Learning by Fear
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
SUDAH tiga tahun ini saya menekuni metode pembelajaran untuk membentuk jiwa entrepreneurship, khususnya di usia dini (anak SMPSMA). Ya, karena selama itu saya sedang menggodok konsep, metode pembelajaran, dan silabus untuk Creator School yang kick-off pekan lalu.
Creator School mempersiapkan anak-anak di level SMP-SMA untuk menjadi entrepreneur (saya menyebutnya “generasi pencipta”) melalui pendekatan project-based. Artinya, mereka menjalankan project riil berupa produk, layanan, atau social movement, selama 12 minggu proses pembelajaran. Saya pelajari metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga pembentukan inovator/entrepreneur top di dunia seperti di d-school (Stanford University), di IDEO, atau di Pixar.
Dari telusuran tersebut saya menyimpulkan dua hal penting. Pertama, si anak didik harus menjalankan project secara riil di mana ia betul-betul mencari dan menemukan ide produk, menguji kelayakannya dengan melakukan survei ke konsumen, merancang prototipe produk, memproduksi, dan akhirnya memasarkannya. Hal itu harus dilakukan secara riil dalam bentuk project, bukan sebatas simulasi. Si anak didik diberi modal (bukan duit monopoli) untuk merealisasikan idenya dan mereka take risk secara riil terhadap keberhasilan dan kegagalan project mereka.
Dengan begitu, si anak didik akan dipacu adrenalinnya. Kalau simulasi, mana ada adrenalin? Mana ada degdegannya? Inilah yang disebut engaging based learning atau experience-based learning. Si anak didik merasakan dan mengalami secara langsung kegagalan dan kesuksesan dalam menyelesaikan project.
Motivasi Intrinsik
Kedua, motivasi belajar haruslah datang dari dalam diri si anak didik. Istilah kerennya motivasi intrinsik (intrinsic motivation). Artinya, dari awal si anak didik punya keinginan dan passion luar biasa untuk menjadi entrepreneur. Tantangannya, bagaimana menciptakan motivasi intrinsik ini di kalangan anak didik. Dalam kasus Creator School, misalnya, mereka melalui 12 minggu program yang dalam kurun waktu itu mereka harus bisa mewujudkan sebuah produk riil yang bisa dijual ke konsumen.
Untuk bisa mewujudkannya, dibutuhkan perjuangan, keuletan, dan daya tahan luar biasa. Nah, kalau mereka tidak passionate dalam melakukannya maka dia akan gampang menyerah. Ingat, modal dasar seorang entrepreneur adalah semangat yang menyala-nyala. Kalau motivasinya tidak datang dari dalam (intrinsik) si anak didik, maka mereka pasti sulit menuntaskan project, karena kesulitan demi kesulitan; kegagalan demi kegagalan, bakal mereka hadapi.
Motivasi intrinsiklah yang memungkinkan si anak didik memiliki energi yang tak ada habisnya dan semangat yang terus menggelora. Kesulitan demi kesulitan, kegagalan demi kegagalan, bukannya membuat mereka loyo, tapi justru semakin strong. Kesulitan dan kegagalan itu justru menjadi “vitamin” untuk menuntaskan project. Kesulitan dan kegagalan inilah sesungguhnya pelajaran paling berharga bagi si anak didik sebelum mereka terjun langsung menjadi entrepreneur.
Belajar Penuh Ketakutan
Berbicara mengenai motivasi intrinsik, saya jadi berkaca pada proses pembelajaran yang saya alami sejak SD hingga kuliah. Sistem pendidikan konvensional yang saya alami (dan dialami praktis oleh semua anak Indonesia) menekankan pentingnya nilai ujian/rapor. Karena itu motivasi utama dan satu-satunya belajar adalah mendapatkan nilai rapor yang tinggi. Iming-imingnya tidak main-main lho.
