Perpanjangan Kontrak JICT Dinilai Mendesak Harus Direview
A
A
A
JAKARTA - Kesepakatan perpanjangan kontrak pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara Pelindo II dan Hutchison Ports Holdings (HPH) masih menyisakan persoalan hingga saat ini. Pekan lalu, Serikat Pekerja (SP) JICT melakukan aksi mogok yang salah satu tuntutannya mendesak pembatalan perpanjangan kontrak tersebut.
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi menilai aksi yang dilakukan SPJICT patut didukung karena mempertahankan aset bangsa agar tidak jatuh kepada pihak-pihak yang hanya ingin mengeksploitasi aset tersebut. Ia menegaskan seharusnya tugas mempertahankan aset bangsa itu dilakukan penguasa sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusi.
Namun sayangnya hal itu tidak dilakukan. Ironisnya lagi, aspirasi Serikat Pekerja JICT mempertahankan aset bangsa tidak dihiraukan. “Hal inilah yang kemudian memicu SP JICT melakukan aksi mogok kerja,” ungkapnya dalam keterangan resmi, di Jakarta, Kami (10/8).
Menurutnya aspirasi SP JICT sempat mendapat respons ketika Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya. Ketika itu Rizal Ramli melakukan banyak pembenahan di dalam pelabuhan. Namun demikian, menyangkut soal perpanjangan kontrak JICT menjadi otoritas Kementerian BUMN.
Tak hanya itu, DPR melalui Pansus juga sudah merekomendasikan kepada presiden untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT tersebut. Namun sampai sekarang, rekomendasi itu belum juga dilaksanakan. Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun sudah menuntaskan tugasnya melakukan audit investigasi perpanjangan kontrak JICT yang terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,08 Triliun.
Pada saat yang bersamaan, SP JICT pun terus menyuarakan penolakan perpanjangan kontrak JICT tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan aksi mogok kerja, yang isunya justeru dibelokan menjadi persoalan upah. Adhie menilai, ketidakpedulian pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan perpanjangan kontrak JICT ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal.
Pertama, ketidakpahaman fungi jabatan yang mereka emban berdasarkan amanat konstitusi. Kedua, boleh jadi mereka menjadi pihak yang diduga ikut menikmati transaksi perpanjangan kontrak JICT tersebut. “Kasus perpanjangan kontrak JICT yang bermasalah baik dari hasil rekomendasi Pansus Pelindo II maupun audit BPK, harus dituntaskan,” tegasnya.
Karena itu, tambah Dia tiga pihak yang seharusnya mampu mendorong penyelesaian persoalan tersebut. Tiga pihak tersebut adalah pertama, presiden yang harus menugaskan Menteri BUMN untuk mereview perpanjangan kontrak JICT. Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus melakukan investigasi terhadap pihak-pihak yang diduga menikmati transaksi perpanjangan kontrak JICT.
Ketiga, DPR menggunakan hak interpelasi memanggil presiden untuk mempertanyakan penyelesaian persoalan tersebut. “Dari ketiganya, terus terang saya berharap banyak kepada presiden maupun DPR. Sedangkan untuk KPK saya menyangsikan. Salah satunya karena kasus Pelindo II yang lebih dulu ditangani KPK sampai sekarang terkesan mangkrak,” imbuhnya.
Terhadap berbagai intimidasi yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap pekerja JICT untuk melemahkan aksi penolakan, Ia berharap tetap disikapi dengan tenang dan menggunakan aturan hukum yang berlaku. Jika diperlukan, menurutnya berbagai bentuk intimidasi tersebut dilaporkan kepada pihak kepolisian maupun dinas tenaga kerja.
Sementara itu, Ketua Bidang Maritim Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman), Siswanto, menegaskan pihaknya mendukung penolakan perpanjangan kontrak JICT perspektif visi Indonesia yang mandiri secara pangan, energi dan maritime. Menurutnya, anak-anak bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi tersebut. Karena itu, semua pihak harus bersinergi untuk mewujudkan visi tersebut.
“Dalam tata kelola pelabuhan, kita sebenarnya sudah mampu mengelola sendiri tanpa melibatkan pihak lain,” ungkap Siswanto
Menurutnya, jangka waktu kerja sama pengelolaan JICT selama 20 tahun dengan melibatkan pihak asing sebenarnya cukup sebagai proses transfer knowledge. Setelah kerja sama selesai, berikan kesempatan kepada anak-anak bangsa untuk mengelola sendiri.
