Bekraf Akui Indonesia Kalah Otot dengan China
A
A
A
BANDUNG - Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengakui Indonesia tidak bisa berbuat banyak menyikapi produk dari China yang membanjiri pasar Indonesia.
Padahal, produk tersebut mengancam industri kreatif Tanah Air. Seperti produk feshion, mainan anak, dan lainnya. "Kita sudah terlambat untuk memproteksi itu. Tidak bisa lakukan itu. Kita kalah otot dengan China," kata Triawan saat ditemui di The Papandayan Hotel, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Kamis (6/7/2017).
Menurutnya, ada ketidakadilan pada perlakuan perdagangan atas produk kreatif. China bisa dengan leluasa menjual produknya ke Indonesia. Contohnya, produk fashion dari China bisa dijual dengan harga murah karena produksi mereka cukup banyak.
"Untuk fashion, langkah yang bisa dilakukan untuk melindungi industri kreatif Tanah Air salah satunya dengan meningkatkan kemampuan desainer kita agar mampu bersaing," kata dia.
Dengan inovasi produk dan kualitas yang baik, pihaknya optimistis Indonesia akan bisa bersaing. Indonesia tidak mampu membuat proteksi seperti China, misalnya menyetop pasar, memproteksi Google, Twitter, dan lainnya. Berbeda dengan China yang mampu melakukan itu semua.
Baru-baru ini, China juga menghentikan semua bentuk perdagangan yang terkait dengan Korea Selatan, akibat memanasnya hubungan dengan Korea Utara.
"Kita tidak bisa. Kita tidak bisa stop, Google, aplikasi hanphone, dan lainnya. Tapi mereka bisa. Tujuannya untuk mengangkat produk dalam negeri mereka sendiri. Misalnya Twitter mereka proteksi untuk memberi ruang bagi star up lokal," tutur dia.
Ketika disinggung mungkinkah Indonesia bisa menghentikan perjanjian perdagangan bebas dengan China, dia mengklaim bisa saja diputus. Tapi akan butuh waktu lama. "Ya mudah-mudahan saja," terangnya.
Menurutnya, industri kreatif Indonesia pada dasarnya berkembang cukup bagus. Kendati secara tertulis menyebut industri kreatif menyumbang 7,38% bagi produk domestik bruto (PDB), namun secara rill bisa sampai dua digit.
"Masih banyak penghasilan industri kreatif yang belum tergali. Seperti dari sektor perfilman dan musik. Saya kira penghasilannya cukup besar dari yang terlihat," beber Triawan.
Namun demikian, pihaknya enggan menetapkan target muluk-muluk dan ambisius. Saat ini, yang bisa dilakukannya adalah fokus mengembangkan yang sudah ada dan memfasilitasi pendatang baru di industri kreatif.
Padahal, produk tersebut mengancam industri kreatif Tanah Air. Seperti produk feshion, mainan anak, dan lainnya. "Kita sudah terlambat untuk memproteksi itu. Tidak bisa lakukan itu. Kita kalah otot dengan China," kata Triawan saat ditemui di The Papandayan Hotel, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Kamis (6/7/2017).
Menurutnya, ada ketidakadilan pada perlakuan perdagangan atas produk kreatif. China bisa dengan leluasa menjual produknya ke Indonesia. Contohnya, produk fashion dari China bisa dijual dengan harga murah karena produksi mereka cukup banyak.
"Untuk fashion, langkah yang bisa dilakukan untuk melindungi industri kreatif Tanah Air salah satunya dengan meningkatkan kemampuan desainer kita agar mampu bersaing," kata dia.
Dengan inovasi produk dan kualitas yang baik, pihaknya optimistis Indonesia akan bisa bersaing. Indonesia tidak mampu membuat proteksi seperti China, misalnya menyetop pasar, memproteksi Google, Twitter, dan lainnya. Berbeda dengan China yang mampu melakukan itu semua.
Baru-baru ini, China juga menghentikan semua bentuk perdagangan yang terkait dengan Korea Selatan, akibat memanasnya hubungan dengan Korea Utara.
"Kita tidak bisa. Kita tidak bisa stop, Google, aplikasi hanphone, dan lainnya. Tapi mereka bisa. Tujuannya untuk mengangkat produk dalam negeri mereka sendiri. Misalnya Twitter mereka proteksi untuk memberi ruang bagi star up lokal," tutur dia.
Ketika disinggung mungkinkah Indonesia bisa menghentikan perjanjian perdagangan bebas dengan China, dia mengklaim bisa saja diputus. Tapi akan butuh waktu lama. "Ya mudah-mudahan saja," terangnya.
Menurutnya, industri kreatif Indonesia pada dasarnya berkembang cukup bagus. Kendati secara tertulis menyebut industri kreatif menyumbang 7,38% bagi produk domestik bruto (PDB), namun secara rill bisa sampai dua digit.
"Masih banyak penghasilan industri kreatif yang belum tergali. Seperti dari sektor perfilman dan musik. Saya kira penghasilannya cukup besar dari yang terlihat," beber Triawan.
Namun demikian, pihaknya enggan menetapkan target muluk-muluk dan ambisius. Saat ini, yang bisa dilakukannya adalah fokus mengembangkan yang sudah ada dan memfasilitasi pendatang baru di industri kreatif.
(izz)