PLTU Tanjung Jati B Komitmen Jaga Listrik Kompetitif
A
A
A
JEPARA - PLTU Tanjung Jati B yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah, berkomitmen untuk menjaga biaya pokok penyediaan (BPP) listrik tetap kompetitif sehingga berkontribusi dalam penurunan BPP nasional. Saat ini, BPP listrik yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati B sebesar Rp740 per Kwh, di bawah BPP nasional yang berdasarkan Peraturan Menteri ESDM ditetapkan Rp983 per kwh.
"Sampai saat ini kita berkomitmen untuk berkontribusi pada penurunan BPP secara nasional. Meski harga batu bara pada awal tahun sempat tinggi di kisaran USD100 per ton, dengan teknologi dan efisiensi kita bisa menghasilkan BPP yang tetap kompetitif," ujar General Manager PLTU Tanjung Jati B Ari Basuki saat media gathering di Jepara, Jawa Tengah, Rabu (23/8/2017).
Dia menambahkah, pada awal tahun ini pembangkit yang merupakan bagian dari PLTU Jawa 4 itu sempat merasakan tekanan akibat meningkatnya harga batu bara dunia. Apalagi batu bara yang digunakan PLTU berkapasitas 4x 710 MW itu merupakan jenis high grade di mana harganya cukup tinggi.
"Jadi tantangan kami adalah harga energi primer. Pembangkit ini kan yang utama produksinya ditopang oleh sumber energi primer seperti gas, batu bara atau minyak. Kalau harga primernya tinggi otomatis akan berpengaruh pada biaya produksi," terangnya.
Ari menambahkan, untuk menghasilkan energi listrik berkualitas dan kompetitif, pihaknya mengedepankan konsep pembangkitan yang ramah lingkungan dan bersih. Hal ini penting diterapkan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa PLTU batu bara merusak lingkungan karena polutif.
"Di sini kita punya teknologi yang bisa mengurangi emisi sulfur hingga 98% yang disebut Flue Gas Desulfurization (FGD) menggunakan batu kapur atau limestone. Ini lebih baik dibanding menggunakan teknologi konvensional menggunakan air laut," katanya.
FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batu bara dengan zat pengikat agar kandungan sulfur yang dilepaskan ke atmosfer rendah. Pada umumnya zat pengikat yang digunakan oleh PLTU adalah air laut di mana oengurangam emisinya hnya 90%.
“Tidak hanya memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah, kami juga berusaha melampaui standar global dalam rangka ingin menjadi pemain kelas dunia," tambah Ari Basuki.
Atas penggunaan teknologi tersebut, isu peningkatan suhu udara di Jepara akibat PLTU Tanjung Jati B pun terbantahkan. Pasalnya, tren suhu udara di Jepara sepuluh tahun terakhir menurut BMKG justru mengalami penurunan hingga 0,5° C.
Berkat penggunaan teknologi ramah lingkungan tersebut, pada 2012 lalu, majalah kelistrikan internasional, Power Magazine menempatkan PLTU Tanjung Jati B menjadi Coal-Fired Top Plant atau 6 PLTU terbaik di dunia.
“Hingga hari ini PLTU Tanjung Jati B adalah satu-satunya PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi batu kapur,” tambah Ari.
Dia mengungkapkan, penggunaan air laut untuk FGD sebenarnya sudah cukup dalam menurunkan konsentrasi emisi sulfur batu bara hingga 90%. Namun karena komitmen PLN dalam menjaga kualitas udara bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, batu kapur tetap menjadi pilihan karena bisa menurunkan hingga 98%. Walaupun penggunaan batu kapur dalam FGD memerlukan investasi yang lebih besar, yaitu sekitar 11-14% dari capital cost dibandingkan air laut yang hanya 7-10%.
