Belajar Value Investing 2.0

Senin, 13 Februari 2017 - 05:30 WIB
Belajar Value Investing 2.0
Belajar Value Investing 2.0
A A A
SYAHDAN, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank.

Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses, dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Ciaaaaat!

Jakarta, pertengahan Mei 1998. Gelombang kerusuhan rasial, krisis finansial dan gejolak politik menghanyutkan harga-harga saham di Bursa Efek Jakarta ke titik terendah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun sekitar 40% dibanding pada tahun 1997.

Kondisi suram penuh ketidakpastian ini berlanjut hingga 1999. Ketika mayoritas investor kabur dari bursa saham, menjual murah saham mereka secara panik, LKH justru sibuk mencari peluang membeli saham bagus dengan harga super diskon. Ia menganalisa laporan keuangan beberapa perusahaan yang harganya sudah jatuh habis-habisan. Diantaranya adalah saham PT United Tractor Tbk (UNTR) yang nantinya mengubah garis tangannya.

LKH membeli saham UNTR pada 1998 saat harganya Rp250 per saham. Ia menjualnya 6 tahun kemudian pada harga setara dengan Rp15.000 (saham UNTR sudah mengalami stock split dan bonus), menikmati keuntungan 5.900%! Atau rata-rata hampir 100% setahun dalam jangka waktu 6 tahun. Lo Kheng Hong menginvestasikan Rp1,5 miliar untuk membeli 6 juta saham UNTR. Enam tahun kemudian, dia memperoleh Rp90 miliar dari penjualan saham tersebut.

Bagaimana Lo Kheng Hong menemukan UNTR? Apakah karena sekedar faktor keberuntungan, atau hasil dari sebuah analisis fundamental yang cerdas? UNTR adalah distributor utama alat-alat berat merk Komatsu di Indonesia. Kini usahanya merambah ke pertambangan dan perkebunan. Mayoritas sahamnya dimiliki PT Astra Internasional Tbk (ASII). LKH tertarik dengan UNTR karena perusahaan ini memiliki penghasilan dalam dolar AS serta dikenal sebagai perusahaan yang tata kelolanya bagus.

LKH kemudian melakukan analisis fundamental terhadap UNTR menggunakan laporan keuangan UNTR Kuartal III tahun 1998. Penulis tidak bisa mendapatkan data ini, namun kita bisa menggunakan laporan keuangan UNTR akhir 1998 yang telah diaudit.

Neraca UNTR pada akhir 1998 menunjukkan total aset Rp3,8 triliun dan total utang Rp4,3 triliun, sehingga ekuitas perusahaan adalah negatif Rp0,5 triliun. Artinya UNTR mengalami kekurangan (defisiensi) modal. Yang lebih mengkhawatirkan adalah Rp3,9 triliun dari utang UNTR akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau kurang.

Padahal selama 1998, pendapatan UNTR mencapai Rp3,68 triliun, dan laba usahanya adalah Rp1,07 triliun. Jika dibandingkan tahun 1997, pendapatan dan laba usaha mengalami kenaikan yang sangat nyata. Namun, akibat perubahan kurs dolar AS terhadap rupiah yang gila-gilaan, UNTR menderita kerugian dari selisih kurs Rp1,7 triliun.

Ditambah beban keuangan Rp0,4 triliun, beban lain-lain menjadi sekitar Rp2,08 triliun. Akibatnya, meskipun laba usahanya naik dibanding tahun 1997, kerugian sebelum pajak justru meroket menjadi Rp1,1 triliun (naik 273% dari tahun 1997).

Harga saham UNTR pada April 1997 masih Rp437. Setelah Krisis Moneter menghantam Indonesia, harga saham UNTR pada Juni 1998 tinggal Rp25. LKH membeli saham UNTR pada akhir 2008, ketika harganya sudah naik menjadi Rp250. Jumlah saham beredar UNTR saat itu adalah 138 juta. Pada harga pasar Rp250 per saham, total nilai pasar ekuitas (kapitalisasi pasar) UNTR adalah hanya Rp34,5 miliar!

Bagi LKH, UNTR adalah perusahaan bagus karena secara operasional perusahaan ini masih membukukan laba yang besar sekali. Kalaupun ada kerugian bersih, ini akibat kenaikan drastis dolar AS yang terjadi tidak setiap tahun. Jika kondisi ekonomi pulih, pasti harga saham UNTR akan meroket. Selain itu, UNTR memiliki manajemen yang profesional dan etis.

Meskipun jumlah utang UNTR melebihi nilai asetnya, kemungkinan besar kreditur UNTR tidak akan melikuidasi perusahaan ini karena secara operasional masih bagus. Ternyata perhitungan LKH benar. UNTR masih eksis hingga hari ini, harganya Rp23.000. Di April 2012, harga UNTR bahkan pernah mencapai titik tertinggi di Rp33.000.

Krisis finansial 1998 telah melambungkan kekayaan Lo Kheng Hong. Kuncinya, ia memiliki kompetensi untuk menganalisis fundamental perusahaan serta berani mengambil risiko/tindakan dengan membeli saham UNTR saat investor lain panik menjuali sahamnya. Selain itu, LKH memiliki kesabaran yang luar biasa untuk menyimpan saham UNTR dalam waktu lama.

Ia tidak tergoda untuk segera menjualnya dan menikmati keuntungan jangka pendek. Mengapa akhirnya LKH melepas UNTR di tahun 2004? “Harganya sudah naik begitu tinggi. Saya belum pernah memegang uang sebanyak itu. Ada kekhawatiran kalau harganya turun,” kata LKH sembari tersenyum.

LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School,
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4417 seconds (0.1#10.140)