Perbankan Diperkirakan Masih Tertekan di 2017
A
A
A
JAKARTA - Industri perbankan diprediksi masih terus menghadapi tekanan di tahun 2017 ini. Rasio kredit bermasalah diperkirakan masih cukup tinggi hingga semester satu tahun ini. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memperkirakan tekanan bisnis perbankan dari rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) masih tinggi pada 2017. Namun pencadangan permodalan industri perbankan masih cukup untuk mengantisipasi risiko krisis pada bank.
Dia memperkirakan NPL industri perbankan akan meningkat dari akhir 2016 sebesar 2,9 % (gross) ke level 3 %, namun tidak melebihi 3,5 %. "Kami lihat pada Januari 2017 saja, NPL sudah naik lagi. Namun secara permodalan perbankan rata rata masih mampu untuk menyediakan bumper penahan," ujar Anton dalam jumpa pers di Jakarta.
Lebih lanjut diterangkan perbankan masih mewaspadai penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan juga transportasi. Berkaca pada tahun lalu, penurunan kualitas kredit banyak terjadi untuk sektor perdagangan, pertambangan dan juga transportasi. Menurut data Bank Indonesia, NPL untuk perdagangan dan transportasi melebihi 4%.
Sedangkan NPL sektor pertambangan di level 3%. Tindakan beberapa bank besar, kata Anton yang meningkatkan rasio pencadangan untuk NPL akan meredam dampak negatif dari memburuknya aset terhadap pendapatan perbankan. “Ada bank yang cepat dan ada juga yang pelan dalam restrukturisasi. Ini harus kita perhatikan terus,” ujarnya.
Anton optimistis rasio kecukupan modal inti (capital adequacy ratio/CAR) perbankan tidak akan tergerus pada 2017 dengan biaya pencadangan atau bantalan modal yang cukup.Bercermin ke 2016, Anton menuturkan sebenarnya NPL perbankan tahun lalu bisa melebihi 2,9 %. Jika dihitung dengan kredit bermasalah kategori 'special mentions' kategori II-IV, NPL industri perbankan mencapai 7,4 % pada 2016,” ujarnya.
Namun pada 2015, OJK menerbitkan POJK Nomor 11/POJK.03/2015 tentang kehati-hatian dalam rangka memberikan stimulus terhadap perekonomian. Ketentuan tersebut memperbolehkan perbankan untuk merestrukturisasi kredit dengan hanya memerhatikan satu pilar, NPL menjadi hanya sebesar 2,9 %. "Kami tidak hanya lihat NPL saja tapi juga kategori 'special mentions'.
Kategori I pun masih bisa turun ke kategori II atau IV. Makanya harus dihitung lebih luas dengan credit impairment ratio, termasuk di dalamnya ada kemungkinan dari kategori I turun menjadi NPL," ujar dia.
Lanjut dia menerangkan perlu diperhatikan risiko dari berlakunya ketentuan OJK tersebut. Menurutnya, OJK perlu mengawasi agar penerapan kebijakan tersebut tidak membuat perbankan menunda restrukturisasi kredit. “Restrukturisasi perbankan akan kita lihat apakah dilakukan serius atau tidak. Saat ini kebijakan relaksasi OJK masih belum dicabut. Kita tidak tahu kebijakan OJK yang baru nanti apakah masih sama atau tidak,” paparnya.
Dia memperkirakan NPL industri perbankan akan meningkat dari akhir 2016 sebesar 2,9 % (gross) ke level 3 %, namun tidak melebihi 3,5 %. "Kami lihat pada Januari 2017 saja, NPL sudah naik lagi. Namun secara permodalan perbankan rata rata masih mampu untuk menyediakan bumper penahan," ujar Anton dalam jumpa pers di Jakarta.
Lebih lanjut diterangkan perbankan masih mewaspadai penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan juga transportasi. Berkaca pada tahun lalu, penurunan kualitas kredit banyak terjadi untuk sektor perdagangan, pertambangan dan juga transportasi. Menurut data Bank Indonesia, NPL untuk perdagangan dan transportasi melebihi 4%.
Sedangkan NPL sektor pertambangan di level 3%. Tindakan beberapa bank besar, kata Anton yang meningkatkan rasio pencadangan untuk NPL akan meredam dampak negatif dari memburuknya aset terhadap pendapatan perbankan. “Ada bank yang cepat dan ada juga yang pelan dalam restrukturisasi. Ini harus kita perhatikan terus,” ujarnya.
Anton optimistis rasio kecukupan modal inti (capital adequacy ratio/CAR) perbankan tidak akan tergerus pada 2017 dengan biaya pencadangan atau bantalan modal yang cukup.Bercermin ke 2016, Anton menuturkan sebenarnya NPL perbankan tahun lalu bisa melebihi 2,9 %. Jika dihitung dengan kredit bermasalah kategori 'special mentions' kategori II-IV, NPL industri perbankan mencapai 7,4 % pada 2016,” ujarnya.
Namun pada 2015, OJK menerbitkan POJK Nomor 11/POJK.03/2015 tentang kehati-hatian dalam rangka memberikan stimulus terhadap perekonomian. Ketentuan tersebut memperbolehkan perbankan untuk merestrukturisasi kredit dengan hanya memerhatikan satu pilar, NPL menjadi hanya sebesar 2,9 %. "Kami tidak hanya lihat NPL saja tapi juga kategori 'special mentions'.
Kategori I pun masih bisa turun ke kategori II atau IV. Makanya harus dihitung lebih luas dengan credit impairment ratio, termasuk di dalamnya ada kemungkinan dari kategori I turun menjadi NPL," ujar dia.
Lanjut dia menerangkan perlu diperhatikan risiko dari berlakunya ketentuan OJK tersebut. Menurutnya, OJK perlu mengawasi agar penerapan kebijakan tersebut tidak membuat perbankan menunda restrukturisasi kredit. “Restrukturisasi perbankan akan kita lihat apakah dilakukan serius atau tidak. Saat ini kebijakan relaksasi OJK masih belum dicabut. Kita tidak tahu kebijakan OJK yang baru nanti apakah masih sama atau tidak,” paparnya.
(akr)