dari solar ke gas, maka dapat menghemat Rp100 triliun. Perhitungan dan kalkulasi tersebut, menurutnya harus diapresiasi. Sebab, hitung-hitungan itu memberi ukuran yang sangat nyata mengenai kondisi inefisieni pada PLN akibat mereka terus mempertahankan penggunaan solar.
Ditegaskan olehnya tidak kalah penting, adalah menentukan strategi jangka panjang konversi solar ke bahan bakar yang ramah lingkungan dan murah. Karena melalui strategi tersebut, kepastian pasokan lebih bisa terjamin. Dan pada akhirnya, strategi tersebut akan berdampak positif pada dampaknya kepada harga jual listrik yang bisa lebih murah. “Strategi itu juga juga berdampak kepada industri dan barang-barang yang juga bisa diukur,” imbuhnya.
Penggunaan gas sebagai bahan bakar pengganti, menurut Salamuddin memang harus menjadi fokus semua pihak. Apalagi, lanjutnya, karena gas sudah setara dengan 1,5 juta barel minyak per hari. Gas, kata dia jauh lebih murah, dan sekarang sudah mencapai USD3-4 per mmbtu. Melalui konversi solar ke gas, dirinya yakin akan menjadi solusi terhadap berbagai persoalan energi dalam negeri saat ini. Selain gas, Salamuddin juga menyebut panas bumi sebagai energi masa depan yang bisa sangat mungkin dikembangkan.
"Faktanya, penggunaan solar sangat mahal dan tidak efisien. Solar lebih mahal dari gas dan batu bara. Lihat saja, perbandingan harga solar, gas, dan batu bara. Hanya saja, tentu kita juga tidak ingin penggunaan batu bara, karena tidak ramah lingkungan,” kata Salamuddin di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Terkait hal itu, dia meminta perusahaan BUMN untuk tidak lagi mempertahankan solar. “Harus diakhiri permainan-permainan di dalamnya yang masih mempertahankan solar. Karena ini melibatkan kontrak- kontrak pembelian bahan bakar,” ujarnya.
Berbagai permainan tersebut, menurut Salamudin, membuat perusahan pelat merah tidak memiliki rencana yang begitu baik untuk mengubah pemakaian solar ke bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. “Ini masalah direksi, pejabat di dalam endiri yang memang harus berubah paradigmanya,” lanjut dia.
Menurutnya mempertahankan bahan bakar yang mahal dan juga tidak ramah lingkungan, membuat perusahaan tidak efisien. Termasuk pemerintah, Kementerian ESDM, dan SKK Migas, untuk memprioritaskan pembangunan pembangunan energi dalam negeri, yaitu dengan memprioritaskan pasokan gas kepada PLN.
Dalam konteks ini, dia tidak menutup mata terhadap pendapat, jika PLN bisa melakukan konversi dari solar ke gas, maka dapat menghemat Rp100 triliun. Perhitungan dan kalkulasi tersebut, menurutnya harus diapresiasi. Sebab, hitung-hitungan itu memberi ukuran yang sangat nyata mengenai kondisi inefisieni pada PLN akibat mereka terus mempertahankan penggunaan solar.
Ditegaskan olehnya tidak kalah penting, adalah menentukan strategi jangka panjang konversi solar ke bahan bakar yang ramah lingkungan dan murah. Karena melalui strategi tersebut, kepastian pasokan lebih bisa terjamin. Dan pada akhirnya, strategi tersebut akan berdampak positif pada dampaknya kepada harga jual listrik yang bisa lebih murah. “Strategi itu juga juga berdampak kepada industri dan barang-barang yang juga bisa diukur,” imbuhnya.
Penggunaan gas sebagai bahan bakar pengganti, menurut Salamuddin memang harus menjadi fokus semua pihak. Apalagi, lanjutnya, karena gas sudah setara dengan 1,5 juta barel minyak per hari. Gas, kata dia jauh lebih murah, dan sekarang sudah mencapai USD3-4 per mmbtu. Melalui konversi solar ke gas, dirinya yakin akan menjadi solusi terhadap berbagai persoalan energi dalam negeri saat ini. Selain gas, Salamuddin juga menyebut panas bumi sebagai energi masa depan yang bisa sangat mungkin dikembangkan.
(akr)