Kalau nilai rapornya bagus maka saya akan diterima di SMP favorit, SMA favorit, atau universitas favorit. Itu iming-iming jangka panjang. Iming-iming jangka pendeknya: “Le, nanti kalau nilai rapor kamu 10 semua, bapak akan belikan kamu sepeda,” begitu kata bapak saya kala itu. Saya, misalnya, paling benci pelajaran kimia, tapi demi nilai rapor bagus dan sepeda baru, saya terpaksa belajar habis- habisan mata pelajaran ini. Karena minat saya bukan di situ, saya belajar kimia dengan “penuh keterpaksaan” dan “penuh ketakutan”.
Momok nilai rapor yang jeblok (dan marah dari bapak) begitu menghantui proses belajar saya, hingga tak jarang terbawa hingga ke mimpi). Jalan pintasnya adalah ikut bimbingan tes dengan mengulangulang soal multiple choice hingga hafal. Alih-alih “learning by passion“, apa yang saya alami adalah “learning by fear“. Alih-alih didorong motivasi intrinsik, proses belajar saya dilandasi motivasi ekstrinsik yang begitu menakutkan, yaitu nilai rapor. Dengan begitu, saya tak menemukan chemistry dengan apa yang saya pelajari. Saya tak merasakan engagement dan connection dengan apa yang saya pelajari.
Learning becomes so boring. Learning becomes so fearful. Dengan perjuangan hebat hingga jungkir-balik, apakah nilai saya menjadi bagus? Tidak! Ya, karena saya tak menyukainya. Hati saya tidak hadir di situ. Total jenderal hampir 20 tahun(dari SD hingga lulus kuliah) saya mengalami learning by fear semacam itu. Saya menemukan bidang yang sungguh saya sukai dan cintai, serta mengalami learning by passion, justru saat saya selesai kuliah.
Celakanya, saya menikmati learning by passion bukan melalui sekolah formal/ konvensional, tapi melalui self-learning hingga detik ini. Mari kita hentikan learning by fear pada anak-anak kita. Agar apa yang saya alami tidak terjadi pada anak-anak kita, sekarang dan ke depan.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
SUDAH tiga tahun ini saya menekuni metode pembelajaran untuk membentuk jiwa entrepreneurship, khususnya di usia dini (anak SMPSMA). Ya, karena selama itu saya sedang menggodok konsep, metode pembelajaran, dan silabus untuk Creator School yang kick-off pekan lalu.
Creator School mempersiapkan anak-anak di level SMP-SMA untuk menjadi entrepreneur (saya menyebutnya “generasi pencipta”) melalui pendekatan project-based. Artinya, mereka menjalankan project riil berupa produk, layanan, atau social movement, selama 12 minggu proses pembelajaran. Saya pelajari metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga pembentukan inovator/entrepreneur top di dunia seperti di d-school (Stanford University), di IDEO, atau di Pixar.
Dari telusuran tersebut saya menyimpulkan dua hal penting. Pertama, si anak didik harus menjalankan project secara riil di mana ia betul-betul mencari dan menemukan ide produk, menguji kelayakannya dengan melakukan survei ke konsumen, merancang prototipe produk, memproduksi, dan akhirnya memasarkannya. Hal itu harus dilakukan secara riil dalam bentuk project, bukan sebatas simulasi. Si anak didik diberi modal (bukan duit monopoli) untuk merealisasikan idenya dan mereka take risk secara riil terhadap keberhasilan dan kegagalan project mereka.
Dengan begitu, si anak didik akan dipacu adrenalinnya. Kalau simulasi, mana ada adrenalin? Mana ada degdegannya? Inilah yang disebut engaging based learning atau experience-based learning. Si anak didik merasakan dan mengalami secara langsung kegagalan dan kesuksesan dalam menyelesaikan project.
Motivasi Intrinsik
Kedua, motivasi belajar haruslah datang dari dalam diri si anak didik. Istilah kerennya motivasi intrinsik (intrinsic motivation). Artinya, dari awal si anak didik punya keinginan dan passion luar biasa untuk menjadi entrepreneur. Tantangannya, bagaimana menciptakan motivasi intrinsik ini di kalangan anak didik. Dalam kasus Creator School, misalnya, mereka melalui 12 minggu program yang dalam kurun waktu itu mereka harus bisa mewujudkan sebuah produk riil yang bisa dijual ke konsumen.
