Revisi UU Migas Harus Perkuat Pertamina
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) dalam revisi Undang-undang (UU) No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) diharapkan dapat memperkuat posisi PT Pertamina (Persero) dalam kegiatan industri migas nasional.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, revisi UU Migas diharapkan mampu mengembalikan Pertamina sebagai pengatur juga sebagai pelaksana kegiatan hulu migas nasional. Hal itu sesuai dengan otoritasnya kembali kepada negara sehingga tidak mudah diintervensi kepentingan asing.
Hal itu juga sesuai dengan putusan Mahjamah Konstitusi No 36 Tahun 2012 yaitu, kuasa usaha pertambangan wajib diberikan kepada BUMN bukan bentuk perwakilan dari pemerintah.
"Revisi UU Migas sebaiknya memperkuat Pertamina dalam perannya di sektor migas sesuai amanat putusan MA," ujar Agus di Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Menurut dia, pembentukan Badan Usaha Khusus memerlukan proses panjang. Pihaknya mendesak pemerintah bersama dapat segera merampungkan revisi UU Migas yang dijadwalkam selesai tahun depan.
"Menurunnya investasi hulu migas beberapa tahun terakhir disebabkan salah satunya masalah kepastian investasi. Kondisi ini penting bagi pemerintah dan DPR segera meneyelasaikan revisi UU Migas," kata dia.
Senada, pakar migas dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Khalid Syeirezi mengungkapkan revisi UU Migas sebagai momentum mengembalikan kejayaan Pertamina sesuai UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Di sini, lanjut dia, Pertamina berperan sebagai pengatur juga pelaksana usaha migas nasional bukan dipegang oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah.
Meski begitu, Pertamina juga tetap harus diawasi di bawah pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Pihaknya meyakini, dengan memperkuat Pertamina, BUMN pelat merah tersebut mampu mendorong cita-cita Pertamina sebagai world class energy.
"Kuasa pertambangan tetap di pemerintah sedangkan untuk kuasa usaha pertambangan diserahkan kepada Pertamina. Tidak perlu lembaga utusan pemerintah," tandasnya.
Ketua Departemen Ristek ESDM Korps Alumni Mahasiswa Islam, Lukman Malanuang mengatakan sebagai konsekuensi pembentukan BUK maka SKK Migas dan BPH Migas harus dibubarkan. Hal itu sesuai tujuan dengan utamanya yaitu membenahi tata kelola migas nasional mengembalikan kuasa usaha pertambangan kepada Pertamina.
"Terbentuknya NOC (National Oil Company) yang kuat akan mewujudkan kedaulatan migas sebagai tulang punggung perekonomian," tandas dia.
Sementara itu, mantan Komite BPH Migas Qoyum Tjandranegara menanggapi hal berbeda. Menurut dia, di dalam revisi UU Migas perlu dipisahkan antara pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dengan pelaksana usaha pertambangan.
"Fungsi keduanya perlu dipisahkan antara fungsi satu dengan yang lain. Misalnya UU No 8/1971, dimana Pertamina bertindak sebagai badan pelaksana hulu dan hilir sehingga dimungkinkan terjadi konflik kepentingan dan pemusatan wewenang serta persaingan usaha yang tidak sehat atau monopoli," pungkas dia.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, revisi UU Migas diharapkan mampu mengembalikan Pertamina sebagai pengatur juga sebagai pelaksana kegiatan hulu migas nasional. Hal itu sesuai dengan otoritasnya kembali kepada negara sehingga tidak mudah diintervensi kepentingan asing.
Hal itu juga sesuai dengan putusan Mahjamah Konstitusi No 36 Tahun 2012 yaitu, kuasa usaha pertambangan wajib diberikan kepada BUMN bukan bentuk perwakilan dari pemerintah.
"Revisi UU Migas sebaiknya memperkuat Pertamina dalam perannya di sektor migas sesuai amanat putusan MA," ujar Agus di Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Menurut dia, pembentukan Badan Usaha Khusus memerlukan proses panjang. Pihaknya mendesak pemerintah bersama dapat segera merampungkan revisi UU Migas yang dijadwalkam selesai tahun depan.
"Menurunnya investasi hulu migas beberapa tahun terakhir disebabkan salah satunya masalah kepastian investasi. Kondisi ini penting bagi pemerintah dan DPR segera meneyelasaikan revisi UU Migas," kata dia.
Senada, pakar migas dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Khalid Syeirezi mengungkapkan revisi UU Migas sebagai momentum mengembalikan kejayaan Pertamina sesuai UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Di sini, lanjut dia, Pertamina berperan sebagai pengatur juga pelaksana usaha migas nasional bukan dipegang oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah.
Meski begitu, Pertamina juga tetap harus diawasi di bawah pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Pihaknya meyakini, dengan memperkuat Pertamina, BUMN pelat merah tersebut mampu mendorong cita-cita Pertamina sebagai world class energy.
"Kuasa pertambangan tetap di pemerintah sedangkan untuk kuasa usaha pertambangan diserahkan kepada Pertamina. Tidak perlu lembaga utusan pemerintah," tandasnya.
Ketua Departemen Ristek ESDM Korps Alumni Mahasiswa Islam, Lukman Malanuang mengatakan sebagai konsekuensi pembentukan BUK maka SKK Migas dan BPH Migas harus dibubarkan. Hal itu sesuai tujuan dengan utamanya yaitu membenahi tata kelola migas nasional mengembalikan kuasa usaha pertambangan kepada Pertamina.
"Terbentuknya NOC (National Oil Company) yang kuat akan mewujudkan kedaulatan migas sebagai tulang punggung perekonomian," tandas dia.
Sementara itu, mantan Komite BPH Migas Qoyum Tjandranegara menanggapi hal berbeda. Menurut dia, di dalam revisi UU Migas perlu dipisahkan antara pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dengan pelaksana usaha pertambangan.
"Fungsi keduanya perlu dipisahkan antara fungsi satu dengan yang lain. Misalnya UU No 8/1971, dimana Pertamina bertindak sebagai badan pelaksana hulu dan hilir sehingga dimungkinkan terjadi konflik kepentingan dan pemusatan wewenang serta persaingan usaha yang tidak sehat atau monopoli," pungkas dia.
(ven)