“Pengalaman saya mengelola salah satu pelabuhan di Indonesia, faktanya kita bisa berdayakan SDM yang ada. Begitu pun dengan stakeholder kepelabuhanan, semua bisa bersinergi dengan baik. Persoalannya, tinggal kembali kepada good will kita sendiri,” pungkasnya.
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi menilai aksi yang dilakukan SPJICT patut didukung karena mempertahankan aset bangsa agar tidak jatuh kepada pihak-pihak yang hanya ingin mengeksploitasi aset tersebut. Ia menegaskan seharusnya tugas mempertahankan aset bangsa itu dilakukan penguasa sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusi.
Namun sayangnya hal itu tidak dilakukan. Ironisnya lagi, aspirasi Serikat Pekerja JICT mempertahankan aset bangsa tidak dihiraukan. “Hal inilah yang kemudian memicu SP JICT melakukan aksi mogok kerja,” ungkapnya dalam keterangan resmi, di Jakarta, Kami (10/8).
Menurutnya aspirasi SP JICT sempat mendapat respons ketika Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya. Ketika itu Rizal Ramli melakukan banyak pembenahan di dalam pelabuhan. Namun demikian, menyangkut soal perpanjangan kontrak JICT menjadi otoritas Kementerian BUMN.
Tak hanya itu, DPR melalui Pansus juga sudah merekomendasikan kepada presiden untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT tersebut. Namun sampai sekarang, rekomendasi itu belum juga dilaksanakan. Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun sudah menuntaskan tugasnya melakukan audit investigasi perpanjangan kontrak JICT yang terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,08 Triliun.
Pada saat yang bersamaan, SP JICT pun terus menyuarakan penolakan perpanjangan kontrak JICT tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan aksi mogok kerja, yang isunya justeru dibelokan menjadi persoalan upah. Adhie menilai, ketidakpedulian pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan perpanjangan kontrak JICT ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal.
Pertama, ketidakpahaman fungi jabatan yang mereka emban berdasarkan amanat konstitusi. Kedua, boleh jadi mereka menjadi pihak yang diduga ikut menikmati transaksi perpanjangan kontrak JICT tersebut. “Kasus perpanjangan kontrak JICT yang bermasalah baik dari hasil rekomendasi Pansus Pelindo II maupun audit BPK, harus dituntaskan,” tegasnya.
Karena itu, tambah Dia tiga pihak yang seharusnya mampu mendorong penyelesaian persoalan tersebut. Tiga pihak tersebut adalah pertama, presiden yang harus menugaskan Menteri BUMN untuk mereview perpanjangan kontrak JICT. Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus melakukan investigasi terhadap pihak-pihak yang diduga menikmati transaksi perpanjangan kontrak JICT.
Ketiga, DPR menggunakan hak interpelasi memanggil presiden untuk mempertanyakan penyelesaian persoalan tersebut. “Dari ketiganya, terus terang saya berharap banyak kepada presiden maupun DPR. Sedangkan untuk KPK saya menyangsikan. Salah satunya karena kasus Pelindo II yang lebih dulu ditangani KPK sampai sekarang terkesan mangkrak,” imbuhnya.
Terhadap berbagai intimidasi yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap pekerja JICT untuk melemahkan aksi penolakan, Ia berharap tetap disikapi dengan tenang dan menggunakan aturan hukum yang berlaku. Jika diperlukan, menurutnya berbagai bentuk intimidasi tersebut dilaporkan kepada pihak kepolisian maupun dinas tenaga kerja.
Sementara itu, Ketua Bidang Maritim Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman), Siswanto, menegaskan pihaknya mendukung penolakan perpanjangan kontrak JICT perspektif visi Indonesia yang mandiri secara pangan, energi dan maritime. Menurutnya, anak-anak bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi tersebut. Karena itu, semua pihak harus bersinergi untuk mewujudkan visi tersebut.
“Dalam tata kelola pelabuhan, kita sebenarnya sudah mampu mengelola sendiri tanpa melibatkan pihak lain,” ungkap Siswanto
Menurutnya, jangka waktu kerja sama pengelolaan JICT selama 20 tahun dengan melibatkan pihak asing sebenarnya cukup sebagai proses transfer knowledge. Setelah kerja sama selesai, berikan kesempatan kepada anak-anak bangsa untuk mengelola sendiri.
“Pengalaman saya mengelola salah satu pelabuhan di Indonesia, faktanya kita bisa berdayakan SDM yang ada. Begitu pun dengan stakeholder kepelabuhanan, semua bisa bersinergi dengan baik. Persoalannya, tinggal kembali kepada good will kita sendiri,” pungkasnya.
(akr)