Facebook: Guru Menulis Terbaik di Dunia

Senin, 11 September 2017 - 06:15 WIB
Facebook: Guru Menulis...
Facebook: Guru Menulis Terbaik di Dunia
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com


SAYA punya teman, ibu-ibu. Lima tahun yang lalu setiap kali ketemu saya selalu bilang, ”Ajarin saya nulis dong. Saya pengin banget bisa nulis kayak Mas Siwo".

Dia selalu mengeluh: ”Saya sulit menemukan ide untuk ditulis... Kalaupun ketemu ide, saya kesulitan menuangkannya ke dalam tulisan... Saya enggak bisa bikin kerangka tulisan yang sistematis... Kalau nulis, satu kalimat dengan kalimat berikutnya enggak nyambung... Setelah selesai nulis, saya baru sadar bahwa alurnya kacau-balau.” Dan segudang keluhan lain dia tumpahkan.

Semuanya berubah sejak tiga tahun lalu. Saat si ibu punya akun Facebook. Sejak saat itu dia tidak lagi ”mengganggu” saya dengan segudang keluhannya. Dan betul, ketika iseng-iseng saya tengok isi status update-nya di Facebook: ”Wow... ciamik sekali tulisannya!!!” Begitu rapi si ibu meng-compose sebuah tulisan, walaupun dalam bentuk status update.

Dari tulisannya yang panjang-sistematis; judulnya yang seksi-menggoda; pilihan katanya yang pas dan kasual; logikanya runut; alurnya mengalir deras; pokoknya ciamik abis. Siapa yang ngajarin si ibu menulis? Facebook.

Bagaimana Facebook Mengajari Kita Menulis? Ada tiga tips jitu bagaimana Facebook mengajari kita menulis. Ini berbeda dengan cara guru SD dan SMP kita dulu mengajari kita menulis. Cara mereka kuno, membosankan, sarat teori, penuh dengan ”juklak” ini-itu, dan begitu membebani karena kita dituntut harus mendapat nilai 10.

#1. Intrinsic Motivation: ”Eksis-Narsis”

Tips paling ampuh Facebook dalam mengajari kita menulis adalah bukan dengan cara memberi nilai rapor 10. Tapi dengan memberi ruang ekspresi, yaitu narsis. Kita begitu passionate menulis di Facebook (bahkan bisa puluhan status seharinya) karena kita mendapatkan social reward yang tak ternilai berupa likes, mention, share, komentar, pujian, salut, respect, dan apresiasi dari teman.

Dalam proses pembelajaran, inilah yang disebut intrinsic motivation, yaitu semangat belajar yang datang dari dalam diri kita (intrinsik), bukan dari luar (ekstrinsik), seperti dari guru atau orang tua kita. Intrinsic motivation adalah faktor paling krusial dalam proses pembelajaran dan Facebook menciptakannya dengan sangat cantik dan ciamik.

#2. Peer Learning

Kedua, Facebook mengajari kita menulis dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara guru mengarang kita di SD/SMP, yaitu menggunakan pendekatan peer to peer. Facebook tidak memberi kita teori menulis. Ia juga tidak memberikan tips-tips how to write effectively. Yang dilakukan Facebook adalah menyediakan collaborative platform di mana kita bisa saling belajar menulis satu sama lain.

Ketika saya tanya si ibu bagaimana dia bisa secepat ini piawai menulis, jawaban dia enteng: ”saya niru-niru aja postingan temen-temen, lama-lama juga bisa sendiri”. Inilah yang disebut John Dewey (Democracy and Education, 1916) sebagai peer learning. Melalui platform yang disediakan Facebook, para pembelajar seperti si ibu berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan tujuan pembelajaran bersama, yaitu bisa menulis.

#3. Gamifikasi

Sebagai booster, Facebook juga menggunakan pendekatan gamifikasi (gamification) untuk memacu kita agar terusmenerus berlatih menulis. Bagaimana kita bisa begitu antusias dalam sehari puluhan kali ”berlatih menulis” melalui status updates kita di Facebook? Padahal dulu pada waktu SD, kita dapat pelajaran mengarang sekali seminggu saja bosannya minta ampun.

Kuncinya adalah gamifikasi. Karena ada carrot and stick di situ, yaitu likes, share, mention, pujian, apresiasi, dan riuh rendah tepuk tangan teman-teman kita di media sosial. Berkat Facebook kini semua orang jadi piawai menulis dan mengarang.

Kata pakar, ”Facebook has created a renaissance in the written world.” Menariknya, Facebook mengajari kita menulis bukanlah by design. Bahkan saya yakin, sampai ditulisnya artikel ini, Facebook pasti belum sadar bahwa ia adalah guru menulis terhebat di dunia. Inilah era prosumer. Konsumen kerap lebih cepat dan lebih smart ketimbang pemilik platformnya sendiri.

The Death of School As We Know It!

Menutup tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk sedikit merenungkan proses yang dialami si ibu dan kita semua para Facebookers. Beginilah bentuk pembelajaran (learning) kini dan ke depan. Bentuk pembelajaran gaya baru. Pada 1917 mobil baru bisa melaju 45 km/jam; bola lampu dan telepon sedang hot; transistor, komputer dan digital bahkan belum lahir.

Kini, 2017 seluruh teknologi tersebut maju superpesat mengikuti deret ukur. Apalagi kini kita memasuki era disrupsi. Namun ironis, kondisi pembelajaran di kelas tahun itu masih tak beda jauh dari kondisi kelas hari ini. Itulah pendidikan, institusi yang paling sulit berubah.

Karena itu, sekolah-sekolah kita harus berubah. Gaya belajar seperti para Facebookers tersebut pelan tapi pasti akan merambah bidang-bidang lain, seperti coding, programming, arti ficial intelligence, big data analysing, biocomputing, DNA recombining, dan seabrek ilmu masa depan lainnya. Kalau sekolah sudah tidak relevan, maka sekolah akan punah ditelan zaman.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0922 seconds (0.1#10.140)