Arif Budimanta: Politik Amerika Ganggu Ekonomi Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Perkembangan tensi politik internasional, terutama yang terjadi di Amerika Serikat dan Korea Utara, mendapat perhatian serius dari Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).
“Indonesia harus mengantisipasi dampaknya. Jika tidak, perekonomian kita bisa terkena imbas,” papar Arif Budimanta, Wakil Ketua KEIN dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/12/2017).
Saat ini sedang terjadi ketegangan antara Amerika Serikat dengan kawasan Timur Tengah, setelah Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Respons negatif pun muncul dari negara-negara Islam, terutama yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam.
Setiap ada ketegangan di Timur Tengah, ungkap Arif, biasanya harga minyak mentah langsung memanas alias naik. Dia mengatakan, berdasarkan data Bloomberg, hingga akhir minggu kemarin harga minyak mentah WTI sudah naik dan berakhir di posisi USD57,04 per barel atau naik 0,46% dibandingkan sebelumnya.
Dalam jangka pendek dan menengah, kondisi ini dapat memicu penambahan beban fiskal, karena masih ada kandungan subsidi pada harga yang dijual ke masyarakat. Kenaikan beban fiskal yang terjadi akan berpengaruh terhadap peluang makin lebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Undang Undang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3%.
“Apalagi ditambah dengan adanya potensi guncangan pada nilai tukar, sehingga pemerintah harus mengantisipasi dampaknya,” ujarnya.
Dalam minggu ini, kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Data Bank Indonesia menyebutkan, jika pada Senin (11/12) masih ada di kisaran Rp13.614 per dolar, maka pada akhir minggu (15/12) sudah mencapai Rp13.641. Dalam perdagangan internasional yang bernilai jutaan dolar, setiap perubahan sekecil apa pun akan sangat berdampak.
Selain itu, potensi ekspor juga bisa terganggu, khususnya ke Amerika Serikat. Padahal, kontribusi negara tersebut terhadap total ekspor Indonesia lumayan besar, yaitu sekitar 11,5%.
Sementara bagi dunia usaha yang memiliki kegiatan usaha berbasis ekspor misalnya, melemahnya kurs rupiah akan menurunkan pendapatan. Sebaliknya, biaya impor akan bertambah, sehingga meningkatkan ongkos produksi.
“Sebaiknya pemerintah segera merespons melalui sejumlah kebijakan yang tepat agar kinerja perekonomian nasional tidak terganggu,” saran Arif.
Dia menambahkan, kebijakan tersebut bisa saja dalam bentuk relaksasi di bidang perpajakan atau insentif fiskal lain untuk kegiatan usaha di bidang ekspor. Sebab potensi guncangan pada perpolitikan Amerika, baik dengan Timur Tengah maupun Korea Utara, berpotensi masih panjang dan kondisi tersebut akan berdampak terhadap perekonomian global.
“Indonesia harus mengantisipasi dampaknya. Jika tidak, perekonomian kita bisa terkena imbas,” papar Arif Budimanta, Wakil Ketua KEIN dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/12/2017).
Saat ini sedang terjadi ketegangan antara Amerika Serikat dengan kawasan Timur Tengah, setelah Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Respons negatif pun muncul dari negara-negara Islam, terutama yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam.
Setiap ada ketegangan di Timur Tengah, ungkap Arif, biasanya harga minyak mentah langsung memanas alias naik. Dia mengatakan, berdasarkan data Bloomberg, hingga akhir minggu kemarin harga minyak mentah WTI sudah naik dan berakhir di posisi USD57,04 per barel atau naik 0,46% dibandingkan sebelumnya.
Dalam jangka pendek dan menengah, kondisi ini dapat memicu penambahan beban fiskal, karena masih ada kandungan subsidi pada harga yang dijual ke masyarakat. Kenaikan beban fiskal yang terjadi akan berpengaruh terhadap peluang makin lebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Undang Undang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3%.
“Apalagi ditambah dengan adanya potensi guncangan pada nilai tukar, sehingga pemerintah harus mengantisipasi dampaknya,” ujarnya.
Dalam minggu ini, kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Data Bank Indonesia menyebutkan, jika pada Senin (11/12) masih ada di kisaran Rp13.614 per dolar, maka pada akhir minggu (15/12) sudah mencapai Rp13.641. Dalam perdagangan internasional yang bernilai jutaan dolar, setiap perubahan sekecil apa pun akan sangat berdampak.
Selain itu, potensi ekspor juga bisa terganggu, khususnya ke Amerika Serikat. Padahal, kontribusi negara tersebut terhadap total ekspor Indonesia lumayan besar, yaitu sekitar 11,5%.
Sementara bagi dunia usaha yang memiliki kegiatan usaha berbasis ekspor misalnya, melemahnya kurs rupiah akan menurunkan pendapatan. Sebaliknya, biaya impor akan bertambah, sehingga meningkatkan ongkos produksi.
“Sebaiknya pemerintah segera merespons melalui sejumlah kebijakan yang tepat agar kinerja perekonomian nasional tidak terganggu,” saran Arif.
Dia menambahkan, kebijakan tersebut bisa saja dalam bentuk relaksasi di bidang perpajakan atau insentif fiskal lain untuk kegiatan usaha di bidang ekspor. Sebab potensi guncangan pada perpolitikan Amerika, baik dengan Timur Tengah maupun Korea Utara, berpotensi masih panjang dan kondisi tersebut akan berdampak terhadap perekonomian global.
(fjo)