Untuk bisa mewujudkannya, dibutuhkan perjuangan, keuletan, dan daya tahan luar biasa. Nah, kalau mereka tidak passionate dalam melakukannya maka dia akan gampang menyerah. Ingat, modal dasar seorang entrepreneur adalah semangat yang menyala-nyala. Kalau motivasinya tidak datang dari dalam (intrinsik) si anak didik, maka mereka pasti sulit menuntaskan project, karena kesulitan demi kesulitan; kegagalan demi kegagalan, bakal mereka hadapi.
Motivasi intrinsiklah yang memungkinkan si anak didik memiliki energi yang tak ada habisnya dan semangat yang terus menggelora. Kesulitan demi kesulitan, kegagalan demi kegagalan, bukannya membuat mereka loyo, tapi justru semakin strong. Kesulitan dan kegagalan itu justru menjadi “vitamin” untuk menuntaskan project. Kesulitan dan kegagalan inilah sesungguhnya pelajaran paling berharga bagi si anak didik sebelum mereka terjun langsung menjadi entrepreneur.
Belajar Penuh Ketakutan
Berbicara mengenai motivasi intrinsik, saya jadi berkaca pada proses pembelajaran yang saya alami sejak SD hingga kuliah. Sistem pendidikan konvensional yang saya alami (dan dialami praktis oleh semua anak Indonesia) menekankan pentingnya nilai ujian/rapor. Karena itu motivasi utama dan satu-satunya belajar adalah mendapatkan nilai rapor yang tinggi. Iming-imingnya tidak main-main lho.
Kalau nilai rapornya bagus maka saya akan diterima di SMP favorit, SMA favorit, atau universitas favorit. Itu iming-iming jangka panjang. Iming-iming jangka pendeknya: “Le, nanti kalau nilai rapor kamu 10 semua, bapak akan belikan kamu sepeda,” begitu kata bapak saya kala itu. Saya, misalnya, paling benci pelajaran kimia, tapi demi nilai rapor bagus dan sepeda baru, saya terpaksa belajar habis- habisan mata pelajaran ini. Karena minat saya bukan di situ, saya belajar kimia dengan “penuh keterpaksaan” dan “penuh ketakutan”.
Momok nilai rapor yang jeblok (dan marah dari bapak) begitu menghantui proses belajar saya, hingga tak jarang terbawa hingga ke mimpi). Jalan pintasnya adalah ikut bimbingan tes dengan mengulangulang soal multiple choice hingga hafal. Alih-alih “learning by passion“, apa yang saya alami adalah “learning by fear“. Alih-alih didorong motivasi intrinsik, proses belajar saya dilandasi motivasi ekstrinsik yang begitu menakutkan, yaitu nilai rapor. Dengan begitu, saya tak menemukan chemistry dengan apa yang saya pelajari. Saya tak merasakan engagement dan connection dengan apa yang saya pelajari.
Learning becomes so boring. Learning becomes so fearful. Dengan perjuangan hebat hingga jungkir-balik, apakah nilai saya menjadi bagus? Tidak! Ya, karena saya tak menyukainya. Hati saya tidak hadir di situ. Total jenderal hampir 20 tahun(dari SD hingga lulus kuliah) saya mengalami learning by fear semacam itu. Saya menemukan bidang yang sungguh saya sukai dan cintai, serta mengalami learning by passion, justru saat saya selesai kuliah.
Celakanya, saya menikmati learning by passion bukan melalui sekolah formal/ konvensional, tapi melalui self-learning hingga detik ini. Mari kita hentikan learning by fear pada anak-anak kita. Agar apa yang saya alami tidak terjadi pada anak-anak kita, sekarang dan ke depan.
(dmd)