Buruh Jabar Tuntut Kenaikan UMK Rp650.000
A
A
A
BANDUNG - Buruh Jawa Barat (Jabar) menuntut kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) 2018 sebesar Rp650.000 dari upah tahun lalu. Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jabar Iwan Kusnawan mengatakan, pihaknya berharap kenaikan upah minimum di setiap kabupaten/kota minimal Rp650.000 dari UMK tahun lalu.
Rekomendasi kenaikan itu didasarkan pada berbagai faktor, mengacu pada 60 komponen KHL. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mestinya tidak terpaku menggunakan PP No 78 tentang Pengupahan dalam menentukan upah minimum.
"Pemerintah provinsi mestinya tetap melakukan survei 60 komponen untuk mengetahui apakah ada kenaikan kebutuhan, penurunan daya beli, atau faktor lainnya. Jangan hanya mengacu pada PP No 78 yang kenaikannya ditetapkan 8,71%. Kalau seperti itu buat apa ditetapkan pemerintah daerah," jelas dia.
Gubernur, lanjut dia, bisa melakukan diskresi atas upah minimum di daerahnya. Keputusan upah, lanjut dia, menjadi kewenangan gubernur yang didasarkan pada rekomendasi dewan pengupahan. "Sekarang pilihannya ada pada gubernur, Kalau hanya menggunakan PP bisa jadi masalah," kata Iwan.
Menurut dia, bila gubernur hanya mempertimbangan kepentingan salah satu pihak saja, tanpa memperhatikan kepentingan buruh, jangan harap kondisi akan kondusif. Buruh akan menuntut perbaikan kesejahteraan. Gubernur, lanjut dia, mestinya menjadi perpanjangan tangan masyarakat.
Bila nantinya gubernur tak melakukan diskresi, SPN lanjut dia, akan menuntut diterapkannya struktur skala upah. Penggunaan skema tersebut dinilai menguntungkan semua pihak, termasuk perusahaan. Dari sisi buruh, lama kerja pegawai akan diharagai, karena UMK sendiri berlaku bagi pekerja 0 sampai satu tahun dan lajang.
Rekomendasi kenaikan itu didasarkan pada berbagai faktor, mengacu pada 60 komponen KHL. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mestinya tidak terpaku menggunakan PP No 78 tentang Pengupahan dalam menentukan upah minimum.
"Pemerintah provinsi mestinya tetap melakukan survei 60 komponen untuk mengetahui apakah ada kenaikan kebutuhan, penurunan daya beli, atau faktor lainnya. Jangan hanya mengacu pada PP No 78 yang kenaikannya ditetapkan 8,71%. Kalau seperti itu buat apa ditetapkan pemerintah daerah," jelas dia.
Gubernur, lanjut dia, bisa melakukan diskresi atas upah minimum di daerahnya. Keputusan upah, lanjut dia, menjadi kewenangan gubernur yang didasarkan pada rekomendasi dewan pengupahan. "Sekarang pilihannya ada pada gubernur, Kalau hanya menggunakan PP bisa jadi masalah," kata Iwan.
Menurut dia, bila gubernur hanya mempertimbangan kepentingan salah satu pihak saja, tanpa memperhatikan kepentingan buruh, jangan harap kondisi akan kondusif. Buruh akan menuntut perbaikan kesejahteraan. Gubernur, lanjut dia, mestinya menjadi perpanjangan tangan masyarakat.
Bila nantinya gubernur tak melakukan diskresi, SPN lanjut dia, akan menuntut diterapkannya struktur skala upah. Penggunaan skema tersebut dinilai menguntungkan semua pihak, termasuk perusahaan. Dari sisi buruh, lama kerja pegawai akan diharagai, karena UMK sendiri berlaku bagi pekerja 0 sampai satu tahun dan lajang.
(akr)