Investasi peralatan FGD di PLTU Tanjung Jati B mencapai Rp1,5 triliun untuk 2 x 710 MW. Hasilnya, 10 tahun beroperasi, sulfur yang terkandung dalam emisi gas PLTU Tanjung Jati B hanya berada di kisaran angka 100 mg/m3 dari baku mutu yang ditetapkan pemerintah saat ini sebesar 750 mg/m3.
"Sampai saat ini kita berkomitmen untuk berkontribusi pada penurunan BPP secara nasional. Meski harga batu bara pada awal tahun sempat tinggi di kisaran USD100 per ton, dengan teknologi dan efisiensi kita bisa menghasilkan BPP yang tetap kompetitif," ujar General Manager PLTU Tanjung Jati B Ari Basuki saat media gathering di Jepara, Jawa Tengah, Rabu (23/8/2017).
Dia menambahkah, pada awal tahun ini pembangkit yang merupakan bagian dari PLTU Jawa 4 itu sempat merasakan tekanan akibat meningkatnya harga batu bara dunia. Apalagi batu bara yang digunakan PLTU berkapasitas 4x 710 MW itu merupakan jenis high grade di mana harganya cukup tinggi.
"Jadi tantangan kami adalah harga energi primer. Pembangkit ini kan yang utama produksinya ditopang oleh sumber energi primer seperti gas, batu bara atau minyak. Kalau harga primernya tinggi otomatis akan berpengaruh pada biaya produksi," terangnya.
Ari menambahkan, untuk menghasilkan energi listrik berkualitas dan kompetitif, pihaknya mengedepankan konsep pembangkitan yang ramah lingkungan dan bersih. Hal ini penting diterapkan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa PLTU batu bara merusak lingkungan karena polutif.
"Di sini kita punya teknologi yang bisa mengurangi emisi sulfur hingga 98% yang disebut Flue Gas Desulfurization (FGD) menggunakan batu kapur atau limestone. Ini lebih baik dibanding menggunakan teknologi konvensional menggunakan air laut," katanya.
FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batu bara dengan zat pengikat agar kandungan sulfur yang dilepaskan ke atmosfer rendah. Pada umumnya zat pengikat yang digunakan oleh PLTU adalah air laut di mana oengurangam emisinya hnya 90%.
“Tidak hanya memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah, kami juga berusaha melampaui standar global dalam rangka ingin menjadi pemain kelas dunia," tambah Ari Basuki.
Atas penggunaan teknologi tersebut, isu peningkatan suhu udara di Jepara akibat PLTU Tanjung Jati B pun terbantahkan. Pasalnya, tren suhu udara di Jepara sepuluh tahun terakhir menurut BMKG justru mengalami penurunan hingga 0,5° C.
Berkat penggunaan teknologi ramah lingkungan tersebut, pada 2012 lalu, majalah kelistrikan internasional, Power Magazine menempatkan PLTU Tanjung Jati B menjadi Coal-Fired Top Plant atau 6 PLTU terbaik di dunia.
“Hingga hari ini PLTU Tanjung Jati B adalah satu-satunya PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi batu kapur,” tambah Ari.
Dia mengungkapkan, penggunaan air laut untuk FGD sebenarnya sudah cukup dalam menurunkan konsentrasi emisi sulfur batu bara hingga 90%. Namun karena komitmen PLN dalam menjaga kualitas udara bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, batu kapur tetap menjadi pilihan karena bisa menurunkan hingga 98%. Walaupun penggunaan batu kapur dalam FGD memerlukan investasi yang lebih besar, yaitu sekitar 11-14% dari capital cost dibandingkan air laut yang hanya 7-10%.
Investasi peralatan FGD di PLTU Tanjung Jati B mencapai Rp1,5 triliun untuk 2 x 710 MW. Hasilnya, 10 tahun beroperasi, sulfur yang terkandung dalam emisi gas PLTU Tanjung Jati B hanya berada di kisaran angka 100 mg/m3 dari baku mutu yang ditetapkan pemerintah saat ini sebesar 750 mg/m3.
(dmd)