Scaling-Up
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
SCALING-UP atau membesarkan bisnis setelah sebuah startup mencapai ”productmarket fit ” adalah tantangan terbesar setiap startup dan entrepreneur yang membangunnya.
Asal tahu saja sekitar 74% startup di Silicon Valley gagal karena tak mampu membesarkan diri (premature scaling) alias layu sebelum berkembang. Walaupun tak ada angkanya, saya yakin di Indonesia angkanya lebih memprihatinkan di atas 90%. Di Indonesia sebagian besar UKM adalah ”perusahaan bonsai” karena sepanjang hayatnya kecil melulu enggak pernah kunjung membesar karena tak tahu dan tak mampu melakukan scaling-up.
Celakanya, ada sebuah anggapan umum yang kini mulai muncul bahwa menjadi startup dan UKM itu cool, keren. Perusahaan besar itu enggak keren. Saya sendiri bilang bahwa menjadi startup atau UKM itu memang cool, tapi kalau kelamaan menjadi UKM , terbonsai terus-terusan enggak kunjung membesar, itu namanya enggak cool lagi.
Kebanggaan terbesar seorang entrepreneur UKM ya, kalau UKM yang dibangunnya ter-scaling- up menjadi perusahaan besar. Komunitas-komunitas UKM yang tumbuh luar biasa di Tanah Air bisa dikatakan hebat, hanya jika mereka bisa ”meluluskan” UKM-UKM anggotanya ter-scaling-up menjadi perusahaan besar. Bukannya sebaliknya, menjadi ”museum” UKM-UKM bonsai yang stagnan dan enggak kunjung membesar.
Apa rahasia sukses sebuah scaling-up? Ada dua prasyarat dasar ditinjau dari sisi internal dan eksternal perusahaan. Pertama secara internal, bisnis yang kita bangun harus memiliki skala ekonomi (projected economies of scale). Kedua secara eksternal, harus memiliki pasar yang besar (large addressable market) untuk tumbuh.
Economies of Scale
Skala ekonomi terjadi jika biaya per satuan (unit cost) turun jika output perusahaan bertambah besar. Bisnis yang mengalami hal ini disebut bisnis scalable. Contoh gampangnya adalah Toyota vs dokter. Bisnisnya Toyota adalah scalable kenapa? Karena ketika penjualan Toyota mencapai jutaan mobil tiap tahunnya, maka ongkos untuk membuat sebuah mobil (cost per-unit) akan turun demikian dramatis.
Sementara untuk dokter, ongkos terbesar untuk memberikan layanan dokter adalah gaji si dokter sendiri. Celakanya, gaji dokter ini tak akan turun ketika pasiennya berkembang dari satu pasien menjadi katakanlah 1.000 pasien. Itu artinya, layanan dokter tidak scalable. Pada umumnya, professional services, seperti dokter, pengacara, konsultan, atau pembicara/ motivator tidak scalable atau sulit di-scaling-up.
Pemain-pemain digital, seperti Facebook, Amazon, Google, Uber, atau WhatsApp menikmati skala ekonomi yang luar biasa besar karena karakteristik layanan digital yang by default memang scalable. Untuk membangun sebuah aplikasi digital, seperti Facebook atau WhatsApp memang dibutuhkan investasi sangat besar. Namun begitu aplikasi tersebut jadi, maka biaya pemakaian untuk seribu, sejuta, bahkan semiliar pengguna dibutuhkan biaya yang praktis nol.
Addressable Market
Faktor kedua adalah market size. Bisnis Anda tak akan bisa besar jika market size dari industri yang Anda masuki kecil. Karena itu, agar bisa scaling-up, Anda harus memastikan bahwa total potensi market size yang bisa diambil (sering disebut Total Addressable Market/TAM) harus sangat besar. Terkait dengan kejelian melihat TAM ini kita harus banyak belajar dari para pemain disruptor, seperti Uber, Airbnb, WhatsApp, Go-Jek, atau Tesla.
Kita tahu perusahaan- perusahaan startup ini mampu scaling-up begitu cepat (sering disebut ”growth-hack companies”) dengan memanfaatkan TAM yang begitu besar. Ambil contoh Uber. Untuk bisa scaling-up secara super cepat, Uber melihat pasarnya tak melulu existing market, yaitu pasar layanan taksi. Kalau pasar yang ditarget sebatas layanan taksi, maka volumenya kecil.
Itu pun harus berantem dengan incumbent operator taksi yang telah mapan. Namun, kalau pasar yang ditarget Uber juga termasuk seluruh pemilik mobil (kemudian beralih ke Uber karena berbagai kemudahan dan affordability yang ditawarkan Uber), maka pasarnya akan sangat besar. Inilah yang disebut TAM.
Ambil contoh lain Whats-App. TAM yang diambil WhatsApp adalah gabungan dari layanan SMS, voice, pengiriman dokumen, layanan komunikasi video, hingga payment. Go-Jek akhir-akhir ini juga meluaskan TAM-nya dengan masuk ke layanan payment dengan Go-Pay. Itu sebabnya, WhatsApp dan Go-Jek mampu melakukan scaling-up sangat cepat karena memang potensi market size yang diambilnya sangat besar.
Raksasa digital, seperti Facebook, Google, Amazon Uber, Go-Jek atau WhatsApp awalnya adalah UKM. Dengan kemampuan scaling-up yang luar biasa, mereka bertumbuh menjadi raksasa dalam waktu singkat.
Kalau Anda adalah pelaku bisnis UKM, setelah membaca kolom ini harusnya Anda mulai ”malu” kalau terus menerus mendapat julukan pebisnis UKM. Seperti halnya raksasa-raksasa digital tersebut, Anda harus mulai bisa berkata: ”goodbye UKM”. Caranya, lakukan scaling-up.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
SCALING-UP atau membesarkan bisnis setelah sebuah startup mencapai ”productmarket fit ” adalah tantangan terbesar setiap startup dan entrepreneur yang membangunnya.
Asal tahu saja sekitar 74% startup di Silicon Valley gagal karena tak mampu membesarkan diri (premature scaling) alias layu sebelum berkembang. Walaupun tak ada angkanya, saya yakin di Indonesia angkanya lebih memprihatinkan di atas 90%. Di Indonesia sebagian besar UKM adalah ”perusahaan bonsai” karena sepanjang hayatnya kecil melulu enggak pernah kunjung membesar karena tak tahu dan tak mampu melakukan scaling-up.
Celakanya, ada sebuah anggapan umum yang kini mulai muncul bahwa menjadi startup dan UKM itu cool, keren. Perusahaan besar itu enggak keren. Saya sendiri bilang bahwa menjadi startup atau UKM itu memang cool, tapi kalau kelamaan menjadi UKM , terbonsai terus-terusan enggak kunjung membesar, itu namanya enggak cool lagi.
Kebanggaan terbesar seorang entrepreneur UKM ya, kalau UKM yang dibangunnya ter-scaling- up menjadi perusahaan besar. Komunitas-komunitas UKM yang tumbuh luar biasa di Tanah Air bisa dikatakan hebat, hanya jika mereka bisa ”meluluskan” UKM-UKM anggotanya ter-scaling-up menjadi perusahaan besar. Bukannya sebaliknya, menjadi ”museum” UKM-UKM bonsai yang stagnan dan enggak kunjung membesar.
Apa rahasia sukses sebuah scaling-up? Ada dua prasyarat dasar ditinjau dari sisi internal dan eksternal perusahaan. Pertama secara internal, bisnis yang kita bangun harus memiliki skala ekonomi (projected economies of scale). Kedua secara eksternal, harus memiliki pasar yang besar (large addressable market) untuk tumbuh.
Economies of Scale
Skala ekonomi terjadi jika biaya per satuan (unit cost) turun jika output perusahaan bertambah besar. Bisnis yang mengalami hal ini disebut bisnis scalable. Contoh gampangnya adalah Toyota vs dokter. Bisnisnya Toyota adalah scalable kenapa? Karena ketika penjualan Toyota mencapai jutaan mobil tiap tahunnya, maka ongkos untuk membuat sebuah mobil (cost per-unit) akan turun demikian dramatis.
Sementara untuk dokter, ongkos terbesar untuk memberikan layanan dokter adalah gaji si dokter sendiri. Celakanya, gaji dokter ini tak akan turun ketika pasiennya berkembang dari satu pasien menjadi katakanlah 1.000 pasien. Itu artinya, layanan dokter tidak scalable. Pada umumnya, professional services, seperti dokter, pengacara, konsultan, atau pembicara/ motivator tidak scalable atau sulit di-scaling-up.
Pemain-pemain digital, seperti Facebook, Amazon, Google, Uber, atau WhatsApp menikmati skala ekonomi yang luar biasa besar karena karakteristik layanan digital yang by default memang scalable. Untuk membangun sebuah aplikasi digital, seperti Facebook atau WhatsApp memang dibutuhkan investasi sangat besar. Namun begitu aplikasi tersebut jadi, maka biaya pemakaian untuk seribu, sejuta, bahkan semiliar pengguna dibutuhkan biaya yang praktis nol.
Addressable Market
Faktor kedua adalah market size. Bisnis Anda tak akan bisa besar jika market size dari industri yang Anda masuki kecil. Karena itu, agar bisa scaling-up, Anda harus memastikan bahwa total potensi market size yang bisa diambil (sering disebut Total Addressable Market/TAM) harus sangat besar. Terkait dengan kejelian melihat TAM ini kita harus banyak belajar dari para pemain disruptor, seperti Uber, Airbnb, WhatsApp, Go-Jek, atau Tesla.
Kita tahu perusahaan- perusahaan startup ini mampu scaling-up begitu cepat (sering disebut ”growth-hack companies”) dengan memanfaatkan TAM yang begitu besar. Ambil contoh Uber. Untuk bisa scaling-up secara super cepat, Uber melihat pasarnya tak melulu existing market, yaitu pasar layanan taksi. Kalau pasar yang ditarget sebatas layanan taksi, maka volumenya kecil.
Itu pun harus berantem dengan incumbent operator taksi yang telah mapan. Namun, kalau pasar yang ditarget Uber juga termasuk seluruh pemilik mobil (kemudian beralih ke Uber karena berbagai kemudahan dan affordability yang ditawarkan Uber), maka pasarnya akan sangat besar. Inilah yang disebut TAM.
Ambil contoh lain Whats-App. TAM yang diambil WhatsApp adalah gabungan dari layanan SMS, voice, pengiriman dokumen, layanan komunikasi video, hingga payment. Go-Jek akhir-akhir ini juga meluaskan TAM-nya dengan masuk ke layanan payment dengan Go-Pay. Itu sebabnya, WhatsApp dan Go-Jek mampu melakukan scaling-up sangat cepat karena memang potensi market size yang diambilnya sangat besar.
Raksasa digital, seperti Facebook, Google, Amazon Uber, Go-Jek atau WhatsApp awalnya adalah UKM. Dengan kemampuan scaling-up yang luar biasa, mereka bertumbuh menjadi raksasa dalam waktu singkat.
Kalau Anda adalah pelaku bisnis UKM, setelah membaca kolom ini harusnya Anda mulai ”malu” kalau terus menerus mendapat julukan pebisnis UKM. Seperti halnya raksasa-raksasa digital tersebut, Anda harus mulai bisa berkata: ”goodbye UKM”. Caranya, lakukan scaling-up.
(